Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Lukisan Suci Wulandari

0


SUBUNG 

Karya ini dibuat di atas kanvas berukuran 20x20 cm. Secara tipikal, lukisan ini menggunakan teknik ekspresif. Selain menyukai seni, Suci Wulandari, perempuan kelahiran Banyumas ini turut aktif dalam dalam komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir dan Wadas Kelir Publisher. Sekalipun kini ia masih berproses menyelesaikan pendidikannya, dengan mengambil jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, tidak lantas membuat Suci kehilangan kemampuannya di bidang seni rupa, khususnya lukisan. Dibuktikan dengan lahirnya karya ini, ia dapat menunjukkan kepada kita keterlibatan perempuan pada ranah seni.

Karya ini bercerita tentang fenomena pertarungan anak sulung dan anak bungsu di Twitter. Suci seolah-olah mendudukkan anak sulung sebagai sandwich generation. Sekalipun, sebagaimana yang kita ketahui bahwa posisi sebagai anak sulung atau anak bungsu tidak menentukan secara pasti kesengsaraan dan penderitaan. Karena tentunya, baik anak sulung dan anak bungsu memiliki tekanannya masing-masing.

Sementara itu, jika lukisan ini dikaji melalui simbol semiotika Charles Sanders Peirce, maka dapat dilihat bahwa:



Visualisasi Simbol

Ikon

Indeks

Simbol



Penderitaan, kesengsaraan.

Kedewasaan

Tanggung jawab



Keceriaan, bahagia.

Tumbuh: usia.

Tanggung jawab

 

Dilihat dari keterlibatan emosi tersebut, karya ini menggambarkan dua wajah, di mana pada sisi kiri mencitrakan anak sulung dan pada sisi kanan mencitrakan anak bungsu. Suci Wulandari pada konsep ini, mendudukkan peran anak sulung ke arah “Penderitaan.” Digambarkan dengan mata dengan goresan warna putih. Selain itu, idiom warna bercorak merah dan warna warna kecoklatan yang lebih pekat, menunjukkan nilai penderitaan yang lebih, dibandingkan dengan kedudukan anak bungsu, yang digambarkan lebih ceria.

Simbol dari keterlibatan emosi ini ditekankan sekali lagi oleh Suci Wulandari pada gambaran senyum, pada wajah anak sulung dicitrakan dengan bibir yang memutih, pucat dan terkesan seolah-olah tidak tampak bahagia. Sedangkan bibir pada gambaran anak bungsu, digambarkan dengan lebih ikhlas dan ceria. Tetapi apakah benar, keikhlasan tersebut dikelola hanya melalui gambaran senyum pada sebuah lukisan?

Sampai di sini, perlu diperhatikan bahwa Suci Wulandari juga meletakkan gambaran bunga-bunga pada sisi wajah anak sulung, yang mana dapat dimaknai bahwa terdapat unsur ketenangan, kedewasaan, dan keindahan. Singkatnya, Suci Wulandari masih meletakkan keseimbangan di dalam konteks “Penderitaan” peran anak sulung dan anak bungsu. Mengapa Suci Wulandari membuat gambaran bunga di dalam karya tersebut? ini yang perlu kita perhatikan.

Selain dari pada itu, tanggung jawab yang diterima oleh anak sulung dan anak bungsu menjadi bekerja lebih efisien, ketika di antara keduanya tidak saling memperseterukan peran. Pada akhirnya, lukisan ini dapat dijadikan sebagai gambaran emosi, sebagai suatu kritik sosial terhadap peran dan tanggung jawab yang dipegang masing-masing usia, untuk tumbuh dan menjadi manusia.

(Efen Nurfiana)


Tentang Pelukis


Suci Wulandari. Ia lahir di Banyumas, tepatnya pada 23 Mei 2000. Menyukai kucing dan bangunan-bangunan masa lampau. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan S-1 dengan mengambil jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Kesibukan lainnya antara lain tergabung dalam komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir, Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban, dan Wadas Kelir Publisher.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top