Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Roudhotul Jannah

0


 

        Di hadapan cermin lihat tubuhmu yang masih terbalut mukena, menjuntai menutupi awakmu. Menutupi aib-aibmu. Tiba-tiba kau lihat bayangan sosok gadis muda di hadapanmu. Sosok itu ialah gadis pendosa yang baru saja membuat kau gemetar saat berhadapan dengan Kirana. Dengan gusar kau kunci pintu kamar, belingsatan, lalu terjerembap ke lantai. Disergap ketakutan kau merangkak, gadis itu terus mengikutimu. Bersusah-payah kau menuju pesujudan dan segera meraih tasbih. Sambil tergugu, kau memohon ampun atas dosa-dosa gadis sialan itu.

***

 

Di kota ini tak ada suara jangkrik apalagi tonggeret. Tak ada juga suara kendaraan berlalu lalang, maka subuh itu amat tenang –setenang bulir-bulir embun pada rerumputan yang lelap dicumbu dingin semalaman. Di kota ini banyak bunga dengan kumbang yang mau punah, kota ini juga bukan gunung tapi ada banyak kabut dan tabun.

Perempuan setengah bermukena dan lelaki tua berkalungkan sorban menenteng sajadah yang berayun bersama angin, mereka menghambur keluar dari pintu surau. Jamaah salat subuh itu makin hari makin sepi saja, tapi tak lebih sepi daripada langkahmu. Orang-orang pulang salat subuh beriringan dengan keluarganya, sedangkan kau, hanya berteman bayanganmu. Kau selalu salat di masjid sebab kau harus memimpin kajian ibu-ibu selepas salat, pun tak ada sosok imam di rumahmu. Seseorang yang pernah bergelar suami dalam hidupmu telah menalak kau bertahun-tahun silam, beberapa jam setelah ikrar pernikahan kalian ucapkan, ya, itulah kenyataan paling pahit dalam hidupmu. Tapi pantas kau terima.

Tak hanya karena tak ada imam, satu-satunya anak gadismu juga tak bisa dijadikan makmum untuk berjamaah. Bukan karena telinganya yang sering tuli pada seruan azan, namun karena gadis kepala batu itu tengah minggat dari rumah. Minggat sebagai aksi protes pada aturan dan perintahmu yang ia anggap telah mengekangnya sebagai anak muda. Protes karena kau terlalu sering pergi mengisi kajian ke majelis- majelis pengajian daripada memerhatikannya. Protes karena hidup bersamamu dipenuhi aturan. Protes karena banyak pertanyaannya yang tak bisa kau jawab, sedangkan pertanyaan para jamaah kajianmu di majelis-majelis itu tak satu pun kau biarkan tak menemui titik terang.

Anak gadismu, semakin hari semakin matang. Kerling matanya menyimpan kejelitaan. Rambut panjangnya indah terurai –barangkali terlalu indah buat ia rahasiakan, sampai tak mau menutupnya. Belum lagi lekuk tubuhnya, tahun ke tahun membuatnya kian ranum. Wajahnya yang memesona dengan senyum semanis madu. Ahai, gigi mutiara, ditambah setitik lesung di pipi kanannya, alis tipis, juga bola matanya yang berkilauan sebening embun pagi. Mengingat anak gadismu membuat sepi semakin memeluk hatimu.

Saban malam kau tunaikan qiyamul lail dengan khusyuk, memohon petunjuk pada Tuhan tentang bagaimana cara menjaga titipan-Nya (anakmu semata wayang itu) Tuhan langsung menanggapi permohonanmu. Dia getarkan hati putrimu! Sampai anak gadismu itu mengambil keputusan untuk minggat dari rumah. Sungguh, kau hamba yang teramat Dia cintai, sampai Dia menguji ketabahanmu lagi. Tapi sekali lagi, itu pantas kau terima.

Dalam surat yang ditinggalkan putrimu, katanya ia mau mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di kepalanya, pertanyaan tentang apa itu cinta? Pertanyaan yang tak bisa kau jawab selain: cinta adalah bagaimana Tuhan mengasihi kita. Kau benar, tapi sayangnya bukan jawaban itu yang putrimu inginkan. Kau telah kehabisan cara untuk mendidik anak berkepala batu itu seorang diri. Namun, kepergiannya membuat jiwa keibuanmu meronta, kau berharap anakmu mau pulang kembali dan menemani masa tuamu.

Langkah sepimu berhenti di ambang pagar. Betapa terkejutnya dirimu melihat putrimu sedang menyiram bunga dengan wajah berseri, seolah tak pernah ada yang terjadi. Kau tepuk-tepuk pipi keriputmu, berharap kau terbangun dari mimpi. Tapi ini sungguhan! Putrimu telah pulang. Tergopoh-gopoh langkahmu menghampiri gadis itu dengan mata berlinang.


“Kirana, kau pulang, Nak?” katamu masih tak percaya sambil menyentuh pipi putrimu. Kirana meraih tanganmu dan mengecupnya.

“Aku sudah dapat apa yang aku cari, Bu, tentu aku pulang,” jawab Kirana tersipu, pipinya bersemu seperti kelopak mawar, matanya bersinar seperti bintang dan senyumnya merekah sempurna.

Kau meraba tempurung kepalamu, mengingat ia pergi untuk mencari apa itu cinta, dan cinta macam apa yang telah ia temukan? Belum sempat kau bertanya, Kirana memelukmu seraya mengucap permintaan maaf. Semerbak wangi dari tubuh Kirana menyeruak di hidungmu. Rasanya dulu kau begitu kenal dengan semerbak itu. Wangi bunga!

Sudut matamu melirik tanaman di halaman, masih belum berbunga. Batinmu mengeluh, minyak wangi merek apa yang kau pakai, Kirana? Wanginya mengundang sesosok gadis dalam benakmu. Sekelebat bayangan hitam itu muncul pada sorot mata Kirana. Tubuhmu gemetar. Kau melangkah mundur melepasakan pelukan. Sekali lagi kau perhatikan, tak ada bunga di sekelilingmu. Namun, rupan-rupanya wajah Kirana yang berbunga-bunga! Dengan langkah limbung kau bergegas ke kamarmu. Meninggalkan Kirana dalam kebingungan.

***

 

Dari ventilasi udara di pintu kamar sang Ibu, Kirana hanya melihat gelap. Sungguh ia tak tahan didiamkan oleh ibunya. Benarkah wanita paruh baya itu sakit? Kirana tak bisa bersabar lagi. Ia memutar kenop pintu kamar ibunya dengan hati-hati, ia tak mau membuat ibunya terkejut. Kamar sang ibu terasa hangat, hanya lampu di atas meja yang menyala remang-remang. Dengan perlahan pula, gadis yang wajahnya masih dihiasi senyuman manis itu duduk di sisi ibunya yang terlelap di atas sajadah, di samping ranjang, masih lengkap dengan mukenanya.

“Bu, ibu kenapa jadi pendiam begini,” tanya Kirana, tapi ibunya itu diam saja. Tanpa Kirana tahu, sebenarnya hatimu sedang berkecamuk. Kehadiran Kirana di kamarmu membuat kau terkejut bukan main, tapi kau berusaha tak bergeming.


“Kenapa Ibu tidak lagi mengabsen lima waktuku, tak memaksaku mengaji, atau sekedar menyuruhku mandi. Kurasa setelah aku kembali, Ibu banyak berubah, belumkah Ibu memaafkanku?” Kirana berkata dengan lirih, sementara kau terus berpura-pura memejamkan mata sambil beristighfar. Sejak kemarin kau memang menghindari Kirana. Memutuskan untuk berpuasa dan berdiam diri dalam kamar, namun hari ini Kirana malah menemuimu dan tak beranjak pergi juga, gimik pura-pura tidur yang kemarin kau lakukan tidak membuat Kirana lantas pergi di hari ini.

Kirana bersandar pada tubuhmu seraya merengek memanggilmu bagai anak- anak, “Ibuuu ”.

Desir angin mulai menebar semerbak wangi Kirana di ruang kamarmu.

Tubuhmu meremang dan isi kepalamu tak tenang.

 

Kirana bersiap untuk mulai bercerita, sejak kecil, gadis itu memang tak bisa menahan diri untuk tak bercerita padamu. “Bu, aku pernah bertanya kan pada Ibu apa itu cinta, dan kau tahu? Sekarang aku sudah menemukannya,” katanya semangat.

Kau diam. Mencoba mencerna maksud ucapan putrimu.

“Bu, aku jatuh cinta, tidak kah kau ingin mendengar ceritaku?” Lagi-lagi kau terus diam tapi kali ini otakmu lebih keras mencerna.

“Apa aku harus menjadi jamaah di majelis ta’lim agar ceritaku Ibu dengarkan?" sambung Kirana, merajuk, bibirnya manyun. Kau menyerah, beranjak dari posisi tubuh yang berbaring, kau duduk berhadapan dengan Kirana. Kirana pun menegakkan kepalanya yang sebelumnya lesu.

“Baiklah, siapa yang kau maksud cinta, Nak?” tanyamu hangat. “Tentu saja lelaki, Bu,” jawab Kirana semangat lagi.

Ah, sungguh, hatimu pasti mulai ketakutan. Kirana menyambung, “Ah, tapi aku malu menyebut namanya. Kubuat pengibaratan saja. Karena ia suka memperlakukan seolah aku ialah bunga, ia akan kusebut... kumbang!” Tutur Kirana malu-malu, ada warna kelopak mawar pada lesung pipinya, kembang api seolah menyala-nyala di kedua bola matanya.

Kehangatan yang baru saja kau bangun membeku sektika, ucapan Kirana membuatmu terkesiap. “Mengapa kumbang, Nak?”

Kirana pun menjawab, “Kan kumbang yang suka pada bunga, dimana ada bunga di sana ada kumbang. Kumbang mencintai bunga, begitu pun sebaliknya.”

Mendengar itu, kau terpukau. Mungkin seharusnya kau bertepuk tangan keras- keras. Benar-benar putrimu sudah jatuh cinta! Kau menatap tajam-tajam mata Kirana, sambil bercakap serius, “Bunga mencintai kumbang, tapi kumbang mencintai semua bunga. Kumbang hanya hadir barang sesaat, ia tak tinggal, Kirana! Ia bahkan memperlakukan setiap bunga dengan sama, Kirana!”

Mendengar penuturanmu Kirana menggeleng tak percaya. “Kumbangku tidak begitu, Bu!” Kirana bersungut.

Kau tertawa –tawa yang aneh– lalu berseringai sembari berdiri dan menghampiri jendela, kau singkap tirainya, kau buka perlahan. Kirana pun berdiri memandangi punggungmu. Sambil memandangi kuntum bunga di halaman, kau berkata, “Kumbang hanyalah kumbang, Nak, dimana ada nektar dalam bunga yang menawan, ia akan tertawan. Namun, begitu ia dapatkan nektar itu, ia sesap hingga tandas, tanpa sisa, ia akan berlalu. Berkelana lagi mencari nektar pada bunga lain yang memesona, yang lebih harum”.

Kirana terlihat menyesal mendengar ucapanmu, ia menggeleng cepat.

“Kirana?” panggilmu. Kau hampiri lagi putrimu. “Jangan bilang kau sudah memberikan nektarmu?” Kau bertanya dengan gusar.

Giliran Kirana tertawa. “Ia telah menjelaskan padaku tentang cinta, Bu, cinta yang aku teramat ingin ketahui, sesuatu yang tidak pernah bisa kau jelaskan. Ia memberiku cinta. Kami berbagi cinta. Apa salah jika kuberikan semuanya?!” Jelas Kirana lantang lalu kemudian ia meninggalkan kamarmu dengan wajah merah api. Kata-kata Kirana menyambar hatimu,


Bugg… ! Brakkk!!

Pintu menampar tembok, memantul, berdebam lagi lalu tertutup rapat. Sedangkan, sebuah luka lama dalam hatimu, yang kau balut sekian lama hari ini teriris lagi, amat perih pelik kau merasainya. Kirana. Putrimu itu telah meruntuhkan cermin diri yang selama ini kau jaga sebaik-baiknya. Cermin dalam matamu pun tak bisa kau tahan untuk tak jatuh berkeping-keping.

Duh Gusti, sosok wanita pendosa itu! Ia kembali, ia datang lagi, ia menjelma dalam diri putriku.

Terdenger alunan roda-roda tas koper beradu dengan lantai. Dengan cemas kau keluar dari kamar sambil menyeka air lukamu dan mendapati Kirana akan minggat lagi. Wajah anak gadismu yang semula merah api kini jadi pucat.

“Kirana cukup!! Mau kemana lagi?”

“Kalau Ibu tidak suka pada kekasihku, maka Ayah harus menikahkanku. Kata- katamu telah membuatku ketakutan, Bu! Aku tidak mau kehilangan kekasihku, karena itu kumbangku harus kuikat, dan Ayah satu-satunya orang yang harus membantuku menagkapnya,” seru Kirana penuh harap.

“Tidak, Nak!”


“Apanya yang tidak?!!”

“Kau tahu, siapa lelaki yang kau sebut Ayah itu?" 

“Tentu aku tak banyak tahu, tapi aku hafal alamatnya, aku melihatnya dari surat- surat di lemari Ibu. Aku memang tak tahu Ayah di mana dan seperti apa, tapi aku akan mencarinya! Bahkan semua ketaktahuanku karena kau yang selalu menjauhkanku darinya!!” Sulut Kirana sambil mengacungkan jari telunjuknya di mukamu, mata Kirana memancarkan api. Semakin membakar hatimu. Gadis belia itu lalu melangkah menyeret kopernya. Hatimu bimbang, namun Kuyakinkan kau kala itu. Kau berteriak sebelum Kirana benar-benar melewati pagar rumah.

“Dia bukan sebenar-benar Ayahmu, Kiranaaa!!” teriak kau akhirnya.


Langkah putrimu berhenti. Kau dekati gadis yang seketika mematung itu, kau tatap dua bola mata Kirana, ada bongkahan cermin di sana. Kau tatap tubuh Kirana yang gemetar, kau kembali temukan cermin dan kau bisa melihat dirimu di masa lalu padanya. Kau di masa lalu ialah si gadis lugu yang membeli cinta dengan gunungan dosa, serupa Kirana.

“Apa maksudmu? Lalu siapa ayahku?” Tanya Kirana memburu.

 

Kau berucap lebih lembut, “Jangan cari Ayahmu, Nak. Ayahmu memang ada, tapi ia tidak akan ingat kita, ia adalah pecinta bunga, dan bunga ada di setiap taman. Aku? Aku ini hanya salah satunya, Kirana. Mana mungkin ia akan ingat padaku, apalagi padamu.” Kau biarkan Kirana mencerna apa yang sebenarnya terjadi, “Kau tahu mengapa aku tak ingin kau bersama kekasihmu yang kumbang itu?” Kirana masih menatapmu tanpa berkedip menunggu apa yang akan kauucapkan.

“Karena… Ayahmu juga seekor kumbang,” dengan bibir bergetar, lolos juga kata-kata itu dari bibirmu.

Kaki Kirana terasa luruh. Ia terduduk sambil tersedu. Senja yang kemerahan mulai menyingsing perlahan. Petang hari tak lagi tenang. Tangisan Kirana bersahutan dengan kumandang azan magrib.

“Mari, Nak. Kita sucikan diri,” katamu. Dengan mata berlinangan, kau bimbing Kirana berdiri, aroma bunga di tubuh gadis itu tak terendus lagi, lenyap dibawa sesiut angin.

Di kota ini tak ada suara jangkrik apalagi tonggeret. Tak ada juga suara kendaraan berlalu lalang, tapi petang itu amat berang. Di kota ini banyak bunga dengan kumbang yang mau punah, kota ini juga bukan gunung tapi ada banyak kabut dan tabun. Ya, tabun-tabun dosa berkelun-kelun membubung langit, setiap hari, dari petang ke petang.

~***~

 

Cilegon 2021 – Serang, 2022


Tentang Penulis

Roudhotul Jannah. Mahasiswi semester 5 Pendidikan Bahasa Indonesia Untirta yang akrab disapa Rara ini lahir di Cilegon, 3 Januari 2022. Tinggal di Jl. Sunan Kudus Link. Ciluit, RT/RW 016/005, No.37, Kel. Deringo, Kec. Citangkil Kota Cilegon. Aktif berorganisasi di HMJ PBI dan UKM Belistra FKIP Untirta. Tahun 2021 menjadi juara 1 pada lomba Cipta Cerpen Porseni FKIP dan Juara 1 Lomba Cipta Puisi Milpres Ikadiksi Untirta. Tahun 2022 menjadi Juara 2 Lomba Artikel Islami Milad L-SIP FKIP Untirta. Dapat dihubungi melalui surel roudhotuljannah375@gmail.com.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top