Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Bayu Suta Wardianto

0


 
SENJA DI BALIK JENDELA KERETA

 

Pagi ini aku bergegas ke kotamu. Mesti aku tak tahu pasti kau di mana. Aku hanya mengikuti kata orang-orang saat melihat keberangkatanmu kala itu. Ke selatan Gunung Slamet, ucap orang-orang yang kutanyai tentang kepergianmu.

Aku berjalan di trotoar jalanan yang berwarna hitam dan putih, seperti warna kesukaanmu. Pada daypack hitamku, masih ada ikatan kain tenunmu yang berwarna biru laut. Kain tenun kita tepatnya. Aku masih memakainya sebagai tanda di ranselku, entah dirimu.

Jeans dengan satu sobekan di lutut masih kupakai, seperti saat aku sering bertualang bersamamu. Flanel kotak-kotak berwarna gelap juga masih melekat bersama kaos hitam polos. Aku masih berjalan di trotoar ini, “teruslah berjalan meskipun orang-orang berlari,” pesanmu sebelum pergi meninggalkanku.

Jalanan pagi sudah ramai. Sambil berjalan, orang-orang membawa serta binatang dan segala sumpah serapah yang ada di dunia. Mereka akan melemparnya satu persatu saat ada yang berkendara ugal-ugalan, atau menyerobot jalur tanpa permisi. Aku hanya tersenyum melihat orang-orang itu saling lempar binatang dan sumpah serapah.

Stasiun ramai sekali pagi ini. Sama, seperti pagi-pagi biasanya. Seperti katamu, “aku tak suka stasiun sekarang,” “tapi aku suka!” debatku. Kau selalu membandingkan stasiun dulu dan sekarang. Satu hal yang kau sulit untuk belajar sayangku, perubahan zaman. Aku masih ingat saat pertama kali mengajakmu naik kereta api lokal menuju Merak.

“Di mana para penjual nasi rames yang dibungkus kertas dan diikat karet warna-warni?”

“Penjual minuman botolan?”

Aku tertawa terpingkal mendengar pertanyaanmu. Ah lucunya sayangku, sudah berapa lama kau tak naik kereta?

“Jendela kereta sekarang tak bisa dibuka?” tanyamu kala itu.

“Kereta sekarang sudah maju sayang,”

Lho, memang kereta dulu tidak maju?” tanyamu lugu.

Aku hanya tertawa kecil dan menusuk perutmu dengan dua jariku. Kereta api lokal menuju Merak bersiap untuk melesat.

Pada kereta yang melaju, kita tatapi bersama rumah-rumah kayu yang bagian belakangnya terendam air selokan. Kayu-kayunya pudar dimakan matahari dan air yang menggenang. Rumput dan semak belukar menjalar tak sedikit menumbuhi dinding-dinding kayu yang sudah lapuk itu.

“Aku cinta kesederhanaan.” Katamu.

“Aku benci kemiskinan.” Jawabku.

“Orang-orang seperti kita saat ini pasti akan selalu dekat dengan kemiskinan,”

“Oiya, bagaimana bisa?”

“Kalau bukan kita yang miskin, berarti kita harus memperjuangkan orang miskin.”

***

Akhirnya kudapati kereta yang membawaku kepadamu. Tidak seperti kereta listrik yang dipadati setiap hari, kereta api yang kutumpangi ini lebih sepi. Aku duduk di bangku dua sebelah kiri dan sendiri. Kusandarkan telapak tangan pada jendela, kurebahkan pelipisku, dan kusibak rambutku agar tercipta posisi yang nyaman.

“Kereta kini sepi, tak seperti dulu.”

Ah, sayangku. Kau kembali membuka keran ingatanku pada masa-masa yang lalu. Entah apa yang membawaku untuk mencintaimu, aku tak tahu. Di kampus, segala perempuan pasti mengenalmu. Entah seberapa banyak dari mereka pasti menyukaimu.

Orasimu yang tajam menusuk dan meledakkan amarah massa saat demonstrasi, puisimu indah penuh abstraksi, atau karena kepemimpinanmu mengelola organisasi. Namun, ketiganya aku tak peduli.

Mungkin kau yang seorang pejalan, dengan topi rimba dan rambut terurai melewati kerah kemeja. Itu pun tak membuatku terpana. Aku tak peduli bagaimana aku mulai mencintaimu. Yang kutahu cinta membawaku pada kedunguan untuk menghampirimu di kota yang jauh. Melepas sejenak bebanku dan pergi menghampirimu, entah apa yang kutuju.

***

Perjalanan ini membuatku mengantuk dan segera tertidur. Tapi keran kenanganku sudah terlanjur terbuka olehmu. Dulu, kau selalu menyediakan bahu dan pelukan saat kantuk mendera di perjalanan kita. Flanelmu yang hangat dan aroma black opium menjadi tempat ternyamanku kala itu. Kemudian kau putar lagu dengan sepasang earphone, untuk kita berdua.

“Nosstres”, “Sandrayati Fay”, “Iksan Skuter”, “Sisir tanah.”

Hingga kau menyelipkan jemarimu di antara jemariku, kita saling menghangatkan dan terlelap di bawah redupnya lampu-lampu.

***

Kereta Api Serayu melintas melalui jalur selatan pulau Jawa. Dilaluinya bukit hijau dan hamparan pesawahan yang luas. Udara di dalam kereta sama sejuknya dengan di luar.

Matahari mulai menuruni peraduan, sinarnya masih terang terlihat. Burung-burung masih berkeliaran, bebek-bebek masih berlajan bersama penggembala, air segar masih mengalir mencari muara untuk dituju.

Kereta mengurangi kecepatan sejenak untuk melewati jembatan panjang yang menghubungkan dua bukit hijau. Erangan kenikmatannya membangunkan penumpang yang tidur di dalamnya. Kereta Api Serayu bergerak perlahan agar penumpangnya bisa menikmati keindahan yang tersaji dari alam dengan bantuan tangan baik manusia.

***

Demonstran dan pejalan, orang-orang menggambarkanmu sayang. Lelaki muda dengan semangat membara. Tapi bagiku, kau lelaki lugu dengan kebaikan hati yang membumi.

Darimu aku belajar berjalan di tepi jalan, rimbun hutan, atau di pasir yang membentang di sebelah lautan. Sekali waktu yang tak menentu, kita kumpulkan receh untuk membagi kebahagiaan-kebahagiaan yang murah. Sayangku, berkatmu aku tak harus menjadi orang berpunya untuk bisa berbagi dengan sesama manusia.

Sebentar lagi senja, keran kenanganku kepadamu semakin terbuka lebar. Aku ingin memesan secangkir kopi hitam tanpa gula kepada Prami di kereta. Aku ingin mengingat kenang manis sembari menikmati kopi yang pahit. Saat demonstrasi atau perjalanan jauh ke hutan-hutan. Saat kau diciduk aparat atau saat kau melinting tembakau dengan masyarakat adat. Menonton drama yang dipentaskan atau berjingkrak saat menonton konser musik.

Kereta kembali meraung dan menambah kecepatannya. Lagi-lagi kau datang, mendobrak pikiranku dan membobol paksa keran kenangan bersamamu. Aku masih duduk sendiri, sejak kereta berangkat dari kota hanya sedikit gerbong yang penuh penumpang. Orang-orang tak semuanya ingin duduk di bangku kereta yang hampir tegak lurus dan melaju lebih dari 10 jam. Tapi aku tak peduli.

Mega-mega mulai mengumpul pada cahaya jingga. Senja datang di peraduan kehijauan sawah dan aliran air yang mengalir deras. Ekor cahayanya menjuntai menimpa padi-padi, pohon, air yang mengalir, dan jendela kereta yang melaju cepat melintasi rel yang berubah warna menjadi keemasan.

Ah, sayangku. Senja terlalu indah untuk dipandangi seorang diri, di sini. Kau kembali lepas lengkung di bibirmu, dalam peraduan bias jingga dan kegelapan yang mulai menyebar kau cumbuiku pada sehampar pasir putih kala itu. Kau mengepaki semua yang ada dan pergi meninggalkan gempita kota entah apa alasannya.

Senja perlahan mulai hilang ditelan malam. Cahaya jingga keemasan yang memancar akhirnya pupus juga disergap langit yang berubah warna menjadi hitam. Aku masih duduk di kereta yang sebentar lagi berhenti di tujuan akhir, kotamu.




Tentang Penulis


Bayu Suta Wardiantolahir di Tegal pada 18 Maret 1998. Seorang Guru SMK yang juga avonturir. Pernah belajar di pendidikan formal selama 16 tahun di Banten dan kini berlabuh di Purwokerto. Bekerja serabutan sebagai pekerja teks di Rumah Kreatif Wadas Kelir menjadi bagian kecil dari Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Proses kreatif bersastranya dimulai sejak bangku kuliah ketika mengenal Arip Senjaya, Herwan Fr, dan Firman Venayaksa. Namanya tercatat di buku antologi bersama Gol A Gong dalam Kumpulan Puisi Penyair Banten “Cinta yang Menangis Cinta yang Berduka”. Buku puisi pertamanya berjudul Tuhan, Aku Tersesat menjadi top 10 dalam ajang Pekan Literasi Bank Indonesia PurwokertoBuku kedua berupa kumpulan cerita pendek yang berjudul Perempuan yang Terjerat Kursi Taman. Tulisannya termuat diberbagai media lokal seperti Radar Banyumas, Maarif NU Jateng, Beranda.org, Bidik Utama, dan sebagainya.

Penulis bisa dihubungi melalui email: bayusutawr@gmail.com atau media sosial Instagramya @suta_sartika.


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top