Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Musyafa Asyari

0


 

DINDA YANG MEMELUK KEHILANGAN

 

Malam kembali datang seperti biasanya. Ia  menyelimuti awan di Kampung Benda. Geretak pintu mulai di terpa sayup angin hujan. Lambat suara ombak. Daun yang mengayun terdengar hingga rumah-rumah. Menyelinap ke pintu, membuka tirai, mengganggu tidur orang-orang yang asyik mendengkur. Debu dan pasir pesisir diarak angin, menyelinap ke beranda, menerobos celah dinding yang terbuat dari kayu itu. Angin terus berhembus dari Utara menerpa pintu kamar hingga berdecit pelan. Pintu kamar sedikit terbuka.

Di kamar itu, tidur Dinda tak lelap. Angin sedang tidak bersahabat, dibawanya hawa dingin yang menusuk, tak sehangat dekapan suami. Dinda menggigil dan mendekap guling dalam selimut. Ia tertidur lagi, dalam tidurnya ia bermimpi buruk.

Hujan di laut, barangkali badai pekat. Angin ribut beterbangan setinggi rumah, menggulung perahu suaminya, hingga hancur berkeping. Ia melihat suaminya terombang-ambing, lalu hilang. Tiba-tiba dari arah entah, muncullah seorang lelaki tua bersorban putih, berjubah putih, serba putih membopong suaminya. membawanya terbang menuju cahaya di atas langit hingga lenyap.

Angin seakan kencang menerobos pintu rumah kecil itu. Angin yang menyilet menembus pori-pori halus kulit Dinda. Tidurnya semakin terusik mimpi buruk yang kian mencabik.  Dinda terjaga.  Ternyata cuma mimpi, mimpi buruk. Mimpi itu selalu menghantui Dinda sejak sebulan lalu.

Kala sore itu, temaram senja yang kembali menampakkan keemasannya, siluetnya mulai pudar menyelubungi ufuk Barat. Ketika matahari bersembunyi di balik gunung yang menjulang di depan sana. Sinarnya memantul indah pada bongkahan awan yang membias keemasan, dan siang yang ingin berganti dengan malam. Maka itu adalah waktu bagi Rajo, suaminya, untuk berlayar ke laut mencari ikan. Malam di laut, tak seperti malam di kotamu. Di pantai itu mereka berpisah. Dilihat oleh ombak, disaksikan pantai. Tanpa pelukan, tanpa kesaksian, dan tanpa air mata.

“Berhati-hatilah.” Ujar Dinda seraya berdoa dan mengangkat kedua tangan.

“Doakan semoga dapat ikan banyak.” Jawab Rajo yang sedang mempersiapkan peralatannya.

“Semoga kembali dengan selamat.”

Rajo pun pergi tanpa lambain tangan dan kecupan istrinya. Bekal dipikul di pundak kanannya. Ember berisi nasi dan sayur, juga sedikit air tawar sebagai pelipur dahaga. Rajo semakin menjauh menuju perahu. Terdengar suara mesin dinyalakan, suara itu memperkecil gemuruh angin malam. Dinda menatap perahu suaminya yang semakin jauh, menjauh. Lampu ceplik yang berada di tiang atap perahu juga semakin kecil, mengecil, menjadi titik, lalu hilang.

Tangan Rajo mencengkram sisi perahu dengan kuat. Air laut itu berlomba-lomba ingin mencapai bibir perahu. Sungai desa Benda pada bulan September ibarat harimau yang bersembunyi di balik alang menanti kelengahan rusa malang. Sedikit saja tukang perahu salah mengambil arah, maka ombak besar yang bersembunyi di balik gemuruh malam siap membuat perahu terjungkal dan seisinya bisa berakhir pada kematian.

Rajo berdiri di bagian belakang sambil memegang tali kemudi, ia terlihat fokus menatap ke depan, mencari bagian teraman dari laut yang luas itu. Air merembes masuk ke sela-sela papan perahu. Langit-langit malam kian menggelap, perahu kecil nelayan itu menari-nari di tengah gelombang. Hujan mengguyur deras, petir menyambar, kilat melambai, Rajo menggigit bibirnya kuat-kuat. Ombak setinggi tiga meter tak lelahnya menghantam lambung perahu, kemudian mempermainkannya seperti buih saja. Tak punya belas kasihan, tanpa rasa bersalah. Laut malam itu seakan mengajak Rajo, nelayan terbaik di Benda menari tarian kematian. Ia harus berebut nyawa dengan malaikat maut.

Terdengar bunyi krekk! Sepertinya tiang-tiang layar hendak menyerah, mereka kian merunduk pasrah. Rajo berpikir keras. Ia harus membuat pilihan, jika ia mengambil keputusan salah maka ia akan berakhir di lautan. Lalu, bagaimana nasib Dinda jika ia tahu bahwa suaminya meninggal sia-sia?

Rajo mendekati tali pengikat layar. Kemudian membuka tali itu satu persatu. Layarnya kini tergulung rapi. Ia telah memutuskan untuk berlayar tanpa layar. September merupakan bulan terkutuk untuk para nelayan. Ombak setinggi tiga meter lebih menjadi ancaman yang menakutkan mereka, belum lagi angin kencang, hujan turun tak menentu, petir menyambar, angin bertiup kencang. Kapal kecil itu berputar-putar tanpa arah dan sebuah tiang layar jatuh mengenai kaki lelaki tersebut.

Sudah lima hari para nelayan desa Benda selalu pulang dengan tangan kosong. Tak ada ikan yang bisa mereka bawa pulang. Laut biru seakan tak mau bersahabat. Juragan Tono berteriak di pelelangan ikan. Tempat biasa para nelayan berkumpul.

“Kurang ajar kalian! Masa selama lima hari tidak ada hasil?”

“Maaf Juragan, ini bulan September. Bukan salah kami awak kapal tak bisa menangkap ikan,” jawab Sugeng, seorang nahkoda dengan topi hitam yang selalu melingkari kepalanya.

“Alasan kalian semua! Kalian hanya bisa menghabiskan uang-uangku.” Balas Juragan Tona dengan wajah memerah api.

“Benar Juragan, bukan salah kami, salahkan saja laut yang mengamuk,” ujar yang lainnya.

“Alah, kalian saja yang tidak mempunyai keahlian.”

“Apa? Apa kau bilang?” Tanya lelaki paruh baya dengan dada yang menjulang. “Lihat saja nanti, pasti Rajo akan membawa ikan salmon Benda. Ingat itu.”

“Nelayan desa Benda tidak punya keahlian!” Jawab Juragan dengan memalingkan badan.

“Diam kau!” Sahut lelaki paruh baya tadi. Lelaki berumur empat puluh tahun itu menepuk-nepuk dadanya seakan tak terima cacian Juragan.

Rajo memang tak pernah pulang dengan tangan hampa. Ikan- ikan seakan tunduk dengan perangkap yang di pasang di perahu Rajo. Mereka berlomba-lomba masuk ke dalamnya hingga perangkap itu penuh. Tak cukup hanya itu, ikan-ikan besar pun selalu memakan umpan di kail pancing Rajo.

Tapi nasib memang tak terduga. Hari ini bukannya Rajo mendapatkan ikan, tapi malah mendapatkan sial. Hal itu karena cuaca ekstrim bulan September. Perahu lelaki kurus tersebut di terjang ombak besar, kakinya pun terkena reruntuhan tiang layar, Rajo pingsan.

Rajo membuka matanya perlahan. Kakinya masih nyeri dan matanya agak berkunang. Tapi cahaya cerah mentari pagi membuat penglihatannya semakin membaik. Air yang menabrak pinggiran perahu menyadarkan dari pingsannya. Rajo kaget ia masih di tengah laut. Langsung ia bangun, mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Rajo diambang kebingungan. Berapa lamakah ia pingsan? Berapa harikah ia di lautan?

Hal itu juga di rasakan Dinda yang terus menunggu suaminya. Pagi yang temaram berubah menjadi kelam. Sementara tangis si anak semata wayang semakin mengencang. Menunggu, hingga menjelang petang. Beberapa nelayan mendatangi rumah Dinda.

“Tadi malam kami melihat perahu Rajo jauh di tengah amukan ombak.” Ujar nelayan tua dengan raut wajah panik.

“Benar, kami melihatnya,” ujar nelayan lain dengan tergesa-gesa. “Kami melihat ombak besar menerjang perahu Rajo, tetap sepertinya Rajo sudah tidak ada di perahunya.” Dinda semakin panik. Tangis bayi semakin kencang, tanpa jeda. Seakan ia juga merasakan apa yang dirasakan ibunya.

“Kami melihat ombak yang disertai angin ribut tepat di samping perahu Rajo.” Ujar nelayan itu lagi. “Ketika itu kami langsung melaju mundur ke daratan setelah menyaksikan kejadian tersebut.”

Rumah Dinda ramai didatangi orang-orang.  Wajah mereka cemas. Ratapan mereka kian mengeras. Suara desit ombak kini tertelan oleh suara-suara orang yang berkumpul di rumah Dinda.  Kesaksian nelayan-nelayan itu membentuk suatu kecemasan. Mereka bertanya-tanya. Di mana Rajo sekarang? Dan di laut mana ia berada?




Tentang Penulis


Musyafa Asyari, mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Lahir pada tanggal 1 Juni di Benda, Sirampog, Brebes. Penulis bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP). Karyanya pernah terpublikasikan di beberapa media online seperti ngewiyak.com, cerano id, go kenje, Borobudur Writers, sksp literary. Sekarang sedang berdomisili di Ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan Ponpes Darul Ghuroba Al-Hikmah 1. Penulis dapat dihubungi melalui IG/musyafa Asyarie, HP: 085727228346 atau Email musyafaasyari03@gmail.com

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top