Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Ilham Rabbani

0


RELASI SUFISME DAN SASTRA
DALAM PEMBACAAN WHITE, KNYSH, DAN MUSA[1]

 Oleh: Ilham Rabbani


Di masa lampau, penyebaran Islam ke berbagai penjuru di luar Arab, tidak dapat dimungkiri telah membawa pengaruh dalam berbagai aspek kebudayaan, tidak terkecuali keyakinan masyarakat mengenai mistisisme Islam, atau yang lebih populer dikenal sebagai “tasawuf” atau “sufisme”.[2] Di India dan Nusantara, yang tidak lain merupakan tujuan penyebaran agama (lazimnya) bermotif perdagangan, pengajaran tasawuf disampaikan lewat media kitab-kitab yang bernuansa sastrawi–misalnya, kitab Al-Tuhfah al-Mursalah karya Muhammad ibn Fadhullah Burhanfuri dianggap sebagai salah satu rujukan terpenting ajaran tasawuf di Nusantara.[3] Alhasil, tidak jarang, dalam manuskrip sejarah tercatat bahwa pada suatu masa, tasawuf berkembang kian cemerlang di wilayah-wilayah tertentu.

Secara khusus di Nusantara, para sufi-pendakwah, yang lantas menyebarkan ajaran Islam lewat media-media sastra, wayang, dan semacamnya–yang telah “disisipi” spirit cinta Ilahi–berandil besar dalam penerimaan dan pembentukan Islam berwajah ramah.[4] Akan tetapi, sebagaimana dapat disaksikan, setelah sekian abad perjalanan, meredupnya tradisi keilmuan Islam yang diiringi pula kemunculan Barat (Eropa) dengan filsafat rasionalnya, telah menenggelamkan secara perlahan eksistensi tasawuf atau sufisme di tengah-tengah peradaban masyarakat Islam itu sendiri. Dalam beberapa abad terakhir, Barat pun sukses mengibarkan panji modernisme-nya.

Modernisme tersebut, di samping membawa janji-janji yang menggiurkan bagi manusia, lamat-lamat juga disadari, bahwa rupanya memiliki sisi yang cukup kelam: manusia dipaksa terasing dari kedalaman diri (nurani dan rohani) yang dimiliki. Lantaran keadaan itu, tidak jarang pemikir muslim kemudian berupaya menggali kembali khazanah warisan agama (Islam) dari pusara sementaranya, dan tasawuf dipandang memiliki potensi untuk membantu mewujudkan pembebasan tersebut. Akhirnya, tasawuf atau sufisme pun dikemas kembali dalam berbagai media dan wujud yang lebih kontemporer.

Kesenian seperti sastra, seni rupa, dan lain-lain tidak luput dijadikan sasaran pengemasan. Dalam hal ini, sastra modern pun disisipi semangat sufisme guna meminimalisasi atau membendung pengaruh sastra Barat yang dianggap terlampau fisikal-dangkal, bahkan hanya berpotensi menjuruskan para pembaca ke arah duniawi yang serba materialistis, rasionalis, dan positivistik.[5]

Perkembangan dan kebangkitan kembali tasawuf atau sufisme dalam sastra di berbagai negara, rupanya banyak disorot pula oleh para peneliti dari berbagai belahan dunia. Sebut saja, tiga di antara sekian penelitian tersebut ialah yang dilakukan oleh Charles S. J. White,[6] Alexander Knysh,[7] dan Mohd Faizal Musa[8]: penelitian White berjudul “Sufism in Medieval Hindi Literature” dimuat dalam Jurnal History of Religions; penelitian Knysh berjudul “Sufi Motifs in Contemporary Arabic Literature: The Case of Ibn ‘Arabi” dimuat dalam Jurnal The Muslim World; dan penelitian Musa berjudul “Javanese Sufism and Prophetic Literature” dimuat dalam Jurnal Cultura.

Dalam tulisan ini, penulis berupaya mencari titik temu dari pembacaan-pembacaan yang dilakukan ketiga peneliti terkait, dan secara mengerucut, pembahasannya difokuskan pada ranah sastra. Setidak-tidaknya, pembicaraan akan mengarah kepada: pertama, penjelasan perihal penyebaran dan perkembangan tasawuf atau sufisme, serta pengaruh dan dampaknya terhadap karya sastra berdasarkan pembacaan ketiga peneliti; dan kedua, penjelasan kriteria-kriteria karya sastra sufi yang dibahas dalam ketiga tulisan mereka.

 

Sufisme dan Pengaruhnya terhadap Sastra

Sebelum memasuki pembicaraan utama, kiranya penulis perlu menjelaskan terlebih dahulu mengenai konteks sastra yang terdapat dalam tulisan White, Knysh, dan Musa. White sendiri melihat pertumbuhan spirit sufisme dalam karya-karya pengarang sekaligus pengamal tasawuf India pada abad pertengahan, semisal Malik Muhammad Jaysi, Mulla Daud, Manjhan, Usman, Sheikh Nabi, dan nama-nama lainnya. Sementara itu, Knysh menyorot pengaruh pemikiran tasawuf sufi terbesar bergelar Syeikh al-Akbar, yakni Ibn ‘Arabi, dalam karya dua penyair Arab kontemporer (80-an) bernama Muhammad Ghazi ‘Arabi dan Gamal al-Ghitani. Adapun Musa berfokus pada gerakan Sastra Profetik era 70-an di Indonesia yang dipelopori oleh Abdul Hadi W.M., yang notabene ia lihat mendapat pengaruh dari Sufisme Jawa (Kejawen) dalam Kitab Bonang, Suluk Sukarso, Suluk Wijil, Cabolek, Centini, dan Hidayat Jati. Pada intinya, titik temu pembahasan ketiga jurnal adalah sorotan terhadap kecenderungan sufisme dalam sastra.

Baik dalam pembahasan White, Knysh, maupun Musa, tasawuf dijelaskan mengalami perpaduan dengan tradisi setempat, sampai akhirnya membentuk kekhasan tersendiri dalam karya-karya pengarang setempat. Dalam konteks India abad pertengahan, dijelaskan oleh White bahwa setelah sufisme masuk dari Persia–yang notabene berhubungan erat dengan hulu ilmu tasawuf itu sendiri, yakni Arab[9]–pada periode yang sangat awal, dalam periode pematangan yang panjang, ia berada di bawah pengaruh bentuk-bentuk keagamaan India seperti Hindu, lantas menciptakan gaya ungkap (sastra) tersendiri. Di bawah pengaruh penulis Persia dan budaya setempat (literatur bahasa atau tradisi rakyat), penulis-penulis Muslim India yang telah disebutkan sebelumnya, dalam literatur vernakular kemudian mengadopsi konvensi Masnavis untuk menggambarkan pengalaman keagamaan mereka sendiri. Dalam literatur klasiknya pula, India telah menciptakan konvensi tertentu, yang melibatkan gambar erotis untuk menggambarkan pertemuan Ilahi-manusia.

Di Arab, kendati telah memasuki zaman modern, warisan spiritual dan intelektual yang kaya akan mistisisme Islam abad pertengahan tetap mempengaruhi weltanschauung (pandangan dunia) secara signifikan banyak novelis dan penyairnya. Demikianlah pandangan Knysh, sebab ia memperhatikan, bahwa rupanya karya-karya sastrawan tersebut banyak mengadopsi “topoi”, pencitraan, dan istilah sufi tradisional. Dalam kasus Tajalliyat karya Al-Ghitani, selain masifnya pengaruh pemikiran Ibn ‘Arabi, Knysh juga melihat sang pengarang menunjukkan utang yang mendalam pada teori-teori sastra dan filsafat Barat yang terjalin secara rumit dengan motif sufi yang khas. Baginya, hal tersebut sangat mudah dikenali. Ia menekankan satu hal yang jelas: in analyzing al-Ghitani’s work one cannot just point to the author’s dependence on European intellectual trends, while reducing his religiocultural specificity to “local color” and trivial “vignettes”, deemed to “spice” an otherwise Westernized literary discourse. Artinya, perbauran antara Timur dan Barat dalam Tajalliyat karya Al-Ghitani telah membentuk kekhasan tersendiri bagi penyair kontemporer Arab semacam dirinya.

Hampir mirip dengan kasus di India yang dijelaskan oleh White, Musa melihat  kemunculan sastra profetik era 70-an di Indonesia, yang dipelopori oleh Abdul Hadi W.M., erat kaitannya dengan masuknya ajaran tasawuf ke Nusantara (Indonesia), yang kemudian melahirkan tulisan-tulisan seputar tasawuf itu sendiri, termasuk tulisan berjenis sastra. Menurut Musa, di era modern (sastra modern), Amir Hamzah merupakan salah satu penyair Indonesia yang menulis karya sufistik. Dengan menyorot jauh ke belakang, Musa berpandangan bahwa faktor penerimaan yang hangat terhadap Islam di antara orang-orang di dunia Melayu-lah yang memungkinkan tumbuh suburnya pengajaran tasawuf. Khususnya di Jawa, pengetahuan sufisme telah melahirkan Islam Kejawen atau Sufisme Jawa yang khas, yang banyak dikembangkan melalui karya sastra semacam Kitab Bonang, Suluk Sukarso, Suluk Wijil, Cabolek, Centini, dan Hidayat Jati. Metode asimilasi dan toleransi menghasilkan semacam “versi sinkronik Islam”. Lantas, apa yang kemudian membedakan gagasan sastra profetik dengan sufisme periode awal di Nusantara tersebut?

Apabila karya-karya sufistik identik menggambarkan hubungan intim (cinta Ilahi) antara hamba dengan Tuhan-nya saja, sastra profetik justru lebih “memperlebar” jangkauannya: ia mencoba mengaitkan kembali seni dan penciptaan dengan kehidupan yang lebih luas, mencoba menyatukan lagi antara bumi dengan langit, yang lahir dengan yang batin, dimensi sosial dengan dimensi transendental, Yang Satu dengan yang banyak, serta “serbuk-serbuk besi” yang bernama manusia dengan “magnet”-Nya, yaitu Tuhan.[10] Singkatnya, dalam bahasa pemikir profetik lainnya, yakni Kuntowijoyo, sastra profetik merupakan sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan, dan tidak mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas.[11] Oleh sebab itu, persentuhannya dengan realitas memungkinkan posisinya sebagai penghubung antara semangat keagamaan dengan semangat pencarian identitas nasional, yang tidak lain merupakan bagian dari semangat pencarian diri.[12]

Menurut Musa, alasan digaungkannya sastra profetik yang menyerap khazanah Sufisme Jawa di masa lalu tersebut, tidak lain lantaran keresahan masyarakat Jawa yang memandang nilai-nilai spiritual Indonesia-Muslim telah tercoreng oleh budaya Barat sebagai konsekuensi penjajahan Belanda. Mereka percaya bahwa aspek spiritual budaya Jawa seperti Sufisme Jawa dapat dipulihkan kembali untuk menghapus aspek negatif budaya Barat, yang notabene dipenuhi cinta materialisme dan didukung semangat sekularisme. Tasawuf Jawa tersebut, selain diupayakan sebagai “terapi”, juga berusaha dijadikan pedoman guna mencapai “kebahagiaan hidup”.

Selain kekhasan sastra lantaran pertemuan tasawuf dengan budaya setempat, motif kelahirannya sebagai resistansi terhadap budaya Eropa juga menjadi titik temu pembahasan White, Knysh, dan Musa–terutama dalam tulisan dua nama terakhir. Salah satu penulis yang menjadi objek penelitian Knysh, yakni Muhammad Ghazi ‘Arabi asal Suriah, dilihat berupaya menutupi “lara” para intelektual Arab–lantaran menjamurnya nilai-nilai sekuler nasionalisme dan sosialisme Barat–lewat karyanya yang menggali kembali warisan mistisisme Islam. Ghazi ‘Arabi melihat bahwasanya warisan pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi potensial dijadikan alat penangkal di tengah-tengah kecenderungan materialistis dan pragmatis zaman modern: obat yang–menurut Knysh–sangat diperlukan di tengah-tengah degradasi spiritual yang dirasakan masyarakat Arab kontemporer.

White, Knysh, dan Musa juga mengungkapkan bahwa selain dikemas ke dalam bentuk sastra, tasawuf diajarkan pula dalam lembaga-lembaga secara khusus. Misalnya, White menemukan sekolah di Lahore, Delhi, Madau, Dalmau, dan Jaunpur sebagai pusat pengajaran bahasa Persia dan Arab. Khususnya di Jaunpur, terdapat madrasah yang disebut Masjid Atala yang menjadi tempat para cendekiawan dari negara-negara Muslim belajar hukum dan teologi. Tempat tersebut tentunya menjadi lahan penting penyisipan ajaran bagi para sufi. Berikutnya, Knysh menjelaskan bahwa filsafat esoteris Islam yang dipelopori oleh Ibn ‘Arabi, sang pemberi inspirasi bagi Al-Ghitani dan Ghazi ‘Arabi, dipelajari di banyak universitas di dunia. Terakhir, dengan mengutip Geertz, Musa mengatakan bahwa “aliran Sufisme Jawa” dan para pengikutnya,  yakni kaum “abangan”, selanjutnya diterima sebagai cabang atau sekolah Islam di Jawa pada masa penyebaran Islam.

 

Kriteria dan Simbolisme dalam Karya Sastra

Dalam konteks sastra India abad pertengahan, sastra Arab era 80-an, dan sastra (profetik) di Indonesia periode 70-an, terdapat kriteria atau kecenderungan yang hampir serupa dalam karya-karya sastranya, terutama dari segi spirit yang disuarakan. Selain itu, kecenderungan pemakaian simbol (simbolisme) dalam karya-karya penulisnya juga sama-sama dapat ditemukan.

Dapat dipastikan bahwa pengarang-pengarang India abad pertengahan, seperti telah disebutkan beberapa nama di muka, menulis karya yang menyuarakan cinta Ilahiyah. Menurut White, kecenderungan tersebut tidak lain merupakan pemaparan teknik untuk mencapai penyatuan antara diri dengan Tuhan. Ia mencontohkan penulis dari kawasan selatan India, yakni Mulla Vajahi dan para penyair lainnya, yang senantiasa berusaha menjaga agar deskripsi mereka tentang Tuhan tetap dekat dengan penjelasan dalam Al-Qur’an, atau dengan menekankan konsep Tauhid (kesatuan Ilahi). Kriteria para tokoh dalam karya sastra sufistik pengarang India abad pertengahan, selain sang pahlawan harus dibersihkan dari kenajisan, konvensi juga mengharuskannya untuk mengembangkan sifat-sifat moral tertentu. Misalnya, pertama-tama sang pahlawan harus bebas dari keasyikan berlebihan dengan diri sendiri, lantas berkembang ke arah menghilangkan semua kecemburuan dan kemarahan dari kepribadiannya, dan seterusnya.

Penggunaan simbol-simbol dalam tasawuf juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari karya-karya mereka. White mencontohkan kasus Usman dalam bukunya yang berjudul Citravali. Dalam karyanya, Usman berkata, “Di jalan ini ada empat negara ... Di empat negara itu ada empat kota, dan di empat kota itu ada empat benteng ...” Bagi White, simbol empat kota tersebut sangat bertalian dengan jalur perkembangan spiritual kaum sufi: kota pertama, Bhogpur disisihkan untuk kenikmatan indra; Dari Bhogpur, pelancong dapat pergi ke kota kedua, Gorakhpur, di mana hanya ada pembicaraan tentang Tuhan dan tidak ada yang lain; kota ketiga, Nehanagar, hanya bisa dimasuki ketika “bahkan seorang raja telah menjadi miskin”; dan kota keempat, Rupnagar, adalah yang paling sulit ditemukan dan hanya bisa dicapai setelah seseorang menembus batas-batas Nehanagar, yakni ketika orang tersebut telah meninggalkan “pakaian, roda, dan penyangga”, yang artinya semua hal di dunia mesti dilucuti.

 Knysh sendiri menemukan Fath al-Wujud karya Ghazi ‘Arabi berbicara mengenai penderitaan spiritual dan intelektual yang dialami oleh seorang sastrawan Damascene, yang tiba-tiba menyadari bahwa ide kreatifnya benar-benar habis dan ia tidak dapat melanjutkan aktivitas menulisnya lagi. Pailit secara intelektual dan spiritual, sang tokoh lantas mati-matian mencari awal yang baru, jalan keluar bagi kesulitannya. Hingga akhirnya, ketika sang tokoh berada jauh dari pusat kota yang bising, ia mencari ketenangan sementara dari kesulitannya. Pengasingan diri tersebut identik dengan kebiasaan sufi, yang bermaksud menarik kembali sisi spiritualnya (khalwa). Jika mencermati penjelasan Knysh tersebut, maka sejatinya secara implisit novel Fath al-Wujud juga menyarankan pembentukan dan pengembangan moral seseorang.

Simbolisme dapat ditemukan pada penutup Fath al-Wujud. Bagi Knysh, ending novel yang terjadi secara tiba-tiba, yakni tepat ketika sang tokoh utama akan mencapai tingkat tertinggi pencapaian spiritual dan kebijaksanaan, dan saat itu pula pemandunya menghilang dalam ledakan yang terjadi di tambang, merupakan kiasan untuk episode dalam Al-Qur’an ketika Allah meminta Musa untuk melepas sandalnya sebelum masuk ke hadirat-Nya.

Terakhir, dalam pembacaan Musa, dijabarkan secara lebih terperinci kriteria-kriteria karya sastra profetik yang digagas oleh Abdul Hadi W.M. di Indonesia. Akan tetapi, karena berfokus pada gagasan sang pelopor, Musa tidak mengulik secara mendalam mengenai contoh kasusnya dalam karya sastra pengarang sufistik Indonesia periode 70-an. Ia hanya memaparkan sepintas lewat perbandingan antara karya Pramoedya Ananta Toer yang beraliran realisme-sosialis, dengan karya-karya Danarto yang condong pada sastra transendental. Dengan mengutip Abdul Hadi W.M., Musa menjelaskan bahwa letak perbedaan mendasarnya ialah titik besar antara seni Komunis dan Islam, dan seni Islam sejatinya memiliki misi memurnikan kondisi masyarakat dari masalah sosial dalam jiwa manusia itu sendiri. Baginya, hanya dengan jiwa yang jernihlah masalah-masalah sosial dapat diatasi dari kehidupan manusia.

Dalam kesimpulan penelitiannya, Musa merangkum kriteria-kriteria dan simbolisme dalam sastra profetik yang digagas oleh Abdul Hadi W.M. tersebut sebagai berikut. Pertama, sastra profetik menekankan penempatan kembali manusia sebagai khalifah Allah. Kedua, tema yang paling mendasar dan dominan di dalamnya adalah monoteisme. Ketiga, sastra profetik sejatinya tidak begitu tertarik pada bentuk tertentu, melainkan lebih menekankan elemen tradisional seperti kembalinya ke “akar budaya lokal”, termasuk ajaran Sufisme Jawa sebagai sumber. Keempat, keindahan sastra profetik dianggap dalam “berbagi pengalaman spiritual kenabian”, di mana penulis berusaha menunjukkan kepada pembacanya suatu “Realitas Kebenaran”, yaitu Allah Swt.–sama seperti sastra sufistik–melalui penggunaan simbol-simbol (simbolisme). Lantaran hal ini, para penulis terus dituntut untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam penyusunan simbol-simbol, guna keberhasilan penandaan dalam karyanya. Kelima, karakter yang ditampilkan adalah karakter yang kuat, berani, terhormat, dan saleh. Keenam, sastra profetik juga merayakan kebebasan imajinasi, dengan syarat bahwa kebebasan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karya penulis non-muslim juga dapat diakui sebagai sastra profetik, namun yang perlu diperhatikan, bahwasanya sastra profetik Islam menuntut para penulisnya bekerja erat dengan Tuhan, sekaligus setiap saat sadar akan putusan hukum Islam.

 

***

 

Tulisan ini boleh dikatakan sebagai sejenis “pembacaan atas pembacaan”, yang melaluinya, kita kemudian dapat melihat titik temu–perihal relasi antara sufisme dengan sastra–dalam penyelisikan yang dilakukan oleh White, Knysh, dan Musa. Ada beberapa aspek yang menunjukkan persamaan atau titik temu, kendati ada pula segi-segi yang berlainan. Titik temu tersebut dapat terlihat dari pengamatan mereka terhadap penyebaran sufisme pada rentang masa atau wilayah tertentu, yang kemudian berbaur dengan budaya masyarakat setempat, dan telah mempengaruhi kelahiran karya sastra dengan sifat-sifat khasnya–baik di India pada abad pertengahan, Arab era 80-an, maupun Indonesia periode 70-an.

Pada penelitian Knysh dan Musa, kebangkitan kembali spirit sufisme dalam sastra justru dijadikan sebagai alat pembendung pengaruh budaya Barat yang dianggap terlampau materialistis dan sekuler, yang notabene juga memicu keresahan di kalangan masyarakat masing-masing. Adapun perihal kriteria-kriteria karya sastra sufistik, lazimnya terlihat penekanan pada aspek moral yang dikandung di dalamnya. Simbol-simbol yang bertalian dengan sufisme atau hubungan dengan Tuhan, juga didayagunakan oleh para pengarang yang menyerap spirit sufisme dalam menghasilkan karya sastra mereka.




Tentang Penulis:

Ilham Rabbani, lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Aktif mengelola komunitas sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Selain pernah mendapatkan penghargaan, tulisan-tulisannya juga terbit di beberapa bunga rampai dan media massa, baik cetak maupun daring (Basabasi.co, Bacapetra.co, Beritabaru.co, Kibul.in, Jejakimaji.com, SKSP-Literary.com, Cerano.id, Haripuisi.com, Lensasastra.id, Koran Sindo, Merapi, Minggu Pagi, Mata Budaya, Kreativa, dan lain-lain). Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM). Perihal Sastra & Tangkapan Mata (2021) adalah buku esainya yang telah terbit. Dapat dihubungi via akun Instagram @_ilhamrabbani atau surel ilhamrabbani505@gmail.com.



[1] Tulisan ini merupakan hasil diskusi penulis dengan Ricky Yudhistira Nasution dan Dedek Gunawan ketika menempuh studi di Magister Sastra UGM.

[2] Hadi W.M., Abdul. 2016a. Cakrawala Budaya Islam. Yogyakarta: IRCiSoD, hlm. 252–259.

[3] Bagir, Haidar. 2015. Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi. Bandung: Mizan, hlm. 106–113; atau Wahyudi, Agus. 2014. Bersatu: Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta: Diva Press, hlm. 65–66.

[4] Hadi W.M., 2016a: 301–302.

[5] Hadi W.M., Abdul. 2016b. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Jakarta Selatan: Sadra Press, hlm. 5–10.

[6] White, Charles S. J.. 1965. “Sufism in Medieval Hindi Literature”. Dalam History of Religions, Vol. 5, No. 1, Summer 1965, hlm. 114–132.

[7] Knysh, Alexander. 1996. “Sufi Motifs in Contemporary Arabic Literature: The Case of Ibn ‘Arabi”. Dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari 1996, hlm. 33–49.

[8] Musa, Mohd Faizal. 2011. “Javanese Sufism and Prophetic Literature”. Dalam Cultura, Vol. VIII, No. 2, 2011, hlm. 189–208.

[9] Hamka. 2016. Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf. Jakarta: Republika, hlm. 61–62.

[10] Hadi W.M., 2016b: hlm. 30.

[11] Kuntowijoyo. 2010. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo-LSBO PP Muhammadiyah, hlm. 10.

[12] Hadi W.M., Abdul. 1985. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. vi.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top