Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Dewandaru Ibrahim Senjahaji

0

Di Pameran Lukisan

 

Di pameran lukisan, aku tidak sendiri, aku bersama para lukisan yang memajang pelukis-pelukisnya,  warna dan garis, tebal dan tipis, sangar dan manis, serta segala yang cair di kepala seorang pelukis.

 

Aku masih ingat saat kau menanyakan "tak adakah galeri di kota ini?" aku hanya menggeleng. Kota ini punya cerita, Sokaraja dan surga bagi para lukisan. "Iyakah? Bagaimana? Kau bisa cerita?" Kau bertanya seperti pelukis yang kehilangan catnya.

Tapi kau tak perlu menanyakan hal yang tak dapat kujawab. Sebab kota ini pun penuh tanda tanya.

 

Di hadapan sebuah lukisan mukamu berkerut. Lalu kita berdebat soal teknik yang hebat atau makna yang begitu lebat di balik bentuk dan warna yang rapat. Seperti seorang maestro, kau dengan semangat mendongengkan kisah lukisan-lukisan dan seketika aku merasa berada di tengah-tengah jamuan makan malam antara Afandy, Jackson Pollock, Raden Saleh, Vincent Van Gogh dan Pablo Picasso.

 

Aku tidak benar-benar sendiri, aku mendengar kau berbicara dari lukisan ke lukisan: "ini teknik tinggi, ini sedih sekali, bagus, aku suka warnanya!". Kau menarikku ke hadapan lukisan kendi: "ini persis seperti tubuhmu " kau lantas tertawa. Aku memasang wajah kesal dan tawamu makin renyah sambil kau menepuk pundakku.

Menyenangkan melihat kau kembali utuh menjadi perempuan.

 

Sampai di lukisan yang paling ujung, aku agak maju dan kau sedikit di belakangku. Sebuah lukisan berwajah perempuan menenteng canvas dan kuas berjalan di kota yang subur dengan buku dan puisi. Aku menggodamu dengan mengatakan perempuan ini lebih cantik dari lipstik dan bedakmu.

 

Kau diam, aku maju sedikit lagi dan menenggelamkan pengamatanku ke lukisan perempuan yang wajahnya mirip denganmu itu. Tercium aroma cat basah yang kau suka. Lihatlah perempuan ini betul-betul lebih cantik dan sepertinya tak suka menggerutu.

 

Kau tetap diam. Kupikir aku gagal melucu. Kubalikan badan. Dan yang kulihat hanyalah galeri yang sepi meski dengan lukisan-lukisan yang ramai. Bau cat basah kembali menusuk, persis seperti bau cat basah saat pertemuan pertama kita di depan lukisan yang kau beri judul “Rumpang”.

 

Aku berbalik dan bermaksud menenggelamkan diri di lukisan perempuan yang wajahnya mirip denganmu. lukisan itu telah lenyap, hanya ada tembok kosong yang dingin dan pucat. Dua pengunjung yang tersisa di galeri menatapku dengan mata kosong dan geli.

 

Sepintas aku mengingat keinginanmu. Berkunjung ke galeri mengamati warna dan garis bekerja lalu menenggelamkan diri dalam diskusi. Perlahan, aku berjalan melewati pintu keluar dan berkata dalam hati : aku akan ke pameran lagi dan menemukanmu kembali.

 

Purwokerto, 10 Agustus 2021



 


Ada Yang Patah Hari Ini

 

Ada yang  patah hari ini

Seorang perempuan meninggalkan kekasih hati

Dan seorang penyair kehilangan puisi.

 

Ada yang patah hati ini

Seorang perempuan tertatih berjalan sendiri

menyusur hiruk pikuk luka-luka

di jalan kota yang ramai, namun sepi.

Seorang laki-laki terhimpit sedihnya sendiri,

ia gagal menyelamatkan ingatan

yang selama ini ia rawat dalam puisi.

Anak-anak diksi tertimbun dan mati.

 

Ada yang patah hari ini

Jembatan penyeberangan antara laki-laki  perempuan

yang dibangun dari tiang-tiang doa penyangga malam telah runtuh.

Tidak ada suara, tidak ada sapa, atau lagu-lagu

yang terdengar dari ujung bibir ke ujung bibir.

Laki-laki dan perempuan hanya bisa

saling mengintip di kejauhan, melalui kotak kecil

dan mengutuk lelah masing-masing.

 

Ada yang patah hari ini

Seorang laki-laki dan seorang perempuan  berjalan sendiri-sendiri

diantara puing-puing doa yang mereka bangun bersama.

Segalanya telah runtuh, sedang luka semakin tegak.

 

Ada yang patah hari ini

Seorang perempuan pergi

dan seorang penyair kehilangan puisi

 

Purwokerto, 29 Juli 2021



 


Satu Tahun

 

Satu tahun yang begitu panjang

Telah lewat dengan cepat seperti kilat

Dan sedetik kemudian gemuruh guntur

Mengubah kita menjadi anak kecil yang ketakutan.

 

Perpisahan adalah ruang yang sesak dan kejam

Sebab di sana pintu luka telah dibuka selebam-lebamnya

Dan kita masuk ke dalamnya

Seperti seekor singa tua yang pulang setelah kalah perang

Tapi kita musti tahan, seperti katamu yang naif:

Kita tak boleh berlama-lama saling menyakiti.

Padahal kaulah yang memikul kesakitan paling besar

 

Baiklah, jika aku dan kau

Musti sepakat dengan pilihan-pilihan

Dan membangun kesepakatan dengan Tuhan

Untuk pilihan-pilihan atau kembali pada pertemuan

Di hari yang lain.

 

Purwokerto, 19 September 2021



 


Sajak Seorang Penyair Kepada Perempuan Yang Hampir Jadi Pacarnya

 

Masih adakah yang tersisa

Dari jalan sepanjang Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto

Selain siang yang berpindah sore

Dan selain malam berganti pagi

Yang semuanya terasa begitu malam

Aku tidak melihat matahari terbit

Atau matahari tenggelam

Sebab langit-langit telah runtuh

Setelah kabar pertunanganmu

 

Di sepanjang jalan Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto

Lubang-lubang jalan kalah bobrok

Dengan luka batin yang koyak

Aku telah jauh-jauh ke kotamu

Bersama rasa kantuk dan lelah badan

Semata-mata bukan hanya untuk

Menemui pagar rumahmu yang beku

 

Aku ingin menyembuhkan ingatan bahwa

Tidak ada apa-apa di antara kedekatan kita

Dan kesenangan kemarin hanyalah profesionalitas kerja semata.

Aku berdiri di depan pintu pagar rumahmu

Lampu teras masih menyala

Tapi tujuh kali aku mengetuk telfonmu

Tujuh kali pula kau menolak telfonku

WhatsAppmu online dan pesanku centang dua biru

Tapi pintu pagar tetap dingin dan beku.

Setelah tujuh menit berselang

Dari puntung ke lima yang kubuang

Akhirnya aku harus pulang

Dengan membawa kekosongan yang penuh.

 

Aku tidak menyesal menyusur jalan Purwokerto-Madiun

Madiun-Purwokerto dalam semalam

Meski begitu terasa kantuk dan lelah badan

Lubang-lubang sembarangan

Atau bensin yang menguras sisa-sisa uang gajian

Aku tidak menyesal menyusur jalan Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto

Sebab setelah pulang dari kotamu,

Purwokerto telah menjadi ruang baru;

Sebuah museum lapang

yang menyimpan kau dan aku.

 

Purwokerto, Juni 2021



 


Tiba-tiba Desember

 

Tiba-tiba Desember,

tahun bergerak seperti laju kereta

dan bulan-bulan sebelumnya

adalah pemandangan-pemandangan yang terlewat di jendela.

Kau berada di kereta lain,

merasakan tiba-tiba Desember,

tahun bergerak seperti laju kereta

dan bulan-bulan sebelumnya

adalah pemandangan-pemandangan yang terlewat di jendela.

kita musti turun di stasiun berikutnya

membeli tiket ulang, dan duduk di gerbong yang sama,

lalu kembali menikmati tahun-tahun berjalan

dan bagaimana takdir bekerja.

 

Purwokerto, Desember 2021





Tentang Penulis


Dewandaru Ibrahim Senjahaji, lahir di Banyumas 03 Juni 1994. Awal berproses di Sekolah kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP). Beberapa puisinya termaktub dalam antologi puisi Dari Negeri Poci 6 “Negeri Laut” (2015), “Matahari Cinta Samudra Kata” (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Dari Negeri Poci 7 “Negeri Awan” dan lain sebagainya. Tinggal di Desa Pasir Lor RT 03/02 Kecamatan Karang Lewas, Kabupaten Banyumas. Sekarang menjadi teman belajar anak-anak SMK N 2 Purwokerto. 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top