Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Fajriatun Nur

0


GOTONG KLIWON


            Inyong wis kandha, wurungna! Saya sudah bilang batalkan saja! Gelegar suara Mbah Karto begitu memasuki bale. Matanya nyalang menatap orang-orang yang ada di ruang tamu.

            Ningrum langsung menegang mendengar suara orang yang begitu dihormatinya. Dan ketegangan terasa di ruang tamu berukuran tiga kali empat meter itu. Ruang tamu yang tadinya seperti sarang tawon langsung senyap. Semua mematung. Hanya seskali terdengar lirih rintihan Yu Jum yang terbaring di dipan bambu.

            Lihat, Gus! Ini akibat kamu tidak mendengarkanku. Kamu anggap apa saya? Membuat rencana tidak mendengarkan orangtua. Rencanamu membawa celaka untuk keluarga kita, seru Mbah Karto. Wajahnya memerah. Tangannya menunjuk geram pada ayah Ningrum.

            Lenggah rumiyin, Mbah. Lurah Agus mempersilakan ayahnya untuk duduk. Mungkin juga sebagai upaya meredakan amarah lelaki yang sudah membesarkannya itu.

            Tidak usah! Saya hanya mau mengingatkan kamu, Gus. Batalkan acara lamaran Ningrum! Kamu lihat sendiri, kan, sudah ada yang celaka gara-gara rencana itu. Kowe kudune eling, Agus! Mbah Karto meminta Lurah Agus untuk mengingat petuahnya.

            Mboten, Mbah. Aku tidak mau lamaran ini batal. Sudah lama kami mempersiapkan ini semua. Tidak ada hubungannya musibah Yu Jum dengan rencana lamaran kami. Ningrum meradang.

Sejak tadi, dia sudah berusaha sebisa mungkin menahan gejolak di hatinya. Dia tidak mungkin diam saja melihat semua keributan yang sudah bermula sejak seminggu lalu. Gara-gara Yu Jum yang sedang rewang di rumahnya tanpa sengaja tertimpa rangka atap dapur, semua menyalahkan rencana pernikahan itu.

            Kowe ngerti apa, Ningrum. Bocah wingi. Kamu mengerti apa? Hanya anak kemarin sore, potongnya dengan marah. Agus, kalau kamu masih menganggapku bapakmu, batalkan lamaran itu. Ningrum dan Rahmat tidak jodoh.

            Mbah Karto langsung melenggang keluar membawa amarahnya. Tidak dihiraukannya penjelasan Lurah Agus.

            Serentak, orang-orang yang ada di ruang tamu mengembuskan nafas lega. Tidak terkecuali Ningrum. Gadis  berjilbab itu merasa lelah dengan pergolakan seminggu terakhir. Dia tidak habis pikir dengan kakeknya yang begitu menentang rencana pernikahannya dengan Mas Rahmat. Apa yang salah dengan sebuah rencana pernikahan?

***

            Seminggu sebelumnya.

            Ningrum tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Senyum manis selalu tersungging di bibir mungilnya. Baru saja Mas Rahmat datang menemui Bapak untuk meminta izin untuk lebih serius tentang hubungan mereka. Ningrum tentu lega. Hubungan mereka akan selangkah lebih maju.

            Kalau memang ingin serius, sampaikan pada orangtuamu untuk datang kemari minggu depan. Kita adakan lamaran, titah Bapak di akhir pertemuan.

            Dan Mas Rahmat menyanggupinya. Lelaki yang sudah tiga tahun dikenalnya itu merencanakan kedatangannya minggu depan bersama keluarga besar.

            Namun sepertinya, dewi fortuna hanya singgah sebentar untuk Ningrum. Beberapa jam kemudian, senyuman di keluarganya berubah menjadi adu urat.

            Kamu bilang wetonnya Sabtu Wage? Ora iso, Gus. Ningrum tidak bisa menikah dengan lelaki itu. Kamu tahu, kan, weton Ningrum Senin Legi. Jatuhnya gotong kliwon. Ora elok. Tidak baik! Mbah Karto langsung menginterupsi.

            Inggih, Pak, saya tahu. Tetapi sekarang ini sepertinya bukan itu yang jadi masalahnya, Pak. Yang paling penting Ningrum dan calonnya siap membina rumah tangga. Mereka siap berkomitmen jangka panjang. Semua pernikahan itu baik. Lurah Agus membantah halus.

            Kamu jangan ceroboh, Agus! Pernikahan gotong kliwon pantangan untuk kita. Sudah sejak zaman dulu, aturan adat ini. Jika tetap dilaksanakan, keluarga kita akan kena celaka. Kamu jangan seenaknya sendiri mengizinkan pernikahan ini. Mbah Karto kukuh.

            Tapi mau bagaimana lagi, Pak? Ningrum dan Rahmat sudah cocok. Kita tidak mungkin menghalangi acara suci ini terlaksana, kan? Hanya karena perhitungan weton. Kasihan mereka, Pak.

            Kamu memang lurah di sini. Tapi saya ini orangtuamu dan Kakek Ningrum. Saya tidak mau hal-hal buruk menimpa keluarga kita gara-gara pernikahan gotong kliwon. Wis pokoke inyong ora urusan! Mbah Karto melepaskah diri dari segala urusan keluarga.

            Saat itu, di kamarnya yang hanya dibatasi tembok,  Ningrum mendengar semua percakapan dengan hati campur aduk. Dia sudah bisa menebaknya. Rencana lamarannya tidak akan semulus yang dibayangkan. Kelurganya masih memegang teguh adat istiadat, terutama kakeknya. Jangankan pernikahan yang begitu sakral, bepergian saja harus melihat hari lahir atau weton. Persoalan pernikahannya tidak akan selesai dalam hitungan jam. Dia hapal betul watak kakeknya itu. Ah, semua sungguh membingungkan.

           

***

            Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Itu tandanya sebentar lagi fajar tiba. Namun, sejak semalam Ningrum tak bisa memejamkan matanya barang sedetikpun. Pikirannya kusut. Ada begitu banyak masalah yang harus diurai satu per satu agar semua terang. Apalagi sejak mendengar percakapannya ayah dan ibunya malam tadi. Hatinya tidak mungkin tertutup begitu saja.

            Apa yang harus kita lakukan, Pak? Kita tidak mungkin membatalkan lamaran Ningrum. Ibu tidak tega melihat Ningrum, Pak. Terdengar suara serak ibu seperti menahan tangis.

            Bismillah saja, Bu. Bapak akan berusaha mencari jalan keluar. Mungkin nanti Simbah akan luluh. Bapak tidak mungkin mengabaikan Simbah. Bagaimanapun beliau orangtua kita yang harus memberikan restu. Lurah Agus menimpali.

            Percakapan demi percakapan terus mengalir dari kedua orangtuanya. Hal itulah yang semakin memberatkan Ningrum. Di sisi lain, dia tidak mungkin membatalkan lamaran ini. Rencana pernikahan ini sudah diimpikannya sejak lama. Namun, dia juga tidak bisa menutup mata. Gara-gara rencana pernikahan ini, kedua orangtuanya selalu berselisih dengan Mbah Karto. Bahkan mulanya, semua keluarga besarnya menghujat rencananya. Ningrum berpikir sekarang mereka lebih terbuka dengan adat. Sayangnya dia keliru.

            Ningrum benar-benar tidak habis pikir. Kenapa semua harus dibuat rumit dengan berbagai aturan adat? Bukankah segala musibah, jodoh, maut, celaka, sudah ada yang mengatur? Bukankah apa yang terjadi biasanya karena buah pikiran kita sendiri?

            Ah, Ningrum jadi teringat sudah beberapa hari ini, dia tidak curhat. Gara-gara urusan lamaran ini, dia melewatkan waktu berdua bersamaNya di sepertiga malam. Ningrum bangun dan menyeret kakinya menuju kamar mandi. Dia akan berwudu. Tempat terbaik mengadu dan berkeluh kesah hanya kepada Rabb-nya. Dia ingin bercerita sepuasnya kali ini. Dialah yang paling mengerti apa yang terbaik untuk hambanya. Lantunan-lantunan dia panjatkan agar bisa menembus langit. Semoga segalanya bisa membaik.

***

            Pagi itu, ketika Ningrum sedang membantu ibu memasak,  ayahnya masuk rumah dengan tergopoh-gopoh. Senyumnya merekah. Raut mendung yang seminggu terakhir menggantung di wajahnya, kini sirna sudah.

            Ibu, Ningrum... kita sudah dapat jalan keluar. Lurah Agus tak bisa menyembunyikan senyum sumringahnya.

            Bagaimana, Pak? Ningrum tak sabar. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Bahkan detakannya bertalu-talu seakan ingin loncat dari tempatnya. Melihat wajah ayahnya, tidak mungkin berita buruk yang akan didapat bukan? Apakah doa-doanya satu per satu mulai dikabulkan? Entahlah.

            Ada apa, Pak? Ibu yang sedang mengupas bawang, mendesaknya.

            InsyaAllah Simbah sudah setuju. Maksudnya, beliau setuju menyusun ulang acara ini. Beliau mau diskusi dengan keluarga Rahmat. Besok rencananya Bapak dan Simbah akan ke rumah Rahmat untuk membicarakan ini.

            Alhamdulillah. Mudah-mudahan semua berjalan lancar, ya, Pak.

Ningrum tak bisa menyembunyikan bulir bening yang jatuh di pipinya. Ini benar-benar kemajuan. Perlahan namun pasti, benang kusut itu mulai terurai. Dia hanya berharap tidak akan ada benang lain yang membuatnya kusut. Mungkin dia bisa sedikit saja menarik nafas lega untuk kemajuan yang satu ini. Jika tidak ada halangan lagi, tiga hari lagi, lamaran akan terlaksana.

****

            Sesuai rencana, hari ini Lurah Agus dan Mbah Karto akan datang ke rumah Rahmat. Mereka akan mencari jalan keluar untuk permasalahan weton yang mengganjal. Satu jam lalu, ayah dan kakeknya sudah meluncur ke desa Mas Rahmat. Mungkin saat ini sudah sampai. Ningrum hanya bisa menuggu kabar selanjutnya. Namun, perasaannya tidak enak. Dia tidak akan tenang sebelum mendapat keputusan pasti.

            Sudah, Ningrum. Kamu yang tenang saja. InsyaAllah Bapak dan Kakekmu akan mencarikan jalan terbaik untuk kalian berdua. Ibu yang melihat Ningrum mondar-mandir hanya bisa menghiburnya.

            Ningrum meremas ujung jilbabnya. Iya, Bu. Hanya Ningrum belum bisa tenang kalau mereka belum kembali. Mana Mas Rahmat juga belum memberi kabar.

            Sabar, Nduk. Mungkin mereka sedang berdiskusi sekarang ini. Rembug tuwa. Rembuk antarorang tua. Lagi-lagi ibu hanya bisa menenangkan putri semata wayangnya itu.

            Ningrum mengempaskan tubuhnya di kursi. Satu tangannya sibuk menyentuh nomor Mas Rahmat. Nada dering sudah tersambung. Namun, tidak diangkat. Mungkin benar kata ibu, mereka masih musyawarah. Dia berharap acara lamaran besok tetap berjalan semestinya. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk menunggu hari esok.

            Dua jam....

            Tiga jam....

            Empat jam....

            Lurah Agus dan Mbah Karto belum kembali juga. Ningrum mulai gelisah lagi. Dia bolak-balik mengubah posisi duduknya. Seperti ada wudun di pantatnya. Duduknya benar-benar tidak nyaman. Dia penasaran dengan apa yang terjadi. Apakah musyawarahnya begitu alot? Sampai-sampai sudah empat jam berlalu, belum juga ada kabar tentang acara lamarannya. Ya Tuhan!

            Ketika terdengar suara deru motor memasuki halaman, Ningrum bergegas ke teras. Bersamaan dengan itu, sebuah pesan Whatapps masuk melalui gawainya. Tertera nama Rahmat di pesan itu. Dengan senyum lebar, Ningrum buru-buru membuka pesan itu.

Dik Ningrum, terima kasih untuk jawabannya. Mungkin memang benar, kita hanya bisa berencana tetapi Tuhanlah yang mengatur semua. Dan kali ini, Tuhan mengatur kita belum bisa bersama. Aku sudah memperjuangkanmu, namun sepertinya aku harus menyerah dengan tata adat keluargamu. Maafkan aku, Dik.

Ningrum tak sanggup membaca seluruh pesan itu. Sudah jelas semua. Sudah berakhir. Tidak ada lagi lamaran. Tidak ada lagi rencana pernikahan impian. Semuanya musnah dalam hitungan jam.

Saat itu juga, Ningrum merasa satu per satu tulangnya terlepas hingga tak mampu menyangga tubuhnya lagi. Ya Tuhan, ujian macam apa ini? Kenapa jadi begini? Tidak ada jalan keluar namanya. Ini justru jalan buntu. Jalan yang sengaja dipilih keluarganya. Ningrum merasa seakan ada ribuan belati menikamnya. Sakit.

Harusnya dia sudah curiga ketika bapak bilang Mbah Karto yang menawarkan akan mencarikan solusinya. Di kejauhan, Ningrum melihat senyum Mbah Karto begitu lebar tersemat di wajahnya. Seakan mengatakan akulah pemenangnya.






Tentang Penulis

Fajriatun Nur, seorang ibu yang senang menulis cerita anak. Sudah menerbitkan sekitar 25 buku anak yang diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer, Elex Media Komputindo, Tiga Ananda, Cikal Aksara, Checklist Media dan Indiva Media Kreasi. Beberapa karyanya pernah menghiasi Majalah Ummi, Majalah Socca, Majalah Femina, Koran Minggu Pagi, Suara Merdeka, dan Kedaulatan Rakyat. Penulis pernah memenangkah Sayembara novel anak KKJD Hunt Penerbit DAR Mizan tahun 2015, pememang karya terpilih Lomba Cerita Rakyat Kemdikbud tahun 2015 dan Juara 1  Lomba Jurnalistik PKK tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2017. Selai itu, penulis juga pernah terpilih sebagai Penulis Gerakan Literasi Nasional 2019 Badan Bahasa Kemdikbud. Menjadi juara dua dalam lomba Kanal PAUD Dirjen PAUD tahun 2019. Dan memenangkan Sayembara Gerakan Literasi Nasional Badan Bahasa Kemdikbud tahun 2020. Penulis bisa dihubungi di fajriatun_nur@yahoo.co.id.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top