Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi D. Zawawi Imron

0


JIKA

 

Jika air danau itu tinta

Apa dayaku untuk menulis

            Sementara seruling mengejar senyum Bung Hatta

            Harapan hanya tertangis

            Pada embun daun yang tipis

            Tak tertulis

 

Jika gunung itu perkasa

Ia tetap tak punya kuasa

            Meskipun asap mengepul mencoreng

            Meskipun gergaji tak jelas disuruh siapa

            Coba kita kembali ke hati danau

            Menggosok hakikat surau

 

Jika air danau itu tinta

Tak cukup seorang untuk menulis



 

TAN MALAKA

 

Matamu melihat laut mergolak

Kata-katamu memainkan gelombang

Matahari menarik luku ke Barat

Dan badai bergerak ke Timur

 

Engkau yang menggali

Engkau yang menabur

Tak setiap tanah dan air menyiapkan lumpur

 

Engkau sunyi di jalan sendiri

Karena pada setiap kelokan

Seperti tafsir tikungan tembok Tiongkok

Sedang tafsir ada yang padat ada yang cair

 

Kami yang seperti hidup di zaman yang lain

Siapa tahu butuh catatan kaki untuk hari esok



 

HIDUP ATAU HUTAN

            Untuk Alfi

 

Setitik air sebutir padi

Seutas sungai selingkar danau

Buku mendesak seperti angin daun bambu

Berlembar-lembar mengiringi sayap

Kupu berkibar menabur warna sejuta. Ini alam

Selalu ada perjuangan selalu ada perlawanan.

Lihat, murai menyambar ilalang, dan puyuh membelok-belok

Menghindari ular. Ada nasib tak terkejar,

Sehingga sebagian hutang lunas terbayar

Selembar daun seciprat lumpur

Seekor kelabang seutas akar

Berkelebat dalam renungan. Aku

Bergegas mengejar larik yang lari

Tapi inilah hidup, kawan! Ada daging

Ada tulang melintang menusuk-nusuk membikin

Bumi merintih memanggil tebingnya yang

Menjulang. Pertanyaan mengalir

Tak kunjung selesai. Tak apa-apa

Tak usah bagaimana, asalkan di mana-mana

Kita kembangkan ruang-ruang, sampai

Sepi pun mengerti sunyinya yang

Menyimpan kilatan pedang

Dari sebuah kata semoga, kita cari

Jejak kanvas yang hilang



 

BERDIRI DI SINI

 

Berdiri di sini, di puncak ketinggian ini

Alam hanya selembar

Bersujudlah berbasah-basah

Maka engkau akan berlayar

Ke dermaga di ujung lamunan

Ujung kesetiaan kepada diri

Kepada yang tak terbayang sebelum kita berdiri

 

Berdiri di sini, bukan hanya berdiri

Ada yang mendesak lalu menghilang tanpa jejak

Mungkin hanya bayang-bayang

Yang mau belajar sembahyang

Hanya rindu, yang tak hanya kata-kata dalam buku

Hanya cinta, yang mengelus, dan menembus

Selain itu penat

Yang ditandai habisnya keringat

 

Keringat yang hangat menjemput tahun

Dan derap yang melarang orang melamun

Mengasuh seluruh sujud

Seluruh tegak seluruh langkah

Betapa kekar dan gagahnya badai

Telapak tumit pantang tergadai



 

BERTEMU BUYA HAMKA

 

Di antara wajah-wajah yang ingin kemilau

Kabut bermain, dan orang-orang gugup pun

Menabur senyumnya di tepi-tepi jalan,

Atau di riuh persimpangan, atau di tingkap

Orang jual kerupuk, jajan, serta rumah makan.

Seperti ada ruh yang mau ditaruh

Di sini atau ke luas tanah yang jauh

 

Para pengemudi tentunya harus hati-hati, jangan sampai lengah

Atau tergoda.” Ucapan yang senada dengan ujar pejuang hak asasi

Padahal ia hanya seorang pedagang telur

Mungkin ia mengaji atau mengeja

Satu jiwa tak bisa dibayar sejuta telur

Sedang telur, sebutir pun tak boleh pecah

Orang di sampingku yang berseragam abu-abu

Atau kelabu, membuka koran,

Tanpa izinnya aku ikut membaca halaman depan

Tentang pengemban amanat

Yang turut menjerumuskan hutan, lalu ia tersangkut ke pengadilan

Di tengah bumi yang gembur

Aku tak bisa menelan air liur

 

Untunglah aku bertemu Buya Hamka

Pada sebuah buku. Ia berkata

“Kursi-kursi banyak. Dan orang yang ingin pun banyak

Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri.”

 

Aku mengusap dada

Tiba-tiba terasa senyumku nikmat. Pelan-pelan

Mengusap airmata, mengusap daun-daun di balik dada




Tentang Penulis

          D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal, nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura, Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku Airmata (1985), (5) Celurit Emas (1986), (6) Derap-derap Tasbih (1993), (7) Berlayar di Pamor Badik (1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang (1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis Empedu (2003), (12) Cinta Ladang Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002). Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron  mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron, atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top