Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Ajis Sukriyadi

0


DILEMA SENJA


1/

Kalau waktu bisa berwarna seperti senja

Kan kupilih warna merah yang memanjang untuk kau simpan di matamu

agar hilang sudah bayang-bayang kesepianmu

menyisakan bola matamu yang berawan,

kenangan yang menenggalamkan.

aku hanya melihat tanpa berbuat

bukan tak bisa tapi aku tak kuasa

dalam sepiku aku terjatuh sebelum bangun.

Ada yang lebih kejam ketimbang jatuh hati

Kesepian itu sendiri.

Senja yang meleleh di matamu membekukan segala ingatanku.

 

2/

Yang terbayang sebelum menghilang adalah wajahmu sebelum terbenam

Setiap cahaya yang menyentuh pipimu, senyummu bahkan lesung pipimu

Adalah puisi yang tak pernah selesai kupahami.

Bukit-bukit yang menyisakan cerita pada lerengnya telah berjatuhan

Menjadi bongkahan masa lalu yang berserakan dibiarkannya

Berteman dengan belalang dan serangga menjadi teman sepi.

Kini malam menjelma nyanyian dikesepian yang menggigil ingatan

Tidak ada lagi pengantar senyum sebelum fajar datang atau

Senja yang mulai bergelantungan di wajahmu.

Puing-puing waktu yang berserakan, jam yang semakin ganas menjerat ingatan

Detik yang semakin cepat menggulung pikiran

Adalah kesakitan bagi rindu menunggu datangnya fajar

Agar menunggu senja datang tidak terlalu mengambang.

 

3/

Malam semakin menepi sepi yang mulai diseret hati

Mengeja dari pagi sampai pagi kembali

Didalamnya adalah namamu yang mengisi tanpa mengenal henti

Menunggu datangnya senja sama saja bunuh diri pada serpihan waktu

Yang memburu setiap mengingat jalan menuju kesepian

Doa adalah aku yang masih terbata-bata

Tapi terbata-bata bisa menjadi doa terkabul jika hati yang mengisi

Menjadi benang bagi langit-langit yang mulai dipenuhi awan.

Biarlah menunggu dengan doa saja di ruang menyepi.

Setidaknya memilikimu tidak bisa, mengabadikanmu dalam puisi saja

Itu hadiah dariku.

 

4/

Tidak ada luka yang abadi begitupun tidak ada kesendirian yang kemanjangan

Garis-garis waktu yang menjuntai akan selalu berputar mengantar impian

Hanya pilihan yang akan menentukan, berdiam atau mengikuti waktu

Dengan membawa segala kenangan yang kadang berloncatan meminta rehat

Untuk sesekali mengulasnya menjadi burung-burung atau bintang.

Menulis ingatan tentang persitiwa singkat adalah hadiah waktu yang diberikan

Ketika matahari mendesak pergi.

Tidak ada lagi senyum, sebab sudah kuduplikat dalam puisi.

Sebelum kepergianmu mengundang rindu.

Akan tinggal saja di sini bercengkrama dengan sepi dan rindu menjadi burung merpati

Di kala puisi sudah menampung namamu

Kemudian akan diterbangkannya lewat zaman untuk mengantarmu abadi.

 

5/

Ketika mendekat ke senja, lagi-lagi waktu menertawakan, awan riang

Bergerak menyalami sepi, burung-burung bernyanyi kesedihan, warna senja

Bergerak perlahan untuk melihat hujan di samudra. Begitulah aku ditunggangi waktu.

Ketika warna senja mulai menggantung di langit dan awan menggambar siluet

Pohon mulai tenggelam, jalan mulai lengang tinggalah seorang anak yang menggambar senja

Tanpa kuas atau kanvas.

Ia menggambar dengan hatinya, wajahmu sebelum terbenam.

 

6/

Mencari kefanaan sudah pasti

Tinggal bagaimana puisi mengabadi

 


 


SENJA DI WAJAHMU

 

Sore;

Lukisan wajah pada pasir yang kubuat dengan perasaan

Mengajakku menyusuri setiap lekuk hari yang kita lalu

Dari sepi hingga riuh buih untuk menyaksikan bias mimpi-mimpi

Kemudian kembali ke lautan hati kita masing-masing. Dari gemuruhnya adalah doa anak cucu yang mulai beriak tanpa henti membentangkan mimpi

Disanalah kusematkan senyum di wajahmu sebagai obat di kala senja.

 

Senja;

Matahari mulai pamitan dengan burung-burung, karang yang mulai hilang

Warna hutan yang menghitam, nelayan mulai menepi ke pesisir, perahu-perahu berjajaran ditinggalkan pemiliknya, tapak kaki yang mulai hilang di hapus angin darat

Telah disaksikannya semua harapan sebelum tenggelam

Doa anak cucu adam yang mulai menepi sebelum purnama mulai mengamini.

 

Di wajahmu;

Semua bermuara, dari gelombang pasang-surut air laut yang menerkam karang

Dengan tabah membawa pasir ke pesisir untuk melukis hamparan pantai.

Lalu dengan wajahmu tenggelam diseret angin buritan. Di dadaku.

Deburnya masih kurasakan hingga keujung hati. Dan kita bercerita tanpa henti

Pada rembulan yang tersenyum menyaksikan sepasang kekasih saling merindu

Pada jarak.




 

SEPASANG MERPATI

 

1/

Dering waktu adalah kau

Detik jam adalah waktu

Setiap dering adalah waktu yang kau sediakan untuk rindu.

Sebelum berakhir tanpa dering

Ketakutan tercepat adalah tidak ada rindu tak mengenal detik waktu

Semua berakhir dengan dering yang menggebu.

 

2/        

Sebuah mercury yang terpasang di halaman depan rumah telah redup ketika fajar mulai terbenam di matamu. Biarlah dingin menjadi teman bagi kerinduan yang menggigil saban menapaki detik demi detik yang bekejaran dengan fajar, yang mulai di seret matahari. Nampaknya lesung pipimu lebih kunanti sebelum matahari mengusir fajar yang asik menyentil ingatanku tentang wajahmu yang berserakkan di bunga-bunga, jendela, kamar dan jam beker yang sedari tadi terus memanggil namaku. Akhir-akhir ini aku sering menerka-nerka tamu yang mengetuk pintu pagi buta, entahlah semua seperti fajar yang datang tanpa diundang yang memasuki sela-sela jendela. Tapi hampir setiap harapan yang berseliweran seperti angin tanpa ada kabar yang jelas, ini hanya firasat saja atau lebih tepatnya halusinasi saja.

 

3/

Sepasang burung merpati terbang mencari tempat untuk hinggap dan bercinta. Meliuk-liuk sepanjang jalan melewat toko, rumah, perkantoran dengan begitu senangnya. Tidak ada waktu yang lebih indah untuk menjadi kepingan ingatan selain melewati hari-hari berdua dengan terbang bebas. Tidak ada yang mengganggu. Hari sedang bersahabat, awan mengantarkan kedua merpati dengan senyum dibalas senyum. Angin menggulung senyum dengan sepoi-sepoi menjadi jalan bagi sepasang merpati yang akan menuju taman hati.

 

4/

Sepasang burung merpati yang bertengger di kursi taman meninggalkan tempatnya. Setelah saling mematukkan bunga-bunga yang sudah ditanamnya sejak lama. Dengan membawa kado yang dibawanya terbang ke udara mengabarkan cintanya yang semakin mengangkasa. Hari semakin bahagia menyambut sepasang merpati yang sedang kasmaran, awan mengantarkan pulang dengan melodi yang sesuai perasaan berkolaborasi dengan angin yang bernyanyi dengan merdu. Pohon pinus, gajah, panda dan seisi taman itu melambaikan tanda perpisahan. “Semoga bisa kembali ke sini.” Aku merasa hari ini seperti ada yang menerbangkan sayap-sayapku melewat jalur yang tadi dilewati ketika berangkat. Melesat dengan bahagia.

 

5/

Kemudian ia kembali kesarang membawa kado yang masih dipelukkan.

Menunggu musim yang bisa mengantarnya menanam dering waktu.




 

SEBELUM PERGI

 

Aku tidak sepandai itu membungkus rasa

Kemanapun berjalan

Ingatanmu masih saja terbentang

Di dada mengisi segala cuaca

Kemanakah kiranya berlabuh

Ketika perahu kehilangan daratan

Akan sampai kemana mencari samudra

Kalau hingga ke ujung pengharapan

 

Waktu memang berputar tanpa mengenal rasa

Ia akrab dengan segala cuaca.

Begitupun dengan cinta ia akrab dengan deritanya

Kalau karma hitungan seperti angka

Maka pengharapan ini belum setimpal

Dengan luka yang menganga pada siapa saja.

 




MENJELANG MALAM

 

Angin kemarau yang parau bertamu pada sela-sela daun

Disambutnya dengan riuh 

Angin;

            -duka yang melanda dari semak, daun, ranting

            berjatuhan menuju tanah

            ia kabarkan semesta yang merajuk pada musim.-sedang

            -duka sedang berpamitan dengan api, air dan lembah

            menuju kemarau

            Ia terisak dengan anginya yang parau.-berlalu

Dukaku sedang mengangin menuju semesta yang kemarau

Semua bermuara di hatimu-pergi.

 

Brebes.

 

 

 


MEMELUK KAKTUS

                                                Kepada seseorang

 

Di padang tandus, kau memeluk kaktus;

            Tergerai dari padang pasir segala doa dari cahaya matahari

            Sambil tengadah menungggu hujan, bahwa segalanya akan indah

            Segalanya akan berujung pada telapak tanganmu. Kemudian;

Kau remas dengan erat pohon kaktus itu ketika hujan telah berbohong

Pada harapanmu.

 

Di padang tandus, hanya ada kaktus;

            Duri yang kau buat sendiri telah menancap pada matahari

            Pada angin yang menggulung pasir, pada pasir yang mengurai oase

            Pada segala pandangan yang hanya ada dirimu dalam tangis, untuk dijadikan hujan.

Hingga kau tabah memeluk kaktus dengan hujan yang deras

Pada bola matamu.

 

Memeluk kaktus;

            Memeluk matahari

                        Memeluk pasir

                                    Memeluk angin

                        Memeluk hujan

            Memeluk duri

Memeluk segala ketidakpastian yang hanya mimpi

Kau sendiri.

 




KEGEMBIRAAN

 

1/

Ketika langkahku mendadak beku di pintu gapura

Senja mulai hilang dan bermuara di atap rumahmu.

 

Ketika langkahku tepat di pagar rumahmu

Senja mulai merekah dengan warna kemerahaan disenyummu.

 

Ketika kau menghilang dibalik pintu

Senja sudah mengisi hati yang sepi.

 

2/

Waktu mendadak lamban berdetik

Dan suara-suara kelelawar seperti nyinyir di atas rumah

Berputar-putar tak tentu arah

Ia paham waktu yang melamban menyaksikan sepasang burung merpati

Hinggap tak tahu diri.

 

3/

Puisi ini telah menjadi jalan ketika senja kemerah-merahan

Dengan bingkisan bermotif diksi, rasa yang bercampur gemetar

Dan kutuliskan pada senyum.

kadang menulis puisi sekanak-kanak ini.

 




SEBUAH ISYARAT

 

Di meja biru kita bertemu namun saling jemu

Menunggu saling tegur dan selalu melirik waktu

Barangkali sebuah isyarat segera berlalu.

 

Di meja biru kita memesan teh tarik

Dan tanpa disadari kita saling lirik

Kiranya hanya aku yang berbisik.

Sebuah isyarat yang tak menarik.

 

Kemudian kita saling bicara entah pada siapa

Mungkin sebuah isyarat

Bahwa kau sudah lupa bermain siasat.

 

Di meja biru kita hampir lupa waktu

Piring-piring saling tatap, gelas sisa kopi saling mencibir

Dan kita hanya tertegun inilah sebuah isyarat bahwa cinta butuh usaha.





Tentang Penulis

Ajis Sukriyadi lahir di Brebes 4 Februari 1996, penulis merupakan alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Siliwangi, sekarang sedang menempuh pendidikan Magister di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Berdomisili di Tasikmalaya tepatnya di PMI Kota Tasikmalaya  sebagai relawan. Puisinya pernah dimuat dalam majalah santri (An-najm) dan antologi bersama “Puisi Nusantara” (Cta Creation), antologi puisi “Surat Cinta” terbitan Silalatu, cerpennya dimuat dalam antologi cerpen GBBSI UNSIL 2016. Penulis bisa dihubungi melalui media sosial  Facebook: ajissukriyadi dan Instagram: ajissukriyadi2.


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top