REALITAS PERGUNDIKAN DALAM KARYA PENGARANG
PERANAKAN
Perbincangan mengenai sejarah sastra Indonesia modern cenderung terpaku
pada pembabakan angkatan yang dimulai sejak kelahiran Balai Pustaka (1917) di
Hindia Belanda. Terjadi semacam kerumpangan dalam pembicaraan tersebut.[1]
Perhatian terhadap geliat bersastra pada periode sebelumnya, atau di luar arus
utama Balai Pustaka, dapat dikatakan menjadi tidak begitu masif–padahal pada
era 1900-an ke belakang, aktivitas dan intensitas pengarang-pengarang peranakan
Tionghoa dalam memproduksi karya tidak dapat diabaikan begitu saja
vitalitasnya.
Salmon mencatat, pada tahun 1870-1880-an, berdampingan dengan melejitnya
demografi golongan peranakan, serta berkembang pesatnya percetakan milik
orang-orang Belanda, muncullah sastra Indonesia-Tionghoa. Sejak kisaran tahun
kelahiran itu hingga 1960-an, tidak kurang dari 3000 karya sastra telah
dituliskan oleh sekitar 800 penulis peranakan Tionghoa.[2]
Tradisi bersastra mereka dapat digolongkan ke dalam tradisi non-Balai
Pustaka bersama dua golongan lainnya, yakni golongan peranakan Eropa dan
pribumi. Secara mendasar, dibandingkan dengan tradisi Balai Pustaka yang
mengarahkan perhatian dalam berkarya kepada dunia yang bersifat ideal (sesuatu
di balik realitas), para pengarang peranakan lebih cenderung tertarik
membicarakan realitas keseharian atau dunia nyata dalam karya-karya mereka.[3] Adapun
dari segi penggunaan bahasa, Balai Pustaka menekankan karya-karya yang
mempergunakan bahasa Melayu tinggi, sementara tradisi di luarnya (termasuk
peranakan Tionghoa) menggunakan bahasa keseharian atau Melayu rendah—bahasa
yang bagi Balai Pustaka telah dianggap “terkontaminasi”.[4]
Masalah pelacuran dan pengangkatan perempuan pribumi menjadi nyai oleh
lelaki asing (pergundikan), sebagai salah satu isu keseharian di Hindia
Belanda, pun tidak luput dijadikan konten pembicaraan dalam karya para
pengarang peranakan. Balai Pustaka sendiri cenderung menolak tema-tema karya
yang demikian–mereka memandang topik-topik pergundikan dan pelacuran adalah
sesuatu yang berlekatan dengan keamoralan. Maraknya pergundikan diakibatkan
oleh meluapnya lelaki asing yang datang ke Hindia Belanda, sekaligus sebagai
langkah tindakan mereka dalam mengantisipasi penularan penyakit menular
seksual.[5]
Pergundikan dalam Karya Juvenile Kuo
Salah seorang pengarang peranakan yang mengangkat isu pergundikan di
Hindia Belanda adalah Juvenile Kuo, dalam karyanya yang berjudul Harta yang Terpendem. Karya tersebut
diterbitkan pertama kali oleh Roa Melaka
41 di Batavia pada tahun 1928, dan selanjutnya terhimpun dalam antologi Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia: Jilid 7 suntingan Marcus dan Hamiyati (2003).
Untuk melihat realitas pergundikan dalam karya pengarang peranakan
tersebut, dengan dukungan dari sejumlah referensi sekunder (teks mengenai
masa-masa terkait), tulisan ini akan coba bertolak dari pernyataan Wellek dan
Warren bahwa–tidak terkecuali dalam konteks para pengarang
peranakan–karya-karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang sejatinya
“membentangkan kehidupan” yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial yang
mereka temui–meskipun juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.[6]
Harta yang Terpendem berkisah tentang perjalanan pembalasan dendam
seorang pemuda peranakan Eropa (Belanda) bernama Amat terhadap perlakuan
ayahnya, Tuan Helder, yang telah menelantarkan ibunya dalam situasi hamil tua.
Amat lahir dari hubungan terlarang Helder semasa masih menjadi sinyo muda (anak
hartawan asal Magelang) dengan seorang pembantu pribumi berparas jelita bernama
Idja. Persetubuhan di antara mereka terjadi semasa Helder masih menuntut ilmu
dan tinggal di Weltervreden. Demi menjaga nama baik pribadi dan keluarga,
dengan siasatnya, Helder meminta Idja untuk kembali ke kampung halaman dengan
bantuannya, agar kelahiran Amat kala itu tidak diketahui khalayak. Sementara
itu, Helder sendiri memohon kepada orang tuanya agar dipindahkan menuntut ilmu
ke Semarang. Tidak berselang lama, ia menikahi perempuan yang sebangsa
dengannya dan menjabat sebagai administratur perusahaan Naga Mandi Estete di
Deli. Dengan lekas, Helder pun melupakan Idja dan anak yang dikandungnya.
Dalam bab pembuka Harta yang
Terpendem, Amat digambarkan sebagai lelaki yang menjadi buron lantaran
dugaan kasus pembunuhan seorang pembesar perusahaan. Ia telah lama berpisah
dengan Idja, sang ibu kandung. Dalam persembunyiannya di tengah hutan, ia
menolong seorang serdadu Belanda yang terluka lantaran serangan orang Aceh.
Ternyata, serdadu tersebut tidak lain merupakan ayah tirinya. Dari pertemuan
itu, kendati nyawa sang serdadu tak terselamatkan, Amat mendapatkan petunjuk
awal pertemuannya kembali dengan sang ibu. Selain itu, sang serdadu juga
memberi tahu Amat letak harta melimpah yang ia sembunyikan. Dengan memanfaatkan
harta warisan tersebut, Amat perlahan bangkit dari keterpurukannya dan berhasil
membuktikan pada pengadilan bahwa dirinya murni tidak terlibat pembunuhan.
Helder yang mengetahui pembuktian Amat merasa cemas karena identitas
dirinya akan segera terbongkar di hadapan istri sahnya yang berdarah Belanda.
Dengan berbagai skenario yang sengaja dirancang, Helder mencoba menjatuhkan
Amat. Akan tetapi, di akhir cerita, justru Amat-lah yang berhasil mengalahkan
Helder dengan telak: Helder jatuh miskin dan akhirnya memohon belas kasih untuk
diterima kembali di lingkungan keluarga Idja dan Amat sendiri.
Jika dibaca secara cermat, sesungguhnya pusat permasalahan dalam Harta yang Terpendem yang lebih menarik
untuk diulik bukanlah kontestasi atau balas-membalas yang terjadi antara Amat
dengan ayah kandung yang telah menelantarkannya, melainkan penggambaran
ketimpangan situasi yang menimpa Helder dan Idja sebagai tokoh yang berelasi
sekaligus berhadap-hadapan lantaran konflik antar-bangsa di antara mereka.
Apabila Helder yang berdarah Belanda dapat melanjutkan perjalanan hidup tanpa
beban berarti setelah berhubungan intim dengan sang perempuan pribumi, maka
situasi yang berkebalikan justru dirasakan oleh Idja: ia harus menanggung
kelahiran Amat bersama janji Helder untuk kembali menengok mereka, yang
senyatanya tidak pernah benar-benar ditepati. Beruntung bagi Idja, sebab
rupanya putra yang ia lahirkan memiliki fisik yang kian mirip dengan Helder,
sehingga dirinya tidak ragu menaruh pengharapan atas sang anak di hari-hari
kelak.[7]
Konflik yang diangkat Kuo dalam Harta
yang Terpendem dapat digolongkan dan dikaitkan dengan fenomena pergundikan
yang terjadi di Hindia Belanda pada masa-masa tersebut. Helder, sebagai pria
Eropa, memiliki kelas di atas Idja selaku perempuan pribumi. Hubungan
antar-keduanya hampir takkan pernah dinyatakan sah berdasarkan aturan
pemerintah Hindia Belanda. Posisi seorang “nyai” sebagai pelaku pergundikan
sangat lemah di hadapan hukum: hubungan yang tidak diakui pemerintah, dan
rentan kehilangan hak asuh atas anaknya apabila sang ayah telah berkenan
mengakuinya.[8]
Hal itu tak lepas dari kebijakan pemerintah yang menempatkan kaum
pribumi atau “inlander” sebagai golongan kelas sosial terbawah di Hindia
Belanda. Sebagaimana diketahui, pemerintah kolonial mengklasifikasikan penduduk
menjadi tiga golongan berdasarkan etnis atau ras: 1) orang-orang Eropa; 2) orang
Timur Asing seperti warga Tionghoa dan Arab; dan 3) pribumi atau bumiputera.[9] Kutipan
berikut dapat menggambarkan situasi penelantaran yang dialami Idja lantaran
kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut:
“Maka ia lalu rawat dengen betul pada dirinya
Amat.
Cuma ia punya hati masi merasa sanget penasaran,
kerna suda ampir satu taon, itu sinyo masi blon juga mau muncul buat tengoki ia
punya anak.
….
Tapi kadang-kadang di waktu malem Idja masi tida
bisa tidur pules, kapan ia dapet inget kombali dengan itu percintahan yang dulu
ia suda perna ngalamin dengen itu sinyo yang menjadi ayahnya si Amat.
Srringkali kedengeran ia menarik napas sambil
berkata, ‘Ai, sunggu tega amat hati orang lelaki, tentu itu sinyo suda lupaken
sama sekali pada aku punya diri!” (hlm. 414)
Menurut Baay, pasca-tahun 1870, pergundikan dipandang sebagai sesuatu
yang lebih mudah, murah, kurang terikat, dan kurang ketat dalam praktiknya
dibandingkan pernikahan yang semakin
disebarluaskan oleh seluruh masyarakat Eropa di koloninya.[10]
Selaras dengan fenomena yang terjadi dalam realitas, Kuo juga memotret fenomena
pergundikan yang tidak hanya terjadi di tanah Jawa—melainkan Sumatera pula,
khususnya di perkebunan-perkebunan yang terletak di Deli—ke dalam karyanya.
Amat, sebagai lelaki peranakan Eropa, di akhir cerita juga menikahi
perempuan pribumi bernama Kasmina.
“Begitulah sedari itu hari tuan Helder suda
tinggal di dalem itu gedong bersama Idja dan ia punya anak dan mantu prampuan,
dengen pengrasahan sangat beruntung.” (hlm. 450)
Pertemuan
keduanya terjadi semasa sama-sama bekerja di perkebunan wilayah Deli. Jika
merujuk kepada realitas saat itu, berdasarkan catatan Baay, selain di tengah
masyarakat sipil dan tangsi-tangsi tentara kolonial, perkebunan-perkebunan di
Deli menjadi salah satu tempat marak terjadinya pergundikan. Buruh perempuan di
perkebunan tidak jarang dipaksa untuk hidup bersama para lelaki Eropa, dan hal
itu bukan merupakan fenomena baru di tempat terkait.[11]
Artinya, fenomena yang menjadi amatan Kuo dalam Harta yang Terpendem tidak terbatas pada wilayah tertentu, misalnya
Jawa, melainkan yang secara umum didapati di Hindia Belanda.
Akhirnya, jika dicermati lebih jauh, fenomena masyarakat Hindia Belanda
yang berada dalam bayang-bayang peraturan pemerintah Hindia Belanda yang
membagi dengan jelas batas-batas hak ketiga golongan (Eropa, Timur Jauh, dan
pribumi) memang berpotensi melanggengkan pergundikan yang terjadi. Imbasnya,
golongan pribumi yang notabene berada pada posisi strata sosial terbawahlah
yang bakal didera penderitaan secara terus-menerus.
Dimulai dari percintaan yang melibatkan Helder dan Idja, kemudian Amat
dan Kasmina, jelaslah bahwa Kuo telah mengangkat problem semasa dalam karyanya:
bagaimana pergundikan di Hindia Belanda terus terjadi (direpetisi) dan mungkin
sulit ditemukan titik akhirnya andai Jepang tak datang, yang akhirnya menjadi
titik mula fase-fase kemerdekaan dipersiapkan dan diproklamasikan oleh
Indonesia pada tahun 1945 silam. Fenomena pergundikan yang diangkat oleh Kuo
itu, telah memberikan gambaran–pada kita selaku pembaca sekaligus generasi
kemudian–mengenai superioritas orang-orang berdarah Eropa di hadapan golongan
lain di Hindia Belanda, khususnya pribumi, mulai dari ranah publik hingga yang
paling privat semacam hubungan asmara. Lebih spesifik lagi, sejatinya para
perempuan pribumi, baik yang berada di dalam maupun di luar Pulau Jawa, kian
rentan menjadi pelaku pergundikan–entah sukarela, entah dalam kondisi terpaksa.
Tentang Penulis
Ilham Rabbani, lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Aktif
mengelola komunitas sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Selain pernah mendapatkan
penghargaan, tulisan-tulisannya juga terbit di beberapa bunga rampai dan media
massa, baik cetak maupun daring (Koran
Tempo, Lombok Post, Koran Sindo, Merapi, Minggu Pagi, Basabasi.co, Bacapetra.co, Beritabaru.co,
Sastramedia.com, Dialektikareview.org, Kibul.in,
Jejakimaji.com, SKSP-Literary.com, Cerano.id,
Haripuisi.com, Lensasastra.id, Omong-omong.com,
Mata Budaya, Kreativa, dan lain-lain).
Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
dan Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM). Perihal Sastra & Tangkapan Mata (2021) adalah buku esainya yang
telah terbit, dan yang akan menyusul pada Desember 2022 adalah buku kajian Sastra, Kedaruratan, Pahlawan (2022).
Dapat dihubungi via: WhatsApp +6281285809579; akun Instagram @_ilhamrabbani;
atau surel ilhamrabbani505@gmail.com.
[1] Sulton, Agus. 2017. Sastra Liar
Masa Awal: Resistensi Kaum Pergerakan. Temanggung: Kendi, hlm. xiii.
[2] Salmon, Claudine. 2010. Sastra
Indonesia Awal: Kontribusi Orang-orang Tionghoa. Terj. Ida Sundari Husen,
dkk.. Jakarta: KPG, hlm. 15.
[3] Faruk HT. 2016. Novel Indonesia,
Kolonialisme, dan Ideologi Emansipatoris. Yogyakarta: Ombak, hlm. 85.
[4] Ibid., hlm. 90-101.
[5] Ibid., hlm. 95-97.
[6] Wellek, Rene, dan Warren, Austin. 2014. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia, hlm.
98.
[7] Kuo, Juvenile. 2003. “Harta yang Terpendem”. Dalam Marcus A.S., dan
Hamiyati, Yul. 2003. Kesastraan Melayu
Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Jilid 7. Jakarta: KPG, hlm. 409-414.
[8] Faruk, hlm. 97.
[9] Matanasi, Petrik. 2016. “Sinyo-Sinyo Rasis Hindia Belanda”. Diakses
dari https://tirto.id/sinyo-sinyo-rasis-hindia-belanda-b858 pada tanggal 3 November 2020;
Dewojati, Cahyaningrum. 2018. Pengantar
Sastra Peranakan Tionghoa. Yogyakarta: Oceania Press, hlm. 7.
[10] Baay, Reggie. 2017. Nyai dan
Pergundikan di Hindia Belanda. Terj. Siti Hertini Adiwoso. Depok: Komunitas
Bambu, hlm. 25.
[11] Ibid., hlm. 139.