Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Arip Senjaya

0


CINTA DI MASA PANDEMI KEMARIN ITU

 

di dasar hatiku bersarang SARS paras ayumu

di SMSR-an bisik-bisik kesepianku

kukenang lagi MERS mesramu

kamulah ODP yang kupantau sepanjang PDP

karena sejak kamu suspect aku kehilangan respek

kamu ternyata punya pacar tak percaya PCR

sebaiknya kita lockdown

agar kembali slow down

 



LAPORAN AMAN

 

Apakah puisi sudah aman terkendali?

Laporkan segera perkembangan!

 

Siap laksanakan!

Puisi negatif-negatif saja

namun ditemukan kata-kata baru

mutasi dari masa lalu

laporan selesai!

 

Kalau begitu masih belum aman

kita harus teruskan metode lama kepemimpinan

batasi gerak puisi jangan sampai imun

lemahkan mereka dengan beasiswa

dan penghargaan-penghargaan

 

Siap, laksanakan!




JANGANKAN DEMO, BUNG!

  

Sepanjang pandemi

calon-calon doktor saling berbagi

di WAG nasional

terus saja bertanya-tanya kesal

tentang nasib ajuan beasiswa mereka yang masih sial

 

Inna lilahi wa inna ilaihi raajiuun

 

(Coba sih bahas saja artikel-artikel keren di jurnal-jurnal

bereputasi daripada setiap hari mengobral kesal)

 

Mereka sepakat akan ke Ibu Kota

memaksa Dirjen membantu mereka

demi dapat gelar segera

tidak mengganggu tabungan keluarga

 

Inna lilahi wa inna ilaihi raajiuun

 

(Jangankan demo Bung! Jangankan ke Ibu Kota!

Jalanan di mana-mana sama inna lilalhi-nya dengan otak kalian!)




CINTA BUTA

  

di depan kaca mata mudaku aku minus

di depan kaca mata tuaku aku plus

tapi di depan kamu, Manis,

aku selalu berkaca-kaca, tragis…

 

apa pun zamannya

kamulah yang selalu terbaca tanpa cinta

karena buta benar aku pada derita bangsa




BIDUAN

 

Di depan puisi kata berdandan bak biduan

Memoles muka bak perawan mutlak urusan pilihan

Kalau bukan karena profesi

Tak akan ia mati-matian untuk tetap seksi

 

Di depan puisi kata berdandan dengan rok mini

Mungpung masih depan cermin sendiri

Mengangkang tak usah risi

 

Di panggung kesenian nanti ia tak akan sendiri

Akan berjejer seperti para menteri di foto-foto kabinet negeri

Mungkin akan ada yang menyawernya dengan receh milyaran

Mungkin ada yang menyuruhnya turun karena kasihan




KUCING, AMBULANS, TOA, KEMARIN-KEMARIN ITU

 

Kucin[g]tai meonganmu

saat menggonggongi Jumat Kliwonku

 

Kutakuti wiwiwanmu

saat berhenti depan rumahku

 

Kurindukan panggilanmu, Toa Membahana,

kapan lagi kita bisa kumpul tahlilan

makan-makan di atas kehilangan? 




RESTORAN DARING

 

Tak terasa dua tahun sudah kita menjadi sepasang darling

sejak social distancing kali pertama berdering

di WAG-WAG yang rungsing.

Aku dan kamu berdua saja di restoran daring masing-masing.

Aku memasang back ground ilalang panjang

dan kamu memasang bunga rumput.

Di latar-latar suara kita melengking-lengking jerit ambulans

yang tak asing lagi;

jauh lebih asing suara batu di tengah sungai

dan masih asing pula lapar yang tetap deras menderai.[1]




KATAKAN SAYANG BUAT YANG TERSAYANG

 

Tidur siang wajib panjang bagi puisi malas-malasan

Buat bekal study tour liburan begadang

Paling tidak kata-kata sayang bisa terus dikumandangkan

Jangan kalah oleh suara adzan

Sebab siapa tahu besok lusa salah satu dari kata libur

Dan berangkat ke tujuan kubur

Segala akan terasa kurang jika jarang diucapkan

Tahu-tahu di kasur semalam suntuk bergulingan

Dengan sepi ditinggal Sayang Tersayang




BULAN BAHASA

 

Tak apa, wahai teman-teman seperjuangan,

semoga menjadi juri pun kita bisa terhitung

sebagai pahlawan tanpa tanda jasa

yang mungkin dikenang setiap Bulan Bahasa.

 

Mereka yang menang akan mendapatkan piala-piala

dan uang pembinaan, kita tentu mendapat pahala

dan jangan pernah mau disamakan

dengan mereka yang haus kemenangan.

 

Kita membina dan tidak untuk dibina

Kita bekerja dan tidak untuk mendapatkan harta

Kita memenangkan dan tidak untuk dimenangkan

Pahlawan tanpa tanda jasa matinya pun tak mesti diperingati

dentuman meriam, damai sedamai rekening

yang jarang diramaikan “cling-cling-cling” sms-banking.





Tentang Penulis


Arip Senjaya adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS UPI Bandung (S1, 1996-2002) dan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat UGM (S2, 2008- 2010), pernah S3 di FIB Unpad (2018-2020, tidak dilanjutkan). Dosen di FKIP Untirta bidang sastra dan filsafat; Pengurus dan editor Untirta Press (2007-2020); Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untirta (2016-2018). Berbagai esai dan sejumlah karya sastra di media nasional dan lokal (antara lain: majalah Horison, majalah Changjak21 (berbahasa Korea), majalah Tempo, Jurnal Sajak, majalah Sabili, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Radar Banten, Fajar Banten, Bandung Pos, Galamedia, antologi Esai Mastera: Masyarakat Sastra Asia Tenggara, Media Indonesia, Cupumanik (berbahasa Sunda) BantenNews, BWCF/borobudurwrites.id, Basabasi.co, ngewiyak.com, jurdik.id, portalnusa.id, zonaliterasi.id dll. Pertama kali tulisannya dimuat dalam koran berbahasa Sunda Galura saat masih SMA dan masih menulis esai berbahasa Sunda sampai sekarang. Buku yang ditulis tunggal 163 Banten: the Journey (Humas Pemprov Banten, 2005); Kebahagiaan Kita Sekalian di Abad ini (Novel, Berjaya Buku, 2013); Roti Semiotik yang Memadai (Depok, Komodobooks, 2014); Patung Kaki Kanan (Kumpulan Cerita, Berjaya Buku, 2014); Publikasi Ilmiah (Berjaya Buku, 2015); Metodologi Penelitian (Berjaya Buku, 2015); Seperti Bukan Cinta (Kumpulan Puisi, Komodobooks, 2016); Ceurik Arsénik made in Nagara Komik (kumpulan puisi berbahasa Sunda, Anak-Anak Rel & Berjaya Buku, 2021); Dapur-Dapur Pinggiran (Kumpulan puisi, Berjaya Buku, 2021). Buku yang dikarang bersama Kambing Hitam Pendidikan (bersama Hudjolly, 2012); Esai Mastera 2009 (Badan Bahasa & Mastera, bersama para esais Asia Tenggara); Berjalan ke Utara (Kubah Budaya, 2013, bersama para esais Indonesia); Dokter Setengah Malaikat (basabasi.co, 2019); Hujan Klise (Kelas Cerpen Kompas 2018). Menjadi pembicara dan peserta berbagai pertemuan lokal, nasional dan internasional di dalam dan luar negeri. Sejumlah penelitiannya dimuat di jurnal bereputasi internasional.


[1] Lihat puisi “Di Restoran” karya Sapardi Djoko Damono, berkaitan dengan tujuh larik terakhir puisi ini.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top