Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi D. Zawawi Imron

0


MOMENTUM HENING

 

Di dusun yang sunyi ini

Aku harus belajar mengeja sepi

Mengaji sunyi

Agar darahku

Mendesirkan api

 

Menuju titik

Lubang abadi

 

Itu gerbang

Bukan lengang kerontang

 

Karena sunyi

Memikul ribuan ton

Yang ditebarkan pagi

 

Kudengar lolong anjing

Yang melecut bulan

Di rembang malam

Melecut searak awan

Di atas malam

Bukit menggigil merindukan sunyi

 

Saat sunyi bersilang puisi

Serintis seruling menyayat langit

Melahirkan hening hakiki

Hening bulan bukan yang dulu bukan yang nanti

Yang tak akan terulang lagi


 

UNTUK PAK SYAFI’I MAARIF

 

Di jantung danau kusimpan hikmah

Matahari yang berkaca pada permukaan air

Menerjemahkan nafas yang terengah

Bahwa tak halal rakyat merangkak

Saat songket mengerling semarak

Saat senyum-senyum merekah di seling suara mengakak

 

Yang tercecer, dan berceceran

Di tingkat lembah menurun

Bukan jejak babi dan jejak anjing

Tapi huruf-huruf buku sejarah

Yang berlarian dan berserakan

Karena bosan disimpan

Dalam tengik perpustakaan

 

Puisi memang harus merasa tersesat

Tapi di jalan yang benar

Agar akar-akar tetap menjalar

Serta menetapkan keyakinan

Bahwa salah dan benar tak boleh ditukar

 

Anak-anak berlarian

Berlarian di tepi danau

Mengejar layang-layang kakeknya yang putus

Dan lenyap ditelan awan

Padahal layang-layang itu sudah lama hilang

Akibat perang Padri

Tapi kenapa barusan muncul

Apa harus bertanya pada sejarah?

 

Sejarah paling akan menjawab

Bahwa daun berlembar-lembar di tepi danau

Dan daun bertiras-tiras di bukit-bukit

Mengisyaratkan hadirnya orang-orang berotot kawat

Yang merasa benar di jalan sesat

 

Kalau orang itu nanti datang

Kita jemput, kita sambut

Kita mandikan mereka di jantung danau

Agar mereka percaya kepada kalau

Kepada isyarat-isyarat yang samar

Bukan pada kepastian yang melahirkan pedang


 

HATI YANG BASAH

 

Satu saat orang perlu belajar pada gemuruh,

Detak jantung dan tetes peluh

Yang tak bisa dihitung tak bisa diseduh

Dan matahari, yang sudah lama tak muncul

Akan menganggap gunung-gunung tak lagi bisu

 

Orang-orang bersujud

Takbir susul menyusul

Syukur terwujud

Tahlil memantul-mantul

 

Inilah hidup yang dihargai, diresapi

Oleh orang yang merasa diberi hidup, dihayati

Meskipun ia telah mati

Langkah dan sujud tak akan basi

 

Tengoklah Hatta, tengoklah Hamka

Lihatlah Natsir, perhatikan Syahrir

Di antara Hamka dan Syahrir

Banyak sekali daftar mengalir

Yang tak bisa dihapus banjir

Nama-nama yang telah menaksir takbir

Dengan tinta dan penjara

 

Satu saat orang perlu mengeja sejarah


Mengaji detak jantung dan tetes darah

Kalau sejarah sejenis batu asah

Yang tajam adalah hati yang basah


 


DALAM LIPUTAN KABUT

 

Di Aie Angek, rumah berkabut

Tapi bukan berkabung

Setengah bulan berturut-turut

Puisi hadir tak tertampung

Siapa tahu aku hanya pancuran

Bagi air menderu, bagi ruh alam yang terkembang

Bagi hari-hari dan sejarah, bergegas silau tapi harus dicatat meski penat

Harus ditulis, meski dingin sangat mengiris

 

Dingin yang sembilu, dingin yang mendesakkan kelu

Sesekali menderapkan harap

Seperti pemantik api yang kerling gemerlap

Mengharamkan aku tiarap

 

Ke lembah air mengalir

Menyapa angin mendesir

Berdeburan jantung penyair

 

Setetes embun di ujung daun

Di sini terasa airmata ibu

Yang siap menjadi tinta menulis pantun

Manisnya amboi, pahitlah madu


 

KAKEK BILANG

 

waktu terlipat, berlipat-lipat

tiba-tiba aku merasa tua

dengan buku-buku, jejak-jejak senyum

yang tidak banyak dan tidak utuh

belum bercak-bercak yang tak terbasuh

 

kakek bilang, mau menjadi orang pandai

kita bisa berguru

bisa membaca dan bersahabat dengan waktu

sampai keringat menjelma jalan

menjelma jembatan

 

tapi menjadi orang yang mujur

yang kita perlu tak cuma guru

tak cuma buku

di balik senyum dan waktu ada hakikat senyummu

bukan bom tapi berdentum

ada yang seperti tidak teratur

tapi bertuju, dan menunjam

mencari yang tak terhitung tetapi Satu

 

TENTANG PENULIS



D. Zawawi Imron, lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 1946. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di media lokal, nasional, dan internasional. Buku puisinya (1) Semerbak Mayang (1977), (2) Madura, Akulah Lautmu (1978), (3) Bulan Tertusuk Lalang (1982), (4) Nenekmoyangku Airmata (1985), (5) Celurit Emas (1986), (6) Derap-derap Tasbih (1993), (7) Berlayar di Pamor Badik (1994), (8) Laut-Mu Tak Habis Gelombang (1996), (9) Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), (10) Madura, Akulah Darahmu (1999), (11) Kujilat Manis Empedu (2003), (12) Cinta Ladang Sajadah (2003), (13) Refrein di Sudut Dam (2003), (14) Kelenjar Laut (2007), dan beberapa lainnya. Buku kumpulan esai sosial keagamaannya Unjuk Rasa kepada Allah (1999), Gumam-gumam dari Dusun (2000). D. Zawawi Imron pernah juara pertama menulis puisi di AN-teve (1995), dan menjadi pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002). Sastrawan-budayawan ini memenangkan Hadiah Mastera 2010 dari Kerajaan Malaysia dan The SEA Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand. Dari khalayak pembaca luas, Kiai Haji D. Zawawi Imron  mendapat gelar “Penyair Celurit Emas”, dan tetap tinggal di desa kelahirannya, di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Pada Minggu, 9 Desember 2018, Presiden RI Joko Widodo memberikan penghargaan kepada dua budayawan dan dua sastrawan pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, satu di antaranya ialah D. Zawawi Imron, atas kontribusinya sebagai penyair dan pendakwah yang terus menyiarkan kebajikan sastra dan religi ke seluuruh Indonesia.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top