Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Iqbal H. Saputra

0


JIKA TIBA WAKTU

 

Kelak jika tiba waktu

kita berpisah, saling meninggalkan

 

Kisah-kisah akan jadi semesta

keluh-kesah memberi frekuensi

pada yang harap, pada yang lesap

tapi salah satu antara kita

akan jelma tajam bilah

untuk memotong sejarah

perjalanan anak manusia

bisa kau bisa aku

lenyap, lahirnya tak diharap

 

Kelak jika tiba waktu

kita berkasih, dalam kelakar liar

 

Ingatlah!

Ketika senja, burung-burung jadi pertanda

bagi putaran waktu, menguliti kulit hari

maka malam tetap malam

meski ditolak tak mungkin lekang

karena fajar tetap jua fajar

yang membangunkan keruyuk ayam jantan

 

Kelak jika tiba waktu

kita bertemu

tapi bukan di sini

 

Yogya, Jejak Imaji

2015 

 

 


 

ROMANSA I

 

Kapan pengasingan berakhir

rindu bau sangrai timah

dalam drum atas tungku tanah

 

Teringat saat berumur sepuluh

jika bolos madrasah

kuhabiskan waktu di hutan belakang rumah

sangu ketapel, kadang bertemu murai punai

buat santap makan Bujang Kecik[1]

lumayan itu

 

Jika Ayah di kulong ngelimbang timah[2]

kerap kularikan senapan angin

kukumpil keretangin[3] Ibu

kerap berpapas kijang-tupai, henti laju

misal dapat, tak kan ada serapah meradang

misal tak, kenakan sarung peci, sila di atas tikar mengkuang[4]

keras-keras mengaji sampai terdengar rumah tetangga

sampai kalahkan keriut keretangin Ayah

yang pulang membawa hom pim pah

 

Kapan pengasingan berakhir

rindu bau sahang

yang diperam ai’ arongan[5]

 

Teringat usia tujuh-belas

lepas sekolah menengah atas

citaku beribu, kepingin lekas

tinggalkan hutan, seberangi laut tak berbatas

jumpalitan, tinggalkan rumah tanpa halaman

memulai rintih, tanggalkan riuh kampung halaman

memiuh nasib, menunggul pada khayalan

            entah di mana tak pasti nanti

            jadi orang hendaknya mimpi

tersebab entah yang imaji itu


aku membabu di gudang Fat Khu

cina kuncit kampong Belantu

tauke sahang dari Kumpang

sampai tumpas darah dikandung badan

sampai tumpat, didera nasib baduk

 

2011-2022




 

ELEGI MELODIA

: Umbu Landu Paranggi

 

Umbu, cinta memang membuat kita mesti bertahan

namun duka gelisah, juga dendam, tak terelakkan

menuntut diterima dengan tangan terbuka

 

Aku mencoba setia, tapi selalu gagal

menjinakkan amarah dalam diri

 

Telah kutolak rayuan bulan

menempa diri dengan lengan matahari

Tapi masih saja

angin yang nakal, nasib yang sakal

membuatku menjadi kanak-kanak

Kakiku bersikeras menjadi kompas

tetap saja, tujuan termangu

di jalan pikiranku yang buntu

 

Aku terus bergelut, melawan diri sendiri

menggempur kemunafikan yang tak bisa dinafikan

Namun  kesetiaan mengkhianatiku berkali-kali

hingga rencana-rencana berjalan sendiri-sendiri;

kertas-kertas di bawah bantal

tanggal-tanggal penuh coretan

seakan menjadi kesia-siaan

 

Seorang-dua mengajarkan

untuk selalu memberi, menolak menadah tangan

Tapi mereka diam-diam nyelinap dari pintu belakang

membawa dusta-dusta miang

hingga mulut menjelma lubang

keluar masuk janji-janji kepayang

 

Umbu, cinta memang

membuat kita betah sesekali bertahan

dalam langkah kaki

aku masih teguh mencari

 

Mastera, 2017

 




DIORAMA PERCINTAAN

 

Untuk mencintaimu

aku kudu jadi penyair

agar indra berlayar menuju Indraloka

Tubuhmu rangkaian bait

tempat kuletakkan segala cinta

citra, titik dan tanda koma

Namun meladeni hasrat keduniawian

membanting tulang tak mungkin kunafikan

 

Kau jangan silap mata

berlebih memuja kata

keindahan yang memabukkan

derita mengharu biru

cuma berlaku dalam sajak-sajakku

Urusan rumah tangga sehari-hari

biarlah jadi senggama lain

 

Rumah adalah surga anak keturunan

tapi menyusuri jalan-jalan

mengembarai jagat raya

juga surga lain bagiku

; rumah itu Firdaus, jagat raya Darussalam

Kau pun tahu sejak awal

sebelum suci cinta terkabul

disahkan ijab kabul

 

Jangan menuntut aku memilih

engkau dan sukma hidupku

Derita akan datang bertubi

 

Jika kumasuki jagat imaji

kuatkan iman cintamu;

tabah merawat anak di rumah

sabar meruwat hasrat bercinta

ikhlas melumat pikiran-pikiran khawatir

atas kenakalan masa laluku

Saat aku di luar, saat tak bisa bertukar sandar

yang kuletakkan di hati cuma kau

yang kurawat di kelamin adalah sumpah

Meski mata-pikiranku menjadi nakal

sikapi dengan tabah

 

Istriku, menikahimu jadi ritual agung

penyempurnaan kepenyairanku

 

Bogor, 2017

 

 


 

HIKAYAT TUKANG PERAHU

: nelayan Pantai Cepoon

 

Setelah fajar menyingsing

kau tinggalkan rumah menuju tanjung

tempat ratapan dan harapan bertarung.

Ketika busur waktu menunjam

ke liang hatimu yang karang

terus kau terima nasib

menggerus tak habis gelombang.

 

Kau paku mimpi di dinding perahu

yang kayunya ditebang dari dalam rimba nasibmu.

Pada tiap sekat, antara papan-papan doa

kau tambal dengan nama-nama

dengan rencana-rencana

yang kerap tak terkabul karena cuaca

karena prasangka, dan gerus asin samudra.

 

Kau ruat kulit yang lekat di batang

agar urat kayu elok dipandang.

Kau pilih paling kokoh untuk dipilah

agar tutuh tak sia ketika dibelah

agar tatah pahat pada pasak tertata

agar tulang dan tiang perahu tak patah

meski badai di samudra tiba tiba-tiba.

 

Kau bekali kerja dengan jampi dan doa

agar berlaksa janji pada istri, anak keturunan

diri sendiri, tak karam dihempas angin buritan.

 

Meski berlayar kerap tak janjikan tangkap

terus kaubuat perahu dengan sigap

mantap pada kerja, tak sedepa beranjak;

meninggalkan rumah dan kenyamanan

menanggalkan remah dalam rumah

menunggalkan ramu takzim yang tuah.

 

Setelah petang menyambang

kau kemasi diri, berhenti bertukang

meninggalkan tanjung menuju kampung

tempat ratapan dan harapan berkunjung

berulang-ulang.

 

Belitong, 2018

 




HIKAYAT PERCINTAAN JALAN RAYA

 

Kita lakoni percintaan liar

sepasang kekasih, kuda dan dokar

yang dilecut tumpangi tuhan berwajah kusir

 

Cintaku, aurora cintamu menembus

palung sukmaku, meninggalkan bekas

Seperti bulan matahari, mataku melepas

cahaya bagi kegelapan seribu jalan sunyi

percintaan yang melebihi kisah dewa-dewi

 

Kupacu kaki berdarah

mengajakmu mencari pintu swarga

Kita susun rencana, berdiskusi dan

berlari mengejar, sebab imajinasi

tak cukup ampuh untuk membangun istana

bagi anak cucu dan hari tua yang rahasia

 

Ai mak jang

angin pagi yang menjalari tubuh sekujur

tak jadi soal saat kita putuskan jalan berbanjar

Terik matahari yang membakar

ajarkan kesetiaan senantiasa berkobar

Pabila purnama menggelantung

kita bergegas masuk ruang

menciptakan desah raung

gelinjang, bercinta melepas gandrung

 

Percintaan kita lahirkan orok

kisah kita serupa roda pada becak

 

Sebagai Ayah Ibu

patutnya beri laku untuk digugu-tiru

Kita di depan, menggiring buah hati

agar sampai segala cita yang diangankan

Sedang tuhan, tetap jadi penentu

berjalan atau tak, hingga ke mana arah tuju

 

Kadang kita berjalan kaki

menyusuri trotoar hitam putih

bunga, dan aspal yang pekat

tak sanggup menahan kendara tumpat

saling salip berebut tempat

Persis kehendak kita

dinyatakan yang tak sempat

tersisa dan terlipat, dalam almari reot berwarna pekat

sampai tiba matahari, kita tercekat dalam ilusi

 

2016-2022

 



 

KULI PELABUHAN

 

Sebelum kapal-kapal berlayar, bersandar

angin dan ingin telah memaksa kuli-kuli melarungkan

doa-doa mereka menuju angan-angan. Sisa-sisa janji

yang diikrarkan pada anak istri, sebelum angkat kaki

menuju samudera pergulatan, sebagai bapak, sebagai suami

telah menambah daftar panjang harapan, tumpang tindih

bersama hutang-piutang, pada tauke, juga ampas

remas-remas manja di sebalik kutang-kutang kerepe[6]

yang tak pernah genap dibayarkan.

 

Bau arak mengarak nasib mereka ke liang nestapa

sampai tumpas upah, sampai tandas tenaga.

Kenyataan memberaki mimpi, dan peluh keringat gagal menceboki

segala yang merecoki. Tak ada yang dibawa pulang

selain dusta, kemelut membelit, tanggungan melilit.

Dilemparkannya dadu ke meja penuh debu, berharap receh membukit

dalam perjudian nasib kelabu. Tapi angka-angka tak bisa merubah

harapan palsu kuli-kuli. Lingkar merah pada alamak mencekal

menggiring mereka jadi banal, lantaran piutang kian buntal.

 

Ai Mak Jang

sumpah kadung ditutur, kenyataan tak bisa diatur

dan serapah pada diri sendiri jadi ritus lantur.

 

Sebelum kapal-kapal berlayar, bersandar

segala mendesak, tak bisa mengelak.

Cemara dan camar jadi tiada

tak berguna di kuping dan mata;

suara menyamar, pandangan melamur,

melengkapi orkestrasi gelombang nasib

melingkupi atraksi gelembung nisab.

 

Ai Mak Jang

ketika jarum kerja menusuk lamunan mereka

rakit-rakit dilarung ke hulu, tapi tak sampai ke tepian.

rasa sakit menjadi karib, bersama caci-maki taipan.

 

Belitong

2018-2022

 




CERITA PENDEK SEPANJANG MENIKAH

 

Bagaimana mungkin aku lepaskan simpul

yang kita sepakati dalam ijab kabul

 

Kita saling berjanji

saling membersamai

engkau sabar untuk disemai

aku tebar dengan nasib kusut masai

di hadapan ribuan pasang mata berbinar-berpendar

Kata-kata jadi doa

ketika menyintuh gendang telinga

Mulut-mulut ikhlas merapal amin

sambil hati mereka disesaki harapan dan rencana

Dengan Imaji, kudengar malaikat mengamini

dan Allah menjabah doa, begitulah aku mengimani

 

Tapi bukan karena kamu

aku enggan berpaling

atau ketakutan atas kehilangan

membuatmu menjaga kehormatan

 

Semua tahu

Seusai ijab-qabul kuurai

Kepada Allah semata

kita pautkan dua jiwa papa

yang dalam bahasa sederhana

manusia menyebutnya dengan cinta

 

Belitong, 2022

 

 

 


MELANKOLIA HUJAN PAGI

 

Aroma tubuh tanah

yang semalam gelinjang, gelisah

Seakan kepingin membisikkan kata

Seperti kali pertama Adam-Hawa mendengar kabar

mengapa mereka terasing ke dimensi luar

 

Jejak-jejak mimpi dan desah

bercaknya masih tampak basah

di atas kasur hidup yang resah

Dimana sprei bermotif harapan

dengan renda di tepi menyerupai baju tidurmu

yang lusuh, tergeletak di atas karpet beludru

 

Tak ada suara burung-burung pagi

ketika matahari mulai menyilau

kicaunya membikin iri hatimu yang kacau

Selain kopi, segelas teh hangat

seperti pilihan yang tidak buruk dihidangkan

menunggu usai pekat awan bunting karena hujan

 

Aku melihatmu

masih begitu tak berdaya

Tapi aku ragu alasannya

karena percintaan kita sepanjang subuh

atau karena sisi kanak

yang kerap datang merasuk

menghadapi aku yang suntuk

 

Hujan pagi

dengan gagah menggagahi pikiran cemburu

pada selimut tebal bermotif keringat tubuh

dan bantal guling

sejak lama dirawat dari kata cuci

Agar ketika kangen, masing-masing kita

cukup merebahkan badan di atasnya

Sambil meyakinkan diri

bahwa pernikahan ini

sudah saling berpilin

sampai pikiran dan batin terdalam

 

Belitong, 2022

 


 


ELEGI

 

Hiruk pikuk minyak sayur

tak membuat kami balur

Karena nenek Moyang

mengajari mengolah mayang

Pada kelapa-kelapa di kebun

meski tanah tinggal sejumput

lantaran tambang timah yang carut

 

Hingar bingar mesin tambang

mengaburkan panggilan sembahyang

tak membuat kami gusar

kemudian mengumandangkan protes

Sebab membela hak logis di negeri culas

menjadi pangkal digilas

Dianggap kompor, diberangus tanpa kompromi

jika ganggu korporasi, atas nama kompor tanak nasi

 

Celoteh dan celatu jadi rutin

mengularnya kendaraan dianggap pantas

bukan masalah, cuma risalah

Kami tenang saja, semua sementara, hanya

layaknya sudah-sudah, datang pergi silih ganti

hangat-hangat tahi ayam

Kemelut minyak bukan ancaman

Sekedar lelucon

cara Tuhan membubuhi pahala

sambil menghitung usia senja

 

Semua bungkam, bukan diniatkan emas

mungkin ada yang tahi, maksudnya

 

Kami bisa menjaga kestabilan pikiran kami

di antara ketidakstabilan bangsa ini

 

datu-datu pernah berpesan

lebih baik pecah di perut

ketimbang pecah di mulut

Apalagi pecah kepala kalian

tersebab pecah emosi di dada

pecah muka dibogem mentah

 

Nah,

Begitu kira-kira

 

2022



[1] Beranjak remaja.

[2] Ke tempat menambang mencari timah.

[3] Kukayuh sepeda angin.

[4] Pandanus artocarpus Grif

[5] Alur air sungai kecil.

[6] Pelacur dalam dialek Belitong.





Tentang Penulis


Iqbal H. Saputra adalah nama pena Iqbal Saputra. Lahir di Belitong, 08 November 1989. Menyelesaikan Sarjana-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra UAD (2011), Pasca-Sarjana UGM, Ilmu Sastra (2016). Tahun 2017 menjadi peserta MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) bidang Puisi. 2018 mendirikan Yayasan Pusat Studi Kebudayaan Belitong (PSKB) yang fokus pada seni budaya Belitong. Saat ini menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Belitung (DKB) periode 2019-2023. Menulis puisi, cerpen, skenario film pendek, naskah drama, juga melukis, bermusik, dan menulis kajian ilmiah mengenai bahasa, sastra, seni dan budaya. Sedang mempersiapkan Percintaan Hibrida, antologi tunggal pertamanya. Bisa dihubungi di: 081931199482 - iqbalhsaputra@gmail.com

IG: @Iqbal.h.saputra – Fb: Iqbal H. Saputra.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top