Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Resensi Ade Cahya Ningsih

0


 

INTERPRETASI CINTA DAN KASIH SAYANG 

MELALUI SISI TRANSENDENTAL DAN BUDAYA



Judul              : Perempuan Ghirsereng (Kumpulan Sajak Penyair ASEAN-3)

Penulis            : Abdul Warits, Irvan Mulyadie, Omni Koesnadi, dkk.

Penerbit          : Dewan Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

   (DEMA FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

   Purwokerto

Cetakan          : 2020

Tebal              : viii + 208 halaman

 

Cinta dan kasih sayang, keduanya merupakan istilah yang tidak asing lagi di telinga manusia. Mereka seakan menyatu dengan hakikat manusia itu sendiri. Tidak ada manusia yang tidak mengenal cinta dan kasih sayang—seharusnya memang demikian—karena pada dasarnya cinta dan kasih sayang adalah ekspresi paling luhur dalam kehidupan manusia terutama dalam konteks kehidupan agama, budaya, dan hubungan antar manusia. Pernyataan ini selaras dengan kalimat yang disampaikan oleh Dr. K.H. Moh. Roqib, M.Ag. selaku Rektor IAIN Purwokerto dalam kata pengantarnya, “Cinta dan kasih sayang, sebagaimana tema Lomba Cipta Puisi ASEAN (LCPA) 3 ini merupakan ekspresi paling luhur dalam konteks hidup keagamaan, kebudayaan, dan kemanusiaan.” Maka jelas sudah, manusia tidak dapat dilepaskan dari esensi cinta dan kasih sayang.

Puisi, bukan hanya sekadar untaian narasi, apalagi basa-basi. Lebih dari itu, puisi ialah sebuah karya sastra penuh estetika yang bertujuan untuk mengekspresikan kebijaksanaan dan kepekaan jiwa. Kebijaksanaan dan kepekaan jiwa inilah yang menjadi dasar dalam menemukan cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya. Melalui puisi, para penyair dapat mengekspresikan dirinya secara khas untuk menciptakan dunia baru (mode of creation) perihal cinta dan kasih sayang yang tak terbatas kepada siapa, termasuk kepada Sang Pencipta. Setiap orang bebas berekspresi sesuai versinya masing-masing. Tidak ada perbedaan lagi bagi setiap orang di hadapan puisi. Semuanya sama di atas kehidupan agama, budaya, dan manusia yang heterogen.

Buku antologi puisi yang ditulis oleh Abdul Warits, Irvan Mulyadie, Omni Koesnadi, dkk. ini merupakan salah satu bukti nyata hadirnya mode of creation yang sangat khas. Seratus puisi yang termaktub dalam buku ini adalah perwujudan dari eksistensi cinta dan kasih sayang dalam diri manusia. Mode of creation yang khas tersebut sangat dipengaruhi latar belakang yang berbeda-beda pada tiap penyair. Hal ini sebagaimana dituliskan oleh seorang mahasantri yang berkampung di Grujugan, Abdul Warits. Puisinya yang berjudul “Perempuan Ghirsereng” ini menyiratkan mengenai dalamnya cinta dan kasih sayang seorang istri kepada suaminya yang berprofesi sebagai nelayan. Ia senantiasa menyematkan nilai-nilai transendental dan budaya yang begitu kentara dalam untaian bait puisinya. Misalnya pada bait “Rumput yang berpagut kami tanam di kepala anak-anak. Agar tetap tumbuh, bersemai menjelma biru iman.” Potret budaya Madura yang dilukiskan Abdul Warits pun sangat nyata melalui gambaran pantai dan laut yang dikemas secara indah, seperti dalam bait “Inilah jalan hidup kami, memeluk pasir di antara asin air”.

Sama halnya dengan Abdul Warits, sisi transendental dan budaya yang sangat kuat dapat dirasakan dalam puisi yang dituliskan oleh penyair multitalenta asal Tasikmalaya, Irvan Mulyadie. Puisinya yang berjudul “Rumah Cinta yang Bercahaya” justru secara gamblang mengerucutkan isi puisinya ke dalam sub-judul yang begitu kental akan budaya. Ia menginterpretasi nilai cinta dan kasih sayang manusia dengan setting Nuwo Sesat, Nuwo Balak, Lamban Balak, dan Lamban Pesagi. Keempatnya merupakan rumah tradisional yang berasal dari Provinsi Lampung, Indonesia. Selain itu, bumbu nilai-nilai transendental yang tak lupa hampir disematkan pada setiap bait puisinya menambah keunikan tersendiri. Misalnya dalam bait “Patahan tulang dari rusukku” atau dalam bait “Aku seperti mendaki gunung makrifat”.

Selain Abdul Warits dan Irvan Mulyadie, interpretasi nilai cinta dan kasih sayang pada sembilan puluh delapan puisi lainnya memang rata-rata menilik pada sisi transendental dan budaya. Dengan kata lain, seratus puisi yang dimuat dalam antologi ini merupakan hasil karya para penyair yang begitu peka akan sisi religiusitas serta cinta akan budaya. Banyak sekali buku antologi yang dibukukan di luar sana, tetapi masih sedikit yang mampu menyihir pembaca melalui sisi transendental dan budaya yang tak jarang dilupakan dalam kehidupan nyata. Buku ini layak sekali untuk dibaca karena tidak hanya menyuguhkan unsur estetika sebagaimana biasanya, melainkan juga menghadirkan kebermanfaatan dalam hal kritisasi beragama dan berbudaya.

Kekurangan buku ini bisa dibilang hanya satu, yaitu bagi beberapa pembaca yang tidak terbiasa membaca karya sastra khususnya puisi kemungkinan besar akan kesulitan menemukan makna tersirat dari buku ini. Maka dari itu, diperlukan kemampuan interpretasi yang baik jika ingin mendalami buku ini secara utuh. Kunci memiliki kemampuan interpretasi yang baik hanya satu; perbanyak membaca. Semoga pembaca dapat terus memupuk gairah membacanya sehingga dapat menikmati nilai keestetikan yang terpancar dalam buku ini. Selamat menyantap!

 



Tentang Penulis


Ade Cahya Ningsih, lahir di Banyumas, Jawa Tengah. Seorang mahasiswi Magister Pendidikan Anak Usia Dini (MPIAUD) Universitas Islam Negeri (UIN) Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, sekaligus santriwati di Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah Parakanonje. Alumni Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP). Penulis dapat dihubungi melalui email aozorayanin@gmail.com.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top