Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi D. Zawawi Imron

0


JANGAN KATAKAN BUKAN PANDAN

 


Jangan katakan bukan pandan, Gus!

Meskipun besar, kasihan

Ia terlalu gagah, dan terlalu lama berhabitat hutan

Berebut minum berebut makan

Dengan semua akar-akar di sekitar

 

Jangan katakan, itu bukan pohon pandan

Kalau di dekatnya pohon-pohon dan semak subur

Tentu ia pohon tafakkur yang berhak ditanam

Di halaman masjid atau gereja

Atau istana yang masih menghargai nyawa

Menghargai orang-orang merangkak yang diranjau onak

 

Katakan saja itu pohon pandan

Atau carikan nama lain yang lebih padan

Tapi jangan sampai tidak bernama

Agar ia tidak merasa dianggap tumbuhan yang sia-sia

 

Kenapa kita berbahagia

Bercakap tentang sesuatu yang tak terjamah

Yang seolah tidak berpaut dengan cuaca

Dengan sejarah yang terlalu perkasa?

 

Barangkali kita sejenis kupu-kupu

Yang mengagumi kefanaan atau segala yang sementara

Sedang daun pandan telah biasa berbahasa embun

Atau tempias air terjun sebelum jatuh di telaga





 

DARI TELAGA KE TELAGA


 

Di telaga pertama anak-anak mandi

Bukan karena tubuhnya berdaki

Ada sesuatu yang lain

Yang tidak sekadar main-main

Tapi orang tua seperti aku

Meskipun tak mandi

Seperti mencari diri sendiri

Dan membedakan tirai hari dan tirai air

Bukan sekadar tirai kain

 

Di telaga kedua

Aku tertarik pada badan

Pada sesuatu yang serba dandan

Foto-foto orang tersenyum di pohon-pohon

Kucurigai mengandung racun

Padahal telaga sejak zaman purbakala

Tak pernah mengajar salah sangka

Tapi kenapa wajah-wajah yang senyum itu

Tidak menebar harum cempaka?

 

Di telaga ketiga, di telaga yang jauh

Tak ada anak-anak mandi

Telaga seperti tak pernah tidur

Karena menghormati ufuk timur

 

Dan langit yang menjatuhkan

Air atau embun

Selalu merahasiakan takdir

Bahwa untuk bisa bertakbir

Kita harus bisa menghargai setitik air






 

SUNGAI JERNIH


Beres! Apanya yang beres? Ringan lidah membuat kata tak bertenaga, tak punya magnit agar orang mengibarkan bendera. Stiker, umbul-umbul dan gambar beku lainnya, membuat orang harus bertanya. Dana? Atau berapa? Tak ada itu! Tak saling sapa! Ada yang kacau kalau ada yang menganga, bagaimana sebuah bangsa akan dimasukkan ke rahang singa? Mendung-mendung tidur, malahan ngantuk tak mau meninggalkan ufuk. Kutu-kutu makin busuk mengukuhkan gedung kekar jadi sarang nyamuk. Siapa yang berhak menyalakan lampu merah? Persimpangan tetap persimpangan, tak bisa memberi isyarat angan-angan. Lampu merah tidak menyala. Orang-orang di sana harus berkata, menyatakan lewat hakikat puasa. Mimbar harus mengisyaratkan pintu pagar. Ini sebuah puncak tempat semua runtuh ke bawah, ke tanah yang berlinang-linang. Lampu merah harus bernyala pada setiap jiwa. Waktu telah bertahan lewat pandangan seorang buta. Palung-palung harus diubah jadi punggung, agar urat berurat dan kata kembali mekar. Kita mulai kembali mengaji kata kita, kau dan aku serta semua, yang siap jadi embun pada setangkai bunga. Sanggup melambai menepis malapetaka, kita panggil sungai jernih untuk mengalir melewati masing-masing empedu kita.





ALAM

 

tergetar, huruf menjalar di antara ribuan belalai, alam naik turun dari bukit ke ngarai lalu ke danau, dengan mengasuh padi bernyanyi, lalu datuk dinobatkan. Semua menjadi guru. Semua boleh dijadikan guru, kita memang harus berguru tapi jangan meniru, kita memang harus belajar tapi jangan kesasar. Pada lumpur yang hitam itulah mataair belalai

 

daun tak bersusun tapi hutan. Awan tak teratur tapi berarak. Danau tak persegi tapi berhati, sembarang orang bisa berenang tapi tak setiap sembahyang bisa menyelam.

Inilah alam terkembang yang membuat engkau jadi guru dan aku sujud untuk bertemu senyum ibu. Sudahlah tuan, jangan terlalu banyak keterangan! Karena rumput di sini

seperti bermulut, kita memerlukan air pasang sebelum surut. Itulah mungkin sejenis rumus sesudah bukit di Teluk Bayur menjelma kerucut

 

kami mengaji di sini kami mengeja, karena kincir kayu direnung melebihi baja, bahkan air sawah pun lebih cemerlang dari kaca. Kami mengaji kami mengeja, angan mencari karena ruh juga bekerja. Tanah yang berbongkah dan bajak kerbau yang gagah, adalah debar darah semesta baling-baling otak semesta, bahwa alam ini tidak berhutang kepada kita. Kami mengaji kami mengeja





MINANG

 

Orang bertanya, untuk apa datang ke Ranah Minang?

Pertanyaan yang tidak merangsang.

Pada bulan yang timbul sebentar masih sempat

menyisakan secercah terang, lalu kelam,

karena awan memang kelabu

 

“Aku ke Minang untuk mengerang,” jawabnya,

Dan benar, orang itu menjerit tidak membuat kaget orang.

Alam menggeliat, sawah yang membuat lembah bertingkat,

dan lubuk yang bertingkap,

telah membuat darah menjerit dan rasa senang mengerang.

Bahagia berjumpa alam, berjumpa hakikat

“Tuhan, untuk itu aku salat, dan kini menetapkan kiblat.”

Malu tersesat tanya di hutan.

 

Dan malam, dan juga siang, sekilas memang seperti permainan, padahal mata dan hati punya hak berbeda ejaan. Dan Minang yang malam, dengan rumah gonjong menusuk matahari, adalah aku adalah engkau, atau kita yang merindukan di balik semesta pengalaman

 

Kita perlu indah yang menggugah elok yang berkelok, karena di balik kelok harus terdengar ayam berkokok di dalam telur. Kupasang telinga, kupasang pori-pori dan ujung rambut untuk mendengar khotbah alam yang diucap lewat sehelai kapuk yang terbang di musim kemarau




                            Tentang Penulis

 


D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal, nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura, Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku Airmata (1985), (5) Celurit Emas (1986), (6) Derap-derap Tasbih (1993), (7) Berlayar di Pamor Badik (1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang (1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis Empedu (2003), (12) Cinta Ladang Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002). Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron  mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron, atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.



Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top