Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Ardy Suryantoko

0

MENUJU KEPULANGAN ANGIN

 

angin tak dusta rasakan cemas yang sama

atas deru yang kadang ada kadang tiada

sebagaimana air ngalir, lewati setiap kelok sungai

dan rerumput memanjang di tepiannya

 

pematang belum juga kering setiap kutapakkan kaki

kenangan terpelosok dalam, emak nyinyir sambil bawa rantang

menyebrangi jembatan bambu sebelum sampai pada keringnya tanah

                                                                                    dan gubuk lapuk

 

tak usah menangis mak, musim sudah bukan anakmu lagi

memang ia tak pasti pulang pergi

tapi bukankah ia anak tiri, katakan saja pada angin

                                                            tentang resah yang berderu

 

mak yang rimbun bukan kuning padi

tapi ilalang yang menguning mati

kita masih punya doa yang mesti kita rapal

bersama kidung-kidung puji

untuk mengganti lumbung dan karung yang kosong

gabah lapuk sudah kita larung bersama burung yang terbang

                                                            menuju sarang yang telah hilang

 

november, 2015


 



PATOS DAN OBITUARI

 

ketika takdir meruntuhkan waktu dari rahimmu

sebuah sungai mengalir di antara tugu

aku melihat perempuan menyebrang

membawa aksara di mata yang tak nyalang

 

sejarah menyimpan duka zaman di dadanya

lawati langit pemilik semua musim

anak-anaknya menunggu matahari terbit

hujan memekik, langit menjadi samar

tangis pecah di atas batu dan pasir

 

burung-burung lepas dari sangkarnya

kembali pada penjuru mata angin

hingga bulu-bulunya tercecer

di langit dan tanah yang dicampakkan

sedang tubuh kuyup oleh butir hujan

yang tak terhitung jumlahnya

 

utopia mekar pada dahan-dahan era

perang atas dendam tak akan berakhir

distrik-distrik sepi setelah hujan reda

patos, hanya rak-rak kosong dan berlubang

tak ada pelangi memancar

 

desember, 2015





KEPADAMU KUTITIPKAN ANGIN

 

aku tak ingin menangis melihatmu tidur

menahan lara yang ngalir bersama airmata

bukankah kau yang sudah penuhi musim

mengaduk-aduk rindu hingga rindu lebur tiada

 

di pot sendiri kau tahu bunga tak akan mekar

tapi dengan tulus dan doa kusiram saban pagi

sebelum kau buka mata dan fajar singkap raga

 

lantas siapa yang mengisi nyawamu

aku tak mampu terjemahkan jika kau

sebagai Shinta, Drupadi, atau Indardi

 

kepadamu kutitipkan deru yang terpelanting

pada setiap waktu yang masih lugu

aku hanya anak angin yang bawa debar

dan basah pada bulan-bulan

yang tak pernah tenggelam

 

aku suka bermain dengan kitiran

saat hari menumpuk pada akhir senja

di sana ia berputar-putar

dan tak pernah izinkanku menangis di pangkuanmu

sebab ia tak pernah dusta ceritakan lara

 

februari. 2016





FRAGMEN KEMBARA

 

Kusingkap malam pada perburuan

Tak juga kutemu hati berjaga

 

Jalan mulai berlubang

Tapi cemas menelikung

Membaurkan angin

Dan percakapan menghentak

 

Lantas setiba di depan rumah itu

Purnama sudah membulat penuh

Cahaya mengorek dan menelusup

Sampai pada raga paling sepi

 

Bukankah kita seperti angin

Berhembus dari daun ke daun

Bawa deru ketidakpastian

 

Andai kata, purnama tak mekar pun

Aku masih memburu

Pada musim yang tak tepat

 

februari, 2016





MENUJU NAPAS USIA

: niken astuti

 

pada hari yang selalu buncahkan sepi, arak-arakan angin menyebar. menabur bibit-bibit yang nantinya akan rela aku atau mereka terima sebagai rindu. sungguh pun kehadiran malaikat atau tuhan begitu asing di waktu-waktu tertentu.

sebagaimana dahulu kau menyisir rambutmu, sebelum kita menghabiskan segelas susu di meja yang menghadap penjuru senja. sunyi begitu menebar pada setiap pertemuan. nyeri semakin larung pada hari-hari berikutnya.

kata terus menyala-nyala dalam dadamu. berkecamuk pula namamu dalam jiwa. doa merinai jatuh pada kesendirian penuh. ciuman demi ciuman kembarai setiap jarak yang terentang. sungai-sungai mesti diterjang, janganlah berpaling pada prasangka serta kecewa.

sangsi tak akan menemu apa. kau mesti belajar pada benih-benih suci setiap cahaya pagi. akan kuulurkan sulur-sulur dari tanganku yang basah. dalam genggam, pun mereka akan merayakan kemilau tawa yang dahulu pernah remuk ke dalam debu.

aku lagi menguruk batu-batu ke dalam kubur. dan melepaskan kupu-kupu di kebun bunga depan rumahmu. ia akan melarut seperti halnya udara. mencari-cari si empunya masa.

mereka akan terus hidup di antara ubanmu kelak. atau di usia yang mulai leleh pada lilin-lilin doamu. tak serta merta kematian menjadi jarak antara sumbu-api. tetapi napas tak akan pernah kehilangan usia dan cinta.

 

april, 2016





DI BUKIT KAILASA*

 

1/

datanglah seperti angin maka kau bebas rentangkan sayap

menubruk serta belah kabut yang terkapar di bukit senyap

karena perjalanan hanya mengikat jarak yang rentang

rumput membeku, begitu pun selederi dan tunas kentang

karika akarkan pertemuan pada bau tanah kotoran kandang

 

bukit-bukit batu gemakan deru pompa air

petani terhuyung tumpuk hasil panen di tepi jalan tak berakhir

truk pengangkut tak juga datang, begitupun dengan colt buntung

 

gemuruh gunung menguap-uap dari candradimuka

tak ada tatap yang lebih letih dari elang kehilangan ranting albasia

sebab kelakar manusia telah kehilangan lidah dan nuraninya

undakan batu tak sanggup lagi menjadi tempat bertumpu

harap hanya cemas yang menggauli dan semakin memburu

 

2/

menuju kailasa jalanan batu memanjang, kabut tak luput menutup

maka janganlah kau pergi seperti embun yang menisbikan kerinduan

seperti padang ilalang di atas bukit yang melepaskan tangis bima

sebab segala tangis telah mereka akrabi dari kebisingan kota

 

candi-candi terlihat dari puncak, harum belerang menyengat sesak

di senja yang mulai ranum anak-anak kehilangan kitiran bambu

dan sunyi dieng telah kehilangan bunyi tongkeret yang berserak

maka akrabilah kepergian seperti kau akrabi orangtua saat kecil dulu

 

3/

lintang yang sedari dulu nyala mesti terbit setelah

lampu-lampu dihidupkan pertanda waktu sandekala

asap mengepul dari cerobong rumah yang landai

harum teh mengepul dari gelas dan pabrik berhenti beroperasi

 

sementara tungku di dapur terus memakan kayu

menyisakan jelaga pada dinding dan genting kaca

tiap kali diteguk, air seperti muara ke telaga

badan serasa kepenuhan dan gigil mulai memanggil-manggil

 

jejak imaji, 2016





ENIGMA ANGIN DAN BULAN YANG TENGGELAM

 

aku tersesat di arah mata angin matamu

lewati ngarai terjal antara gunung yang basah

bulan terus mengudara pada peredarannya

terjemahkan pekat awan rapat-rapat

 

saat sangsi musim hujan kedua

akan kupakai mantel dari sisa jasadmu

aku tak ingin basah malam ini

jiwa terhuyung pada jalan terlipat

 

awal november

angin lagi berdesir lirih

ratakan wangi kemarau yang berdalih

kutitip hidup pada tetes hujan pertama

ketika kau lupa bunyi hujan pagi

yang bangunkan dari mimpi paling bisu

 

kuperhatikan semburat biru samar

bayang gunung di belakang rumahmu

masehi telah gugur dari ranting jam matahari

 

hujan turun deras di bukit dada

sebelum kau terbangun

kulihat purnama tenggelam

pada reranting putih mimpi

yang berseri di rambutmu

 

2016





DOA UNTUK KOTAKU

 

Di luas waktu yang selimuti hidup

Kutambatkan rindu pada rinai gerimis

Kepada malaikat kutitip doa yang paling sepi

Yang paling kutahu, Tuhan hidup di kotaku

 

Di mukim sunyi, kotaku bercahaya lugu

Aku menyusuri jalan di deras hujan yang bertalu

Atau menerjang kabut yang menebal di dadaku

Dingin memanggil dan ia menetap di tulangku

 

Aku ingin pulang

Mendengar lagi anak-anak kotaku mengaji

Atau membaca sejarah dengan tekun di hari-hari basah

Suara ceria yang gaduh di saat pintu dan jendela gigil

 

Aku ingin pulang

Menyusun keping mozaik dari cerita kakek

Mengenalkan kembali kepada anak-anak kelak

Dan membacakan cerita tentang kotaku dari buku-buku

 

Kalau kau tua dan kelabu

Telahku bangun rumah untuk kau singgah

Di sana ada sedikit buku

Dan anak-anak yang mulai mengantuk

Mereka ingin tidur di pangkuanmu

 

juli, 2017





TERKADANG, CUKUP KAU SAJA YANG MENGERTI

 

1/

Sepanjang jalan kupungut sisa-sisa kabut

Perjalanan letih telah mengabadikan jejak-jejak

Seperti kau, kukira telah menjadi bagian malam lalu

Saat tempias gerimis lenyap kau menjadi selepas napas

Tak ada yang lebih sesak dari dekap temu

Janji-janji berembus tertiup angin, bukan kenang

 

Kau tak jauh

Namun tak terdekap, seperti jantung angin

Apa yang mesti kulepas jika lelah menjadikan kau semakin dekat

Ingin kutusuk segala ingatan hingga tak ada kata, katamu

 

2/

Rasanya kita tak akan pernah bertemu

Sebelum senja kemarin bungkuk ke barat

Mempertemukan bayang yang sama-sama malu

Ada debar yang menyala pada dadaku

Sampai lelah pun tak memahami rahasiamu

 

Sebagian waktu telah patah pada jam tanganmu

Sebelum gelap memberi isyarat, pisah akan terus tergali

Potretmu akan menyimpan jawaban-jawaban

Tapi desir angin yang akan mengabarkan

Atau di balik bening matamu suaraku menjadi sunyi

 

3/

Telah kumasuki segala rumah dan ingatan

Hingga pada musim-musim panjang

Selalu aku tak tahu mesti menuju kemana

Hanya lamat-lamat suaramu lirih

 

Pada jalan setapak terkurung isyarat

Di lepas langit jingga dan segambar haru

Batu-batu atau pasir menyerap rindu

Akhirnya di sudut paling jauh, tak ada lagi

 

2018

 

 

 


Tentang Penulis

ARDY SURYANTOKO, kelahiranWonosobo, 19 Desember 1992. Penyair ini beralamat di Binangun 002/004, Gunungtawang, Kec. Selomerto, Kab. Wonosobo. Saat ini dia menjadi pendidik di SMA Takhassus Al-Qur’an Wonosobo, dan bergiat di Komunitas Sastra Jejak Imaji. Pos-el: ardysuryantoko@gmail.com.

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top