Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

ESAI SONG DA EUN

0

 


BUNYI MENGETUK PINTU OLEH ANGIN TOPAN

 

Oleh Song Da Eun

 

Pagi itu aku merasa sangat kesepian dan sendirian, dan lebih sedih atas hilangnya pena-pena itu daripada teman-temanku yang telah pergi.

Saat itu adalah musim panas, menjelang musim penghujan terlambat tahun 2020. Angin topan tiba-tiba datang dan jendela berderak seperti batuk. Adik dan Ibuku sudah tidur, ayahku sedang menonton televisi. Aku bersyukur bahwa keluargaku semuanya damai dan aman. Dibandingkan dengan ruangan yang tenang, pemandangan di luar jendela yang berangin cukup mengerikan. Ironisnya, pikiranku bergolak, tetapi aku justru sebaliknya, bersikap tenang.

Aku menulis sampai larut malam. Itu selalu terjadi ketika aku merasa terinspirasi, kesepian, atau sakit. Meditasi atau menulis lebih baik daripada melemparkan aku sendiri ke lingkungan yang merangsang atau mengulangi penghancuran sendiri.

Setelah mengalami kemerosotan dan luka yang mengerikan, aku memiliki kebiasaan untuk bersyukur atas kehidupanku. Aku dikhianati oleh orang lain yang aku percayai dalam kehidupanku, mengakhibatkan jiwa dan tubuhku terluka, dan aku menyesal sepanjang malam karena pilihanku salah, namun demikian keluargaku tetap berada di sisiku. aku tidak menyukai lagi stimulus yang datang dari luar, aku telah mengalami banyak kehilangan dan kekalahan, tetapi aku juga memiliki keyakinan pada diri sendiri yakni aku tetap akan hidup. Semua hal yang aku alami tak dapat ditertawakan, karena aku menganggapnya sebagai suatu proses perkembangan. Alih-alih berjuang untuk mengingatkan kembali masa lalu, aku beralih untuk belajar bahasa asing dan membaca buku.

Tak ada bedanya jika aku keluar dari rawa yang membatasi diriku. Sejak saat itu, aku tidak pernah mencapai prestasi atau menjadi putus asa. Hari demi hari berlalu dengan damai dan tenang.

Dalam suasana sedemikian itu, datangnya angin topan sebagai acara rutin tahunan. aku menulis sambil minum air segar. Angin hari itu adalah tamuku. Kadang-kadang aku menghirup air, ditambah lagi suara hujan dan angin serta suara rumah tangga yang bereaksi.

Aku terlalu lemah untuk diundang, terlalu lemah untuk berlari di luar, terlalu kesepian di bawah selimut untuk diisolasi dari dunia. Tapi, tak ada cara lain untuk menuntaskan hal serupa itu. Untung saja aku tidak melukai dirinya sendiri. aku membayangkan diriku yang duduk dalam cahaya redup. aku ingin merenungkan diri sendiri dan menyaksikan suasana tenteram keluargaku.

Waktu adalah air empedu yang jatuh perlahan-lahan. aku segera mengambil gelas yang kosong itu dan masuk ke dalam kamar agak lamban. Hari itu tidak ada buku yang beli baru, tidak sakit kepala, jadi aku punya banyak waktu sepanjang hari. aku menggenggam dan membuka tanganku sambil menatap hujan yang mengalir di jendela. Tidak ada yang tertangkap tangan.

Aku selalu ingin menjadi seseorang seperti halnya kehadiran angin topan yang teringat oleh orang lain meskipun datangnya hanya beberapa kali dalam setahun. Jika tidak, aku ingin menjadi seperti bumi yang lebih keras setelah diterpa angin topan. Namun, keinginan serupa itu juga harus dipenuhi dengan bahan bakar. aku menyadari kenyataan dan tidak menjadi lagi anak kecil yang optimis. Setelah menulis, aku masuk ke selimut.

Kepekaanku yang dapat merasakan sentuhan oleh bulu mataku dengan selimut menghambat tidur enak. Minum air hangat sebelum tidur pun tak ada gunanya bagiku. Dengan sengaja, aku melelahkan diri sendiri secara paksa tetapi malam-malam yang kuhabiskan dengan pikiran yang jernih dan hampa, tanpa memperdulikan tubuh yang lelah. Cara itu bukan jalan keluar. aku menjadi orang dewasa yang cukup sehat sehingga tidak perlu menggaruk kulit atau mengertakkan gigi lagi untuk melupakan rasa sakit di tubuh dan kadang-kadang aku merasa seperti anak kecil lagi ketika tidak bisa tidur.

Aku berbaring tepat dan berterima kasih kepada semua orang di sekitarku. Semoga beruntung untuk semua orang aku cintai yang telah menunjukkan kebaikan hatinya  ketika aku jatuh sakit. Namun, waktu berjalan lambat. aku melirik arlojiku dari waktu ke waktu, tapi itu bukan waktunya untuk berjalan cepat. aku berharap, bisa tidur dalam waktu tepat, tetapi bagi Aku, arti harapan itu identik dengan arti pengkhianat.

Aku memutuskan untuk menghafal sebuah puisi oleh Lǐ Qīngzhào[1]. Puisi adalah hiburan bagi orang yang mencintai penyair seperti halnya Doa Pujaan Ajaran Kristus bagi orang Kristen dan Kitab Suci bagi umat agama Budha. Ayat favorit aku dari puisi itu adalah bagian terakhir. Mengangkat tirai dan menerima angin barat, tetapi manusia lebih layu daripada bunga krisan.

Aku membutuhkan sebuah karya yang dimurnikan pada saat pikiranku dipenuhi oleh satu emosi yang berlebihan. Untungnya, karya seni itu menyelamatkanku. Lukisan dan musik juga cukup berarti tapi sastra lebih memberikan bantuan dan dukungan bagi kehidupanku. Apabila dingat dan dihafal, sastra lebih mudah daripada buka-tutup lacinya. Ketika pikiranku berdenyut seperti terkena stimulan, aku memanggil tulisan-tulisan yang cukup berarti. Tulisan itu menembus pikiranku dan mendarat di jiwaku. aku terus menghafal sampai aku menjadi samar-samar. Kemudian, bisikan yang berwarna putih itu mereda dan tiba-tiba aku mengangkat kepalanya.

Hujan mulai mereda. Saat matahari terbit, aku menerima fakta bahwa aku tidak bisa tidur cepat, akhirnya bangkit dari tempat tidur. Secara naluriah, aku tahu hujan ini adalah hujan deras terakhir dalam tahun ini. Langit tidak punya waktu untuk menggantikan pakaian dalam waktu singkat. aku mengangkat kakiku dan membuka tirai jendela sepenuhnya.

Aku membuka mataku dan mengamati akhir musim yang menghilang. Musim penghujan berikutnya akan datang dalam satu tahun kemudian. Kecantikan momen sudah terpancar.

Hujan memberi ruang untuk sinar matahari. Awan gelap di dalam diriku juga terasa kehilangan. Mungkin, hanya sebentar saja. Seperti matahari yang tidak selalu menguasai langit, aku tahu bahwa awan gelapku akan kembali pada suatu hari nanti. Namun demikian, tidak jadi masalah.

Pemandangan fajar yang favoritku berada di depan mataku dengan langit biru keabu-abuan, biru tua, biru kehijauan, hitam, dan putih, bertaburan dengan segenggam merah muda. Pada waktu subuh yang berulang setiap hari, terlihat akhir musim penghujan yang tidak dapat dilihat setiap kali.

Setelah beberapa saat kemudian, matahari muncul di atas kepalaku. Betul-betul fajar yang cerah. Dikeluarkan nafas yang bercampur dengan kagum dan penyesalan. Tapi aku tak menyesal. aku ingat keindahannya dan siap untuk bertahan selama beberapa bulan lamanya.

Ketika aku bangun dari demam tinggi pada masa kecil, waktu itu juga masih fajar. Ketika aku bangun dan menyadari aku tidak sakit lagi, kegembirannya memuncak. Langit menunjukkan sebuah gambar yang indah bagiku seperti ucapan selamat. Kesegaran itu tak ada bandingannya. Selama bertahun-tahun, aku menyimpan kenangan itu dengan hati-hati, dan ketika tiba-tiba teringat, aku mengeluarkannya dan menikmatinya. Menjadi tambahan satu lagi untuk koleksiku yang dapat  menggembirakan.

Jadi aku menulis kalimat yang baru untuk merayakan hari yang patut dirayakan. Mataku adalah kamera dan tanganku adalah perekam yang setia.

Harap mengingat selalu, manusia yang lemah dapat bertahan hidup tanpa menghadapi keberuntungan yang besar, Kita bisa menemukan kesadaran sebagai ajaran di sekitar kita, tidak usaha mencari keajaibnan di tempat jauh.

 

 

태풍이 문을 두드리는 소리

 

송다은

 

그 새벽엔 너무나 외롭고 고독해서, 나는 떠나간 친구보다 지금껏 잃어왔던 펜들의 부재를 더 슬퍼했다.

2020년 여름 때늦은 장마철이었다. 폭풍이 다가와 창문은 기침하듯 덜컹거렸다. 동생은 잠이 들었고 어머니도 자리에 드셨으며 아버지는 텔레비전을 시청하고 계셨다. 나는 가내가 모두 평안한 것에 감사했다. 실내가 평온한 것과는 반대로 비바람이 몰아치는 창밖은 살풍경했다. 아이러니하게도 내 마음은 수선거렸으나 나는 몸가짐을 차분히 하는 것과는 정반대였다.

나는 밤늦게 글을 썼다. 영감이 떠오르거나 외롭거나 아플 때는 늘 그랬다. 자극적인 환경에 나를 내던지거나 자기 파괴를 반복하는 것보단 명상이나 글쓰기가 더 나았다.

악몽 같은 슬럼프와 상처를 견뎌낸 후 나는 내 생활에 대해 감사하는 습관을 갖게 되었다. 살면서 믿었던 사람들로부터 배신당하고 몸도 다치고 어리석은 선택 때문에 밤새 후회했지만 그럴 때마다 내 곁에는 항상 가족이 있어주었다. 스트레스가 쌓여 외부로부터 오는 자극을 좋아하지 않게 되었고, 상실감과 패배감을 숱하게 겪었지만 그럼에도 살아가는 나 자신에 대한 믿음도 생겼다. 내가 겪은 그 모든 일들은 곱씹어 보면 결코 웃을 수는 없지만 일종의 성장통으로 여기기로 했다. 나는 과거를 되살려 허우적대는 대신 외국어 공부, 독서 등에 눈을 돌렸다.

나 자신을 옥죄는 늪에서 빠져나왔다고 해서 크게 달라지는 건 없었다. 그 후로도 나는 업적을 이루거나 미치거나 하진 않았다. 안온하다면 안온하고 단조롭다면 단조로운 나날이 흘러갔다.

그런 중에 매년 한국에 찾아오는 태풍이라는 연례행사를 치르게 되었다. 나는 물을 마셔가며 글을 썼다. 그날의 바람이 내 손님이었다. 가끔씩 물을 홀짝이는 소리, 찢어지는 비바람 소리, 그에 따라 집이 반응하는 소리가 어우러졌다.

사람을 믿어 초대하기엔 내가 너무 세파에 시달렸고 비바람에 온몸을 맡기며 바깥을 뛰어다니기엔 내가 너무 허약했으며 이불을 뒤집어쓰고 세상과 격리되기엔 내가 너무 외로웠다. 그러니 달리 어찌할 방도가 없었다. 자해를 하지 않는 것만 해도 다행이었다. 나는 흐린 불빛 속에 앉아 있는 나 자신을 상상했다. 가족이 웃고 떠드는 모습을 흐뭇하게 지켜보는 나 자신처럼 나를 관조하고 싶었다.

시간은 느리게 떨어지는 담즙이었다. 나는 금세 비어버린 잔을 치우고 미적거리며 방 안으로 들어갔다. 새로 산 서책도 없고 두통도 찾아오지 않은 날이어서 그날은 내내 시간이 넉넉했다. 나는 창문을 타고 흐르는 빗줄기를 바라보며 내 손을 쥐었다 폈다. 손에 잡히는 건 없었다.

나는 예전에 1년에 단 몇 차례 찾아오더라도 항상 사람들의 뇌리에 남는, 태풍 같은 존재감을 가진 사람이 되었으면 좋겠다는 생각을 했다. 그렇게 되지 못한다면 비바람에 시달린 뒤 오히려 더 단단해지는 대지를 닮으면 좋겠다고도. 하지만 소원도 연료가 공급되어야 간절해지는 법이었다. 나는 현실을 파악했고 더 이상 낙관적인 어린아이가 아니었다. 나는 작문을 다 마치고 이불 속으로 기어들어갔다.

속눈썹이 이불을 스치며 사각대는 감각까지 느끼는 내 예민함이 내 숙면을 방해했다. 잠들기 전의 따뜻한 물도 내겐 소용이 없었다. 일부러 몸을 지치게도 해보았지만 지친 몸과 별개로 또렷한 정신으로 보낸 밤들은 그것조차 좋은 방법이 아니라고 일러주었다. 더 이상 몸의 통증을 잊기 위해 맨살을 할퀴거나 이를 악무는 행위를 반복할 필요가 없을 만큼은 건강해진 성인이 되었는데도, 잠들지 못하면 이따금 어린아이로 돌아간 것만 같은 기분이 들었다.

나는 몸을 바로 한 뒤 나를 둘러싼 모든 사람들에게 감사했다. 내가 사랑하는, 내가 아플 때도 친절을 베풀어준 모든 사람들에게 행운이 있기를. 그럼에도 시간은 느리게 흘렀다. 수시로 시계를 살펴봤지만 그런다고 빨리 갈 시간이 아니었다. 나는 부디 늦지 않게 잠을 잘 수 있기를 소망했지만 내게 소망은 배신자와 동의어였다.

나는 머릿속으로 이청조1 작가의 <취화음>을 되뇌기로 결정했다. 크리스천에겐 주기도문이, 불교 신자에겐 불경이 그러하듯 시인을 사모하는 이에겐 시가 바로 위안이었다. 내가 특히 좋아하는 구절은 마지막 구였다. 주렴 걷고 서풍 맞는데 사람은 국화보다 더 야위어 있다.

나는 한 가지 감정에 사무칠 때가 아니면 생각이 너무 많아져 그럴 때마다 정제된 작품을 필요로 했다. 다행히도 예술 작품은 내 동아줄이었다. 그림도 좋고 음악도 좋았지만 특히 문학이 많은 도움이 되어 주었다. 문학은 한 번 외워두면 다시 끄집어내기가 서랍 여닫는 행위보다 쉬웠다. 내 정신이 각성제라도 맞은 듯 요동칠 때면 나는 좋은 글을 불렀다. 그러면 글은 내 정신을 뚫고 들어와 영혼에 안착했다. 나는 적당히 몽롱해질 때까지 시구를 외웠다. 그러다 보니 백색 소음이 가라앉아 문득 고개를 들었다.

비가 가라앉고 있었다. 동이 틀 무렵이었다. 나는 일찍 잠에 들지 못했다는 사실을 받아들이고 몸을 일으켰다. 본능적으로 올해의 마지막 폭우가 지나가고 있다는 걸 알 수 있었다. 하늘은 짧은 시간 내에 옷을 바꿔 입기에 낭비할 틈이 없었다. 나는 까치발을 들고 블라인드를 완전히 걷었다.

나는 눈을 뜨고 사라지는 계절의 마지막을 관찰했다. 다음 장마는 1년 뒤에나 올 터였다. 찰나의 아름다움이 손짓하고 있었다.

비가 햇살에게 자리를 내주었다. 내 안의 먹구름 역시 물러감을 느꼈다. 물론 잠시뿐이리라. 해가 언제나 하늘을 지배할 순 없듯이 내 먹구름은 언젠가 다시 돌아올 것을 알았다. 하지만 그래도 괜찮았다.

내가 가장 좋아하는 새벽의 풍경이 눈앞에 있었으니. 회청색, 남색, 감청색, 검은색, 흰색으로 뒤덮인 하늘에 한 줌의 주홍빛이 산산이 흩어졌다. 매일 반복되는

1.     Lǐ Qīngzhào. 중국 남송 시대의 여류 시인.

 

 

새벽에 매번 볼 수는 없는 장마의 끝자락이 걸려 있어서 다른 날보다 더 아련했다.

짧은 시간이 지나가매 태양이 고개를 들이밀었다. 완연한 아침이었다. 경탄과 아쉬움이 섞인 한숨이 흘러나왔다. 하지만 후회는 없었다. 나는 아름다움을 기억해서 몇 달은 버틸 준비가 되어 있었다.

예전에 내가 수 일을 고열로 앓다 일어났을 때도 새벽이었다. 자고 일어났는데 더 이상 아프지 않음을 깨달았을 때의 그 환희, 마치 축하해 주듯 아름다운 그림을 보여주었던 하늘, 그 상쾌함은 직접 겪어본 사람이 아니면 모를 것이다. 나는 몇 년 내내 그날의 기억을 소중히 보관하여 문득 생각날 때면 꺼내서 음미했다. 내 컬렉션에 하나가 더 추가된다는 것은 분명 경사였다.

그리하여 나는 기념할 만한 날을 기념하기 위하여 새로 글을 썼다. 내 눈이 곧 카메라고 내 손이 나의 충실한 기록자이다.

허약한 인간이 살아감에 있어 어떤 대단한 행운을 맞닥뜨리지 않고서도 충분히 살아갈 수 있다는 것을, 먼 곳에서 기적을 찾지 않고 주위에서 각성의 계기와 마음에서 우러나는 교훈을 발견할 수 있다는 걸 내가 언제까지나 기억하기를.

 

(Diterjemahkan oleh Kim, Young Soo)

 

Profil Penulis(작가 소개)


Song Da Eun, naik panggung dunia sastra lewat penerimaan Hadiah Sastrawan Baru Siwa Sanmun tahun 2022.

 

송다은, 등단 년도 2022. 등단지 《시와 산문》



[1] penyair wanita pada masa Dinasti Sung Selatan, China

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top