Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Suci Wulandari

0

Aku duduk di kursi teras rumah. Kue-kue hangat buatan ibu terasa sangat lezat. Sore ini, aku kembali menghirup udara segar setelah satu tahun penuh hanya menghirup udara dari tabung oksigen rumah sakit. Tidak ada yang lebih melegakan ketimbang bebas dari penjara orang-orang sakit itu. Pengap. Bau obat. Dan cairan-cairan bening berisi obat itu sangat tidak nyaman bagiku ketika masuk melalui selang kecil yang terhubung dengan lengan kiriku.


Mataku menangkap seseorang yang baru saja turun dari sepeda motornya. Ia melepas helm dan memakai kopyah hitamnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dari jauh, ia tampak mengenakan rok. Tetapi sedetik kemudian, aku tahu ia memakai sarung. Baju lengan panjangnya berwarna biru bergradasi hitam. Ia masih berdiri dan membenarkan penyangga motornya. 

Langkahnya kemudian mendekat pada rumahku. Lima meter darinya, aku akhirnya menyadari siapa ia. Bahagia membuncah, menyelinap masuk ke dalam rongga dadaku. 
Kedua tangannya menangkup, mulutnya mengucap salam. Aku tersenyum bahagia, menjawab salamnya. 
Aku memanggil ibuku. Ibu lantas membuatkan teh hangat untukku dan untuknya. Tak lupa mengisi ulang kue-kue di piring yang tinggal beberapa. 

Aku bercerita dan berkeluh padanya. Panjang sekali. Tawa dan sesenggukan silih berganti. Padahal aku tahu, ceritaku pasti itu itu saja. Hanya seputar rumah sakit dan segala yang tidak menyenangkan tentang itu. Aku yakin, setahun ini, cerita yang ia miliki jauh lebih banyak. Karena matanya terbuka lebar terhadap dunia. Kakinya bisa melangkah kemanapun ia mau. Raganya bisa bergerak dengan baik. Tapi aku tidak bisa berhenti berbicara. Ia turut tertawa. Mendengar dan menghargai apa pun yang aku ucapkan. 

Satu jam berlalu. 

Aku diam. 
Ia diam. 
Memandang gerimis kecil yang lebih mirip salju. Dingin menyeruak masuk ke dalam tulang. Kain lebar yang menutup kepalaku terkibas-kibas oleh angin. Perlahan sekali semesta berlaku padaku dan padanya. Ia memanggil namaku. Lalu kalimat demi kalimat keluar. Tentang dirinya. Selama satu tahun ini, selama aku tidak bisa membuka mata. 

Ia menunjukkan tangan kirinya dengan senyum yang amat lebar. Di sana melingkar sebuah benda bulat mengkilat lengkap dengan permata kecil di tengahnya. Aku memandang nanar dirinya dan benda itu bergantian. Sungging senyumku luntur seketika. Beberapa saat kemudian, aku mengerti. Bibirku terpaksa untuk tersenyum dan tertawa lebar. Senyum dan tawa yang kosong, sebenarnya. Ia mengatakan bahwa waktunya sebulan lagi. Tak cukup sampai di situ, ia memintaku untuk menjadi penerima tamu. Tawaku semakin nyaring. 

Aku mengangguk mantap. Ia berterimakasih dan berpamitan. Teh hangat buatan ibuku tidak menghangatkan diriku ternyata. Dingin semakin masuk ke seluruh tubuhku. Ia menghilang dengan motornya, melesat pulang. Semesta memang penuh kejutan. Aku, memeluk ibuku dengan bulir-bulir yang memaksa berjatuhan. Meminta segenap energi yang ibu punya. Aku bersumpah, tidak akan hancur karenanya.  

Tentang Penulis

Suci Wulandari. Lahir di Banyumas, 23 Mei 2000. Menyukai kucing dan bangunan-bangunan masa lampau. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan S-1 dengan mengambil jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Kesibukan lainnya antara lain tergabung dalam komunitas SKSP dan Rumah Kreatif Wadas Kelir.


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top