Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Wahyu Budiantoro

0


DARI TRADISI MENJADI PUISI

 

Dalam konteks historis, selalu terjadi persinggungan antara Islam dengan budaya lain. Bahkan dalam proses pewahyuan, al-Qur’an sudah berdialektika dengan bangsa Arab dengan segala macam frekuensi dan dinamikanya. Fenomena itu, oleh Kholid Mawardi (2017) disebut sebagai proses enkulturasi al-Qur’an ek dalam budaya Arab. Terjadi reproduksi kebudayaan. Nabi Muhammad Saw. menjadi referensi utama dalam setiap proses dialektika Islam dan tradisi lokal.

Fakta sejarah itu juga bisa ditilik dari argumen Nurcholish Madjid, sebagaimana dinukil oleh Aguk Irawan M.N. (2018) bahwa:

“Pengislaman di Nusantara beda dengan pengislaman di dunia yang lain. Bila semenanjung Arab melakukan ekspansi Islamnya menggunakan pendekatan militer dan ekspedisi, di Nusantara Islam lahir dengan menyertakan inkulturasi. Proses inkulturasi berjalan bukan tanpa persoalan. Umumnya persoalan kesenjangan intelektual dan kultural. Kondisi inilah yang membuat masuknya Islam di Nusantara berbeda dan khas dibanding negara yang lain.”

Berangkat dari itu muncul dialektika antara budaya lokal dengan nilai keadaban Islam, sehingga para juru dakwah (Wali) harus menggunakan pendekatan yang arif dan bijaksana guna menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Mereka melakukan resepsi dan akomodasi kultural untuk memperkaya wacana kultural Nusantara sebagai media penyampai agama Islam. sehingga, al-Qur’an menjadi spirit utama tradisi lokal. Pola dan gerak tradisi lokal harus senafas dan mengadaptasi nilai-nilai tauhid di dalam al-Qur’an, begitu juga sebaliknya.

Dalam Q.S. al-A’raf ayat 199 Allah SWT. berfirman: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ru (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” Makna kata “tradisi yang baik” (‘urf) adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan mereka jadikan tradisi dalam interaksi di antara mereka. Maka dari itu, selama tradisi yang dihasilkan dari intensitas pemikiran dan nilai-nilai kemanusiaan tidak menegasikannya dengan al-Qur’an, maka tradisi tersebut dapat diakomodir dalam Islam.

Di Nusantara, ketika Islam masuk berimplikasi kepada dinamika baru terkait dengan kehidupan sosial keagamaan masyarakat, juga khazanah budaya dan keilmuannya.  Hal itulah yang kemudian melatari terciptanya Islam lokal, Islam yang bercorak Nusantara, Islam yang telah mengalami proses akomodasi, bahkan ketegangan terlebih dahulu dalam kehidupan masyarakat Nusantara, khususnya Jawa, yang menurut Moh. Roqib (2007) bersinggungan dengan dua subjek, istana (Majapahit) yang kental aroma Hindhuisme dan wong cilik yang hidup dalam pengaruh animisme-dinamisme. “Apa yang disangka sebagai elemen Hindu yang terdapat dalam budaya keraton Jawa, sebenarnya adalah tasawuf” menurut Nancy K. Florida (Afifi, 2019).

Kompleksitas fenomena kultural semacam itu, mendorong para juru dakwah (wali) untuk memformulasikan pendekatan dakwah yang harmonis dan sarat dengan hikmah. Dalam kegiatan dakwahnya, syair atau tembang kerap dipilih oleh para wali guna menyampaikan rislalah kenabian dan nilai-nilai luhur al-Qur’an. Banyak karya sastra agung yang diresepsi oleh para Wali atau pujangga dengan berdialektika dengan budaya lokal.

Dalam Serat Cebolek (via Afifi, 2019) misalnya, karangan Yasadipura II, dia menuliskan tembangnya berikut ini:

Punapa malih rasaning Kawi

Bima Suci kalihan Wiwaha

Pan sami keh sasmitane

Ngening rasaning ngelmu

 

Yen patitis kang mardikani

 

Kadyangga Kawi Rama

Punika tesawuf

 

(Apalagi “rasa”-nya (makna) Kawi

Bima Suci dan Arjuna Wiwaha

Sungguh penuh pralambangnya

Sebuah “makna” ilmu yang sangat dalam

 

Jika tepat (dalam) menguliti maknanya

 

Seperti halnya Kawi Rama

Itu merupakan (karya) tasawuf)

 

Kalimat dalam bait tembang (macapat) indah itu keluar dari pena seorang pujangga, yang menurut kesaksian Ranggawarsita sebagai cucunya, di tiap malam-malam yang hening menenggelamkan diri dalam pembacaan dan penulisan suluk. Tembang tersebut merupakan ekspresi “kebatinan” yang tinggi sebagai media pemujaan kepada Allah SWT dengan menggunakan bahasa Jawa (kuno). Selain itu, menurut catatan A.H. Johns dan Pigeaud, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hadi W.M. (2016), dua Wali Jawa, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang dinggap sebagai local genius, pada bidang kebudayaan.

Mereka berdua sangat kreatif dalam melakukan dialektika kebudayaan, sehingga Islam dapat disebarluaskan tanpa menegasikannya dengan tradisi lokal. Wujud kreativitas mereka yang melekat di wilayah Jawa, khususnya Yogyakarta adalah upacara Maulid, yaitu Sekaten. Ritual Islam tersebut oleh keduanya dimodifikasi sedimikian rupa hingga bernuansa khas Jawa. Salah satu tembang yang sangat populer gubahan Sunan Bonang adalah Suluk Wujil, selain jasanya pada kesenian gamelan. Dalam Suluk Wujil (via Hadi W.M., 2016) terdapat beberapa ungkapan indah Sunan Bonang berikut:

Aku tidak pantas disebut seorang Sufi sejati

Apabila mengharap imbalan uang semata

Dari hasil menulis kitab sastra

Apabila aku melakukannya juga

Tidak perlu aku menjalankan ilmu suluk

Barang siapa mengharap imbalan uang

Untuk pengetahuan yang ditulisnya

Ia hanya memuaskan diri sendiri

...

 

Melalui Suluk Wujil (Wujil diambil dari nama muridnya), Kanjeng Sunan Bonang mengajarkan nilai hakikat dan ma’rifat kepada muridnya-muridnya. Dari sanalah murid-muridnya menemukan kesejatian hidup setelah berguru agama Islam kepada Sunan Bonang dan mengetahui hakikat utama rukun Islam dan dzikrullah yang menjadi amalan utamanya. Hikmah yang agung menjadi “senjata” Sunan Bonang untuk melakukan dakwah yang arif dan bijaksana.

Pola dakwah estetik para Wali yang telah menjadi tradisi dalam perkembangan peradaban Islam di Nusantara, diadopsi oleh pesantren dengan latar belakang kebudayannya masing-masing, sehingga muncul kearifan, akomodasi pesantren terhadap budaya yang telah lama berdiam di Nusantara. Dalam khazanah pesantren, merujuk pada kajian Ahmad Muhakkamurrohman (2014), cakrawala tradisi yang telah mapan menjadi modalitas bagi sebuah kejayaan estetika baru.

 

Pesantren sebagai Estetika

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), via Ahmad Muhakamurrohman (2014), pesantren kerap diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid belajar mengaji dan sebagainya. Artinya pesantren bangunan (infrastruktur) semacam asrama atau tempat pemondokan (mondok) bagi orang (santri) yang akan memperdalam ilmu agama dengan tradisi yang khas. Tradisi tersebut umumnya mewujud kepada kurikulum dan metode pengajarannya. Karena itu, di dalam pesantren pastilah terdapat guru (kiai, resi, taun guru, abuya, dan lain-lain) dan murdi (santri), metodologi pembelajaran serta tradisi yang lain.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menurut Andik Wahyu Muqoyyidin (2014), di satu sisi unik, juga berkembang secara dinamis. Unik sebab pesantren memiliki pendekatan dan tradisi yang khas, lain dengan lembaga pendidikan yang lainnya. Pesantren telah menjelma menjadi cultural broker sehingga pesantren terus terjaga eksistensinya di tengah arus modernisme dan globalisasi (Suwito NS., 2011).

Keunikan pesantren bukan hanya terletak pada bangunan dan sistem pendidikan yang ada di dalamnya, melainkan khazanah tasawuf dan mistik yang kerap menjadi objek bagi para tokoh (budayawan, sastrawan, penyair) sebagai simbol dari khazanah tradisi Islam, di samping kehidupan umum di dalam karyanya. Banyak peristiwa di dalam karya sastra yang mencoba memotret dan menarasikan kehidupan pesantren, meskipun belum masif secara kuantitatif. Hal itu dikatakan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (2001):

“sebagai objek sastra, pesantren boleh dikata belum memperoleh perhatian dari para sastrawan kita, padahal banyak di antara mereka yang telah mengenyam pendidikan di pesantren. Hanya Djamil Suherman yang pernah melakukan penggarapan di bidang ini, dalam serangkaian cerita pendek di tahun lima puluhan dan enam puluhan. Juga Muhammad Radjab, sedikit telah menggambarkan tradisi hidup bersurau di kampung.”

Raedu Basha (2017) melalui buku kumpulan puisi Hadrah Kiai menyatakan “... saya seorang santri yang sedang berikhtiar mengekspresikan ketakziman sebagai bentuk tahadduts bin-ni’mah kepada para kiai.” Apa yang dilakukan oleh Raedu Basha selain sebagai bentuk ketakziman, juga dapat berfungsi sebagai komunikasi transenden, utamanya puisi yang ditujukkan kepada kiai yang telah wafat, misalnya Gus Gur, Gus Miek, Kiai Fadhol Senori, Kiai Bisri Mustofa, dan Pesantren Sarang juga Kiai Maemoen Zubair. Selain itu, antologi puisi Kuburan Imperium (2019) karya Binhad Nurrohmat juga mengetengahkan tradisi ziarah kubur yang sangat melekat pada dunia pesantren. Pada wilayah prosa Aguk Irawan M.N. dengan cukup detail menulis sebuah novel biografi tokoh pesantren, K.H. A. Wahid Hasyim dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pada tahun 2016, An Najah, salah satu pesantren di Purwokerto, menerbitkan sebuah buku bertajuk Revitalisasi Sastra Pesantren (2016). K.H. Moh. Roqib melalui artikelnya yang berjudul “Sastra Pesantren: Melanglang Buana Menembus Hakekat” mengatakan demikian:

“Dalam sastra, termasuk sastra pesantren, dunia dan alam semesta dijadikan objek dan subjek keindahan yang dirangkai dalam kata-kata yang variatif menawarkan berbagai makna batin dan spiritual. Makna sastra yang mendunia, mengglobal, menembus jagad raya makrokosmos yang juah dan sulit dijangkau kemudian diteruskan atau terkadang secara bersamaan menyentuh wilayah yang amat kecil, lebih kecil dari dzarrah yang terdapat di dalam kalbu dan itupun tidak kalah sulit untuk dilakukan oleh para sastrawan yang ingin menggenggam makna komprehensif batiniyah kehidupan. Sastra bagi dunia pesantren menjadi washilah untuk menjelajah alam semesta dan mencari keutamaan yang tercecer.”

Fenomena tersebut menandakan adanya dialektika antara sastra, puisi khususnya, dengan pesantren. Secara estetik, pesantren menjadi tema yang sublim bagi beberapa pengarang karena telah bersinggungan secara langsung, sehingga alur, plot, konflik di dalam prosa, serta bunyi dan irama serta ‘arudl (jumlah suku kata) di dalam puisi mengalami sublimasi. Pada level epistemologis, wacana dan estetika yang terkandung di dalam puisi Raedu Basha dan Binhad Nurrohmat umpamnya, merupakan representasi dan rekontekstualisasi dari tradisi pesantren.

Pesantren menjadi medium untuk memperoleh pengalaman yang indah dan bermakna spiritual. Secara referensial, hal itu merujuk kepada Hadis, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (H.R. Muslim). Karenanya sebagai representasi dari keindahan Allah SWT., dalam tilikan Abdul Wachid B.S. (2018), K.H. A. Mustofa Bisri menulis apapun didasarkan kepada alasan keruhanian, menyampaikan hikmah, dan mencari keberkahan hidup. “Karya sastra yang bermutu tinggi dapat membangunkan cinta yang tidur di dalam hati, baik cinta duniawi maupun cinta ruhani dan ketuhanan, lanjutnya.”

Sujud

 

Bagaimana kau hendak bersujud

Pasrah

Sedang wajahmu yang bersih

Sumringah

Keningmu yang mulia

Dan indah

Begitu pongah

Minta sajadah

Agar tak menyentuh

Tanah

 

Apakah kau melihatnya

Seperti iblis saat menolak

Menyembah bapamu

Dengan congkak

Tanah hanya patut diinjak

Tempat kencing dan berak

Membuang ludah dan dahak

Atau paling jauh hanya

Lahan pemanjaan

Nafsu serakah dan tamak?

Apakah kau lupa

Bahwa tanah adalah bapa

Dari mana ibumu dilahirkan

Tanah adalah ibu

Yang menyusuimu

Dan memberi makan

Tanah adalah kawan

Yang memelukmu dalam kesendirian

...

15.5.1993

 

Sajak “Sujud” merupakan anggitan K.H. A. Mustofa Bisri. “Sujud”, dalam pemaknaan Abdul Wachid B.S. (2018), merupakan hakikat dari shalat, dan dalam sudut pandang Islam amatlah vital sebab shalat adalah tiang agama. Esensi shalat adalah permohonan (doa) yang merupakan sikap penghambaan kepada Allah SWT. Agar menyentuh “tanah” tentu bukan berarti shalat lebih utama tanpa “sajadah”, melainkan bermakna agar ingat kepada penciptaan pertama manusia yang berasal dari tanah.

Dalam puisi Abdul Wachid B.S., (Tunjammau Kekasih, 2003) pesantren juga menjadi objek bagi pemikiran dan pengalamannya. Dia mempersepsi dan memposisikan pesantren sebagai ruang dan waktu yang penuh dengan nilai-nilai relijiusitas serta akhlak, bukan lagi persoalan bangunan (infrastruktur). Selain itu, persinggungannya dengan tokoh-tokoh pesantren seperti K.H. A. Mustofa Bisri, K.H. D. Zawawi Imron, Kiai Kuswaidi Syafi’ie, Emha Ainun Nadjib hingga Gus Zainal Arifin Toha cukup mempengaruhi alam pikir dan sikap kepenyairannya, di samping kegemarannya ziarah kubur, silaturahim (sowan) dan membaca buku-buku tasawuf.

 

Tamu

di rumah Ahmad Tohari

bertemu KH. A. Mustofa Bisri

 

...

“Ini pertemuan pertama, guru

Tapi seakan bertahun kerinduan terbayar

Tempat dan peristiwa yang kau singgah

Kini meresap ke kalbu”

Lalu aku membaca. Waktu mengembun

Tapi dirimu tak juga basah

Justru silsilah sejuknya sampai juga

Ke mangkuk dada masing-masing

...

Paginya kami bertebaran ke

Tempat dan peristiwa yang bernama pasar seperti

Debu-debu yang dilesatkan ke udara

Tapi setiap adzan melantun

Ruh-ruh kami seperti sekumpulan serdadu

Yang dipusatkan

 

1995

 

“Tamu” oleh Abdul Wachid B.S. diposisikan sebagai tamsil atas kesementaraan hidup yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia. Kesementaraan itu “diisi” olehnya dengan silaturahim (sowan) untuk memperoleh nasihat-nasihat kebaikan, sebagai tenaga spiritualitas. Ungkapan debu-debu yang dilesatkan ke udara/ tapi setiap adzan melantun. Ruh-ruh kami seperti sekumpulan serdadu/ yang dipusatkan/ merupakan tamsil atas “ketakberdayaan” manusia di hadapan Allah SWT. (ibarat debu). Manusia (beserta ruh-ruh) akan mencari kiblat penghambaan sebagai ekspresi estetik seorang hamba. Apa yang diamantakan puisi Abdul Wachid B.S. di atas, meskipun tidak memotret fenomena pesantren an sich, tetapi, wacana dan spiritnya mewakili khazanah tradisi pesantren.

Baca lagi sajaknya berikut (Yang, 2011):

 

Ziarah Sunan Pandanaran

Tembayat, Klaten

 

Tercatat sejarah: tepat di puncak gunung Jabalkat

Entah jin atau malaikat

Perlahan membawa mereka mendarat

Seorang guru dan muridnya, keduanya makrifat

...

Nama yang menjadi penerang

Melewati sang Adipati Semarang

Nama yang menjadi penenang

Di detak-detak jantungnya mewiridkan Yang

Maha Penerang Yang

Maha Penenang

Allah ...

...

 

11 Agustus 2009

 

Dalam konteks dialektis-dialogis, tradisi pesantren dalam puisi Abdul Wachid B.S. di atas menjadi khazanah pengalaman spiritual sekaligus gaya ungkapnya (bahasa). Frasa seorang guru dan murid, keduanya makrifat, menjadi representasi pengalaman spiritualnya mengenai tradisi sanad keilmuan di lingkungan pesantren. Hubungan guru dan murid di dalam wilayah spiritualisme Islam bukan hanya sekedar distribusi keilmuan, melainkan relasi ruhani, batin, spiritual yang tidak akan pernah ada putusnya. Guru (kiai) di dalam pesantren, menjadi wasilah bagi para santri untuk memperkaya pemikiran dan pengalaman spiritualnya sebagai manusia dan hamba Allah SWT (mewiridkan Yang Maha Penerang Yang/ Maha Penenang/ Allah).

Relasi batiniah antara kiai dan santri menjadikan hubungan mereka sangat khas. Jamal D. Rahman (2017) mengatakan:

“Kata-kata kiai, sesederhana apa pun, bukanlah kata-kata biasa, melainkan kata-kata yang mengandung pancaran rohaninya. Bahkan tubuh kiai pun mengandung pancaran rohaninya. Tidaklah mengherankan apabila kalau ada kalanya seorang santri ingin duduk berlama-lama dengan kiainya, meskipun tak ada yang perlu dibicarakan antara mereka. Santri itu bahkan mungkin tak ingin mendengar kata-kata sang kiai. Dia hanya ingin berada di dekat sangg kiai, sebab sang kiai memancarkan emanasi spiritualnya, dan si santri ingin mendapatkan emanasi kerohanian kiai itu sendiri.”

Emanasi spiritual kiai, meminjam istilah Jamal D. Rahman, menjadi estetika metafisik santri, dan juga orang-orang yang berupaya ngalap barokah atas perjumpaan (silaturahim) kepada kiai-kiai pesantren. Oleh karena itu, Abdul Wachid B.S. mempersepsi dan meposisikan puisinya sebagai upaya untuk mendapatkan pancaran emanasi spiritual kiai-kiai di pesantren. Hal itu menegaskan bahwa puisi bertransformasi menjadi alat komunikasi transendental, meninggi dan metafisik.

 

Pergumulan Tradisi

 Tradisi, setidaknya menurut Rendra (1984), menjadi kebiasaan dan laku kolektif masyarakat, menjadi kesadaran kemanusiaannya untuk terus berkembang sebagai pribadi maupun anggota masyarakat. Dia menganggap peran signifikan tradisi dalam membangun identitas kultural, budi pekerti luhur. Tanpa tradisi, menurutnya, perilaku manusia bersifat biadab. Akan tetapi, bukan berarti tradisi merupakan objek yang tidak bebas nilai. Dia mengkritik absolutisme tradisi, yang jika menjangkit masyarakat, maka tidak lagi menjadi ide kreatif. Tradisi harus selalu dicairka dan diberi dimensi yang baru.

Bagi Rendra, tradisi barangkali menjadi objek yang relatif dan bisa digugat eksistensinya. Dia tidak ingin terlalu mengultuskan tradisi sebab tradisi yang tidak bisa menyesuaikan dengan konteks ruang dan waktu (zaman), sama saja dengan menelanjangi hakikat kehidupan yang selalu berkembang, sebagaimana tafsir atas nilai-nilai tradisi, agama, dan budaya yang beragama sesuai konteks dan prediksi ilmiah. Dengan kata lain, dia meminimalisir fanatisme terhadap tradisi. Persoalannya adalah bagaimana dengan tradisi ziarah yang sangat melekat di lingkungan pesantren?

Dalam sejarah peradaban Islam, tradisi ziarah selalu dilingkupi ketegangan. Setidaknya, ketegangan awal dapat ditelisik mula-mula dari dialog antara Ibn Taimiyyah dan Ibn ‘Athaillah as-Sakandari (2014). Sebagai sebuah media tawassul, ziarah dipersoalkan oleh Ibn Taimiyyah karena mengandung unsur syirik. Senyampang itu, Ibn ‘Athaillah as-Sakandari menjawab kecurigaan Ibn Taimiyyah persoalan tawassul (tradisi ziarah menjadi salah satunya) tersebut dengan mengatakan: “tawassul yang dilakukan oleh seorang muslim beriman sejati hanyalah untuk mencari perantara, bukan meminta kepada perantara itu sendiri.” Sementara, Ibn Taimiyyah beranggapan bahwa tawassul adalah memohon pertolongan kepada perantara-perantara tersebut.

Menurut al-Marbawi, sebagaimana dikemukakan Misbahul Mujib (2016), ziarah merupakan bentuk masdar dari kata zaara yang berarti menengok atau melawat. Kemudian KBBI mengartikan ziarah dengan kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia.  Ziarah dapat dilakukan di makam (kuburan) orang tua, saudara, para kiai hingga wali, khususnya yang dianggap keramat dan semasa hidupnya memiliki jasa besar bagi syiar Islam.

Ziarah sampai sekarang menjadi tradisi keagamaan yang sangat populer dan digemari banyak kalangan, mulai dari presiden, politisi, artis, hingga masyarakat umum. Bahkan, banyak organisasi/ komunitas yang rutin mengadakan kegiatan ziarah Wali Songo di se-antero Jawa, khususnya pesantren. Ziarah, imbuh Mujib (2016) merupakan ibadah sunah, sebagaimana Hadis Nabi Muhammad Saw. berikut: “dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian ke kuburan, karena itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (H.R. Muslim).

Hadis Nabi Muhammad Saw. tersebut menjadi legitimasi bagi langgengnya tradisi ziarah. Ziarah memberikan makna yang subtil bagi pribadi dan kualitas ruhani seseorang. Hal itu setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa hal, pertama, ziarah menjadi media tawassul (mencari perantara) untuk berkomunikasi dengan Allah SWT., kedua, sebagai ruang refleksi dan kontemplasi atas jasa-jasa para kiai dan wali, ketiga, mengingat kematian dan asal-usul penciptaan manusia (sangkan paraning dumadi), keempat, melanggengkan tradisi tabarruk (mencari berkah) (Suparjo, 2014).

Dalam konteks komunikasi transendental, ziarah merupakan tradisi yang membangkitkan dimensi spiritual manusia sebagai individu. Nina W. Syam (2015) mengetakan bahwa manusia memperkenalkan diri sebgaai homo religious, makhluk yang beragama. Dimensi relijius dapat ditemukan di dalam diri sendiri. Penghayatan relijius termasuk salah satu penghayatan manusiawi yang menjadi bahan refleksi. Refleksi ini bertujuan memperdalam pemahaman tentang diri manusia. Dalam refleksi atas penghayatan relijius, manusia menemukan dirinya terarah kepada Tuhan.”

Sebagai homo religious, manusia membutuhkan media sebagai ekspresi spiritualnya atas tradisi ziarah, salah satunya dengan media kesusastraan (puisi). Raedu Basha dalam antologi puisinya, Hadroh Kiai (2017), menuliskan kesaksian dan pengalaman relijiusnya kepada para kiai dan pesantren yang dikenalnya sejak mula. Menulis puisi untuk para kiai dan wali bukan semata persoalan bahasa, melainkan keabadian komunikasi yang diikat dengan spiritualitas antara keduanya. Ikatan inilah yang khas dalam tradisi pesantren. Meskipun kiainya telah wafat, intensitas komunikasi dan persinggungan ruhani santri tidak akan pernah pudar.

Madah Ziarah Waliullah

 

Ziarah sebagian dari ibadah

Kecuplah sejarah biar kelak tiada musibah

 

Di barzakh aulia menghayat

Wafatnya mulia daripada hidup kita yang mayat

 

Aulia telah jumpa rahmat allah

Maka kita sowani mereka lewat wasilah ziarah

 

Ziarah ritual agama leluhur bertawasul

Walau kau boleh beda menafsirkan sunah rasul

 

Jalan ajaran sunah kita bisa berbeda

Karena keyakinan mazhab hak setiap hamba

...

 

Raedu, 2015

 

Puisi Raedu Basha (2017) menyiratkan beberapa makna: pertama, tradisi luhur ziarah yang harus selalu dilestarikan, kedua, ketegangan yang melingkupi tradisi ziarah dalam perspektif hukum Islam, ketiga, ziarah sebagai media tabarukan atau mencari berkah dan perantara melalui para wali agar sampai kepada Allah SWT.  Baca sajak Abdul Wachid B.S. berikut:

Ziarah Maulana Maghribi

-Parangtritis-

 

Berapa tangga lagi agar sampai padamu, kanjeng maulana?

Di tiap tangga ini masih basah jejak ari wudlumu

Aku pun meniru caramu membasuh wajah

Barangkali saja dengan air yang sama

 

Di tangga-tangga ini antara ada tiada, terdengar

Al-Qur’an dilagukan dalam langgam jawa

Padahal engkau hadir dari arah matahari farisi

Engkau mulyakan orang di sini

Dengan sapaan santri dan kiai

 

...

 

Kanjeng maulana

Berapa tangga lagi agar sampai padamu?

Di puncak itu, tak kujumpa anakcucumu

Selain aura doamu, sunyi itulah yang bertahta

 

26  Juli 2009

 

Senada dengan puisi Raedu Basha, apa yang disampaikan oleh Abdul Wachid B.S. (Yang, 2011) melalui puisinya di atas merupakan refleksi filosofis atas ketinggian “tangga” sebagai simbol dari kemuliaan Syekh Maulana Maghribi. Kemuliaan yang diperoleh atas kontribusinya dalam penyebaran agama Islam. Sebagaimana komunikasi transendental, puisi pun dapat menjadi simbol komunikasi yang bersifat “meninggi”, vertikal menuju Allah SWT.

Dalam konteks epistemologis, penghayatan dan keyakinan bahwa berkah akan terus mengalir atas upaya tawassul kepada kiai dan wali yang telah wafat dapat ditelisk dari firman Allah SWT Q.S. an-Nahl ayat 31-32:

Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab: “(Allah telah menurunkan) kebaikan.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapatkan balasan yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapatkan segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan kepada mereka: “Assalamu’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”

Wafatnya ulama adalah wafatnya alam semesta (mautul alim mautul alam). Jika bukan karena kehadiran dan peran para ulama, niscaya perilaku dan kehidupan manusia akan seperti binatang. Para kiai dan wali yang diutus oleh Allah SWT. melalui guru-gurunya untuk menyebarkan ajaran Islam mendapatkan kedudukan yang tinggi di hadapan-Nya. Ibn ‘Athaillah as-Sakandari, sebagaimana diungkap oleh K.H. Miftachul Akhyar (2019) mengatakan: “Barangsiapa yang cemerlang pada permulaannya, maka cemerlang (pula) pada penghujung (perjalanan)-nya.”

Ziarah Kiai Umar Habib

-Rabak, Kalimanah, Purbalingga

 

                        Hanya sebatang bunga kenanga

                        Tumbuh di atas pembaringanmu

                        Tak ada nisan. Tak ada nama

                        Tapi namamu disebut-sebut sebagai alamat Fatihah, itu

 

                        Bukan keramat. Hanya bunga kenanga

                        Menandai kenangan yang tersemat

                        Di setiap hati yang sempatkan kebaikan, nyala cahaya

                        Sebelum waktu membaca halaman demi halaman tamat

 

                        Tapi, wahai Kiai Umar Habib, sebatang bunga

Kenanga itu

Di tiap waktu disirami keharusan siapa pun

Memaknai kebaikanmu. Betapa kau yang

Hanya niru lelak

Junjunganmu, Muhammad, sudah begitu

Mengharu-biru

...

20 September 2009

                       

            Melalui puisi di atas (Wachid B.S, Yang, 2011), penulis dapat menengarai bahwa setiap puisi yang bersifat transendental, meminjam istilah Nina W. Syam, bersifat individual, subjektif. Subjektivitas itu muncul dari pengalaman dan penghayatan antar individu yang beragam, sesuai dengan pandangan dunianya terhadap tradisi ziarah.

                        “Hanya sebatang bunga kenanga

                        Tumbuh di atas pembaringanmu

                        Tak ada nisan. Tak ada nama

                        Tapi namamu disebut-sebut sebagai alamat Fatihah, itu”

 

            Bait pertama tersebut menggambarkan suasana kehilangan dan kerinduan kepada Kiai Umar Habib. Akan tetapi, keyakinan bahwa ruh para ulama “hidup” abadi di samping Allah SWT., menjadikan alamat fatihah sampai kepadanya. “Fatihah” menjadi simbol keterbukaan ruhani antara peziarah dan ulama yang telah wafat. Komunikasi transendental tidak akan terjadi apabila tidak ada kesadaran transenden. Kesadaran transenden bisa diwujudkan dengan kayakinan kepada Allah SWT bahwa ruh para ulama dijamin kesejahteraannya oleh Allah SWT, membuka pintu-pintu ruhani dengan dzikir dan wirid, serta refleksi terhadap sejarah (peran) para ulama dalam menyebarkan ajaran Islam.

Dalam perspektif psikologi kognitif/ transendental, berziarah merupakan bentuk komunikasi dengan subjek atau sesuatu “di atas mind”, melampaui logika manusia, kekuatan lain di luar diri manusia yang dapat dirasakan kehadirannya (Syam, 2015). Kalimat Di tiap waktu disirami keharusan siapa pun/ Memaknai kebaikanmu. Betapa kau yang/ Hanya niru lelak Junjunganmu, Muhammad/ membuka kembali ruang-ruang refleksi untuk menggali kebaikan yang dilakukan oleh Kiai Umar Habib, berdasarkan akhlak yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Keunikan puisi, sebagai media komunikasi transendental, adalah mengungkap kembali pengalaman-pengalaman privatif yang dialami oleh individu, melalui bahasa sebagai ekspresi estetik. Pada wilayah inilah, esensi dari komunikasi transendental dapat diperoleh dengan membuka ruang-ruang suci yang sarat dengan simbol-simbol ketuhanan.

Ziarah Syekh Makdum Wali

-Karangluwas, Purwokerto

 

...

 

Syekh Makdum Wali”

 

Bahkan nama panggilanmu pun yakin bukan atas

Keinginan

Nama sekadar makna bagi yang membaca keberadaan

Bahkan semua tanda menjadi rahasia

Tiada penting lagi manta tanda mana makna

 

Syekh Makdum Wali”

 

Bahkan 99 biji tasbih itu pun turut bergoyang

Mengikuti irama tahlil, melengkapi rahasiamu

Sampai jejakmu mengekal ke dalam ilmu ke dalam laku

Sampai menemu maknamu

...

 

Al-Fatihah

 

2010

 

Pada kalimat nama sekadar makna bagi yang membaca keberadaan/ bahkan semua tanda menjadi rahasia/ merupakan kalimat yang memiliki unsur persepsional yakni kepercayaan atau keyakinan (belief). Persepsi memiliki peranan penting dalam membangun komunikasi. Persepsi akan berpengaruh kepada makna yang digali atas objek-objek atau simbol yang merepresentasikan, misalkan pemakaman, nama kiai, dan sejarah hidupnya. Sedangkan kalimat bahkan 99 biji tasbih itu pun turut bergoyang/ mengikuti irama tahlil, melengkapi rahasiamu/ menjadi representasi dari sistim nilai (value) dan pandangan dunia (world view) (Sihabudin, 2011). Artinya, sistimatika epistemologi komunikasi transendental dalam konteks ini bermula dari keyakinan atau kepercayaan, nilai, dan pandangan dunianya.

Dalam kumpulan puisi Kuburan Imperium (2019) Binhad Nurrohmat, ziarah pun menjadi tradisi yang terus hidup dan dihidupi oleh manusia, bahkan menjadi sistim nilai dan pandangan dunianya. Selain sebagai penyair yang besar di pesantren (menantu K.H. Mustain Ramly, Peterongan, Jombang), dia juga menginisiasi gerakan “Muktamar Kuburan”, gerakan kultural untuk mendulang tenaga intelektualitas dan spiritualitas (tabarrukan, tawassulan) di makam para kiai dan para wali.

Pengajian Kitab Kuning Kiai Mustain

 

Kenangan dan senyap merayapi sela frasa

Dan kalimat. Makna berbahasa Jawa dari

Kitab berhuruf Arab terjeda cerita dari arah

Benua lain yang tersimpan di sela ingatan.

 

Langkahnya jauh melintasi batasan negeri

Serta garis tepi di halaman-halaman kitab.

Melancong ke banyak kota dan desa yang

Berbekas barutan di sol sepatu dan sandal.

...

Terdapat aksentuasi yang senada dengan puisi “Ziarah Syekh Makdum Wali” garapan Abdul Wachid B.S. Kenangan, kerinduan, dan segalawa ihwal mengenai Kiai Mustain ditulis secara estetik melalui puisi. Puisi merangkum makna batin yang kuat antara yang hidup dengan yang mati, antara yang fisik dengan yang metafisik. Melalui puisi dan doa, batas-batas interaksi dapat “dilipat jaraknya”, meminjam kata Sapardi Djoko Damono, sehingga keyakinan (belief), sistim nilai (value), pandangan dunia selalu terkoneksikan dengan Ruh Abadi. Sebagaimana Amir Hamzah dalam puisi “Padamu Jua” mengatakan: kaulah kandil kemerlap/ pelita jendela di malam gelap/ melambai pulang perlahan/ sabar, setia selalu/. Puisi itu oleh Ajip Rosidi (1985) dimaknai bahwa jika manusia sudah tiba di jalan buntu, tertumbuk dengan dinding putus asa, apabila segala cinta telah “habis kikis”, “hilang terbang”, maka Tuhanlah yang lagi menjadi pegangan.




Tentang Penulis


Wahyu Budiantoro. Lahir dan besar di Purwokerto 10 April. Dosen di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto ini sehari-hari bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Buku terbarunya Epistemologi Komunikasi Transendental (2021) dan Impresi Tentang Puisi: sehimpun esai pilihan (2022).

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top