Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi H.M. Nasruddin Anshoriy Ch.

0

 



RAMADLANKU


Ramadlanku kini membiru

Puasa yang kujalani

Kelaparan yang kutakuti

Ternyata tak sia-sia


Menapaki jembatan puasa

Bertemulah iman dan takwa

Surga kesederhanaan hidup

Kumasuki dengan kunci rahmat 

dan maghfirahNya


Puncak puasaku

Adalah tersambungnya urat malu

Malu menepuk dada

Malu untuk pamer harta dan 

flexing di linimasa

Malu tengok kanan-kiri 

yang hidupnya miskin dan renta

Malu pada tetangga yang lebih keras 

bekerja tanpa fitnah dan purbasangka


Puasaku menyambung urat malu

Menghadirkan kecerahan dan 

berbuat baik bagi sesama


Gus Nas Jogja, 18 April 2023

 

EMANSIPASI, APA KABARMU KARTINI?


Ini bukan soal sanggul, Ibu

Tapi tentang nalar yang tumpul


Ini bukan tentang emansipasi

Tapi soal nurani yang mati


Jejak Jepara tak cuma debur 

ombak dan nyiur di pantai

Tapi ada hati yang terbengkalai


Prasasti demi prasasti kugali dari 

tulang-belulang leluhurku

Dari masa lalu bertabur debu

Kutemukan jejak Kalingga

Dan Ratu Shima di sini


Emansipasi apalagi yang engkau cari

Perempuan digdaya dengan tahta tertinggi 

Terlahir dan lantang di sini

Abad ke-6 sudah bersaksi


Perempuan Hebat yang dari 

darahnya mengucur para Wangsa dan para Rakai

Tak butuh narasi untuk emansipasi


Di haribaan hati rakyat

Telah terukir nama Ratu Kalinyamat

Perempuan terhormat

Perempuan yang tak lekang oleh waktu

Tak tercecer di kolong sejarah


Emansipasi yang bukan cuma 

narsis di samping jabatan suami

Tapi emansipasi yang melahirkan kehormatan

Emansipasi yang memperjuangkan 

marwah harga diri


Namamu, Ibu 

Tak cuma kutulis di angin sakal

Tak hanya kulukis di langit biru

Tapi mengucap di darah

Dalam daging puisiku


Engkaulah emansipasi tiada henti

Tak cuma melahirkan sejarah

Tapi merawat luka di pelosok semesta


Bacalah jejak darah Malahayati

Ibu segala pejuang dari Serambi Makkah

Ia tegak melawan penjajah

Sembari merawat inong-inong balee 

yang dirajah luka oleh penjajah


Belajarlah pada Siti Manggopoh dan Rohana Kudus

Perempuan Minangkabau yang tahan banting

Bundo Kanduang yang tetap tegar dalam tempaan


Bukankah emansipasi itu menginspirasi?

Melek literasi dan menggalang aksi 

Adalah mandat utama mengharumkan Ibu Pertiwi


Betapa malunya para Ibu

Yang hanya bisa berlenggang-lenggok di ketiak lelaki

Flexing di medsos tiada henti


Apa kabarmu, Kartini?

Jahiliyyah literasi

Sudah kau singkirkan dengan surat-suratmu

Mendung hitam di kelopak mata kaum wanita

Sudah kau tebas dengan kata-kata


Sesudah itu, dimanakah engkau kini Ibu Kartini?


Emansipasi adalah narasi purba 

yang terpahat dalam prasasti dan 

tertulis pada manuskrip tua

Ia lahir dari rahim Ibu Hawa 


Pada abjad-abjad purbakala

Emansipasi telah mewakafkan rindunya


Jadilah perempuan pemimpin 

dalam ilmu dan laku

Perempuan petarung yang setara di medan laga

Perempuan lembut yang memanah 

rembulan dengan tatapan matanya

Perempuan penggembala yang 

menggerakkan domba-domba 

kotor lalu menjadikannya putih dan harum namanya

Seharum Kartini menerima pahit takdirnya


Jadilah perempuan cerdas berkalung marwah

Berdiri setara sebagai nakhoda

Membelah ombak dan menjinakkan samudera 

Berjalan setara dalam tegak-lurus pembebasan bangsa

Menjadi Ibu Bangsa 


Betapa malunya Ibu Pertiwi

Jika dari rahim Ibu-ibu Bangsa ini

Lahir para koruptor

Lahir kaum diktator

Yang merampok dan menghinakan bangsa sendiri

Menjadikan martabat manusia 

sebagai alas kaki di bawah megah karpet merahnya 


Gus Nas Jogja, 21 April 2023

 

MUNAJAT DI PENGHUJUNG RAMADLAN


Ramadlan yang kutunggu

Dan kusambut kehadirannya penuh sukacita

Kini segera berlalu


Bulan madu bersamamu hanya sekedipan mata

Derap zikirku

Getar cinta di kalbu

Kenikmatan dan keindahan penuh syahdu

Melambaikan tangan padaku


Sepucuk rahmat

Mekar bersemi menguntai rakaat

Mekar maghfirah

Harum mewangi dalam tadarusku


Telah Kauturunkan cahayaMu

Berlapis-lapis sinar terang

Dalam titik-silau ayat-ayat Ilahi

Kupetik sebagai rambu

Pedoman hidup kemanusiaanku 


Membersamaimu dalam sebulan 

berpeluk cinta

KemesraanMu mengakar di relung jiwa

Memesrai ziarahku di sebelas 

bulan berikutnya


Terimalah munajatku

Munajat Asma

Munajat Sifat

Munajat Dzat

Lebur dalam labirin rindu


Takbir yang terus bergema

Kian menjeritkan tangisku

Kemenangan yang tampak di depan

Makin mengharu-biru atas kekalahanku


Tuhanku

Kembalikan Ramadlan Karim itu padaku

Selama-lamanya


Gus Nas Jogja, 19 April 2023

 

ELEGI IDUL FITRI


Gempita takbir yang tengah berpesta 

di langit biru itu ternyata bukan milikku


Sesudah sebulan dilaparkan 

hingga di sudut-sudut perut 

dan menghatamkan kitab-kitab 

dahaga sampai paripurna, ternyata 

nafsuku tetap gagah meronta


Sebulan penuh bicara dari hati ke hati apa itu puasa 

tapi ternyata aku hanyalah ember bocor 

yang menumpahkan syahwat di pelosok dunia


Kemenangan itu meninggalkanku 

sendiri dalam penjara 11 bulan berikutnya 

bersama ribuan ekor kera 

berikut ketamakan dan keserakahannya


Jika pantas kukata, laparku hanya sandiwara 

dan dahagaku lebih layak dinamakan drama, 

sebab kemaruk dan kerakusanku pada 

lenggang-lenggok maksiat 

kata-kata telah bersimpul pada takabur belaka


Niatku ingin mematikan nafsu pada pangkalnya 

Memancung syahwat hingga akarnya

Tapi lidahku terus terlena 

menyantap lezat daging saudara sendiri 

dengan tak henti-henti mengunyah fitnah 

dan ghibah di lapak linimasa


Jempol tanganku tak juga menyadari dosa-dosanya 

dengan terus menyebarkan desis ular berbisa 

dan gonggongan celeng penuh jumawa


Masih adakah sisa-sisa waktu 

di puncak puasa ini untukku 

bermawas diri dengan meledakkan takbir di dada 

hingga pecah segala pongah 

hingga runtuh seluruh keruh 

hingga memancar cahaya iman yang murni 

lalu memeluk takwa sejati sekuat-kuatnya?


Tuhanku

Padamkan neraka yang terus menyala 

dalam pikiran kosong dan angan-anganku ini 

agar gemuk nafsuku dan buncit syahwat di seputar perutku 

mati terbakar dan terkubur 

dalam Tanah Takbirku yang terus menyala


Gus Nas Jogja, 29 Ramadlan 1444 Hijrah


 

SELAMAT JALAN, RAMADLAN


Akhirnya kau pun pergi saat aku sedang di rindu-rindunya. 

Pamit di saat bedug maghrib menggema


Diiringi jerit takbir di sudut-sudut kota, 

segala penjuru merayakan kemenangan tiba. 

Tapi tidak dengan sunyi kalbuku!


Tangisku pecah karena 

Ramadlanku dipanggil pulang oleh Sang Maha Puasa, 

kembali kepada Sang Maha Waktu 

tempat segala restu disemayamkan


Nyeri dan sunyi dalam diriku 

tak sanggup menyembunyikan cintaMu, 

malam-malam penuh kemesraan bersama tarawih 

dan tadarus kini hanya menyisakan 

lambaian rindu yang kian merapuh


Sebulan penuh membersamaimu 

dalam gemerlap kalbu kini usai sudah, 

saat Tuhan menyapihku 

di sepanjang 11 bulan bertabur jelaga 

dan badai menderu mengepung langkahku


Selamat jalan, Ramadlan

Terima kasih untuk sebulan penuh kemesraan ini, 

untuk ketulusanmu menggendong renta imanku 

menyeberangi samudera puasa 

agar tiba di haribaan takwa


Kalungkan kemenangan pada leherku, 

berjanjilah bahwa perpisahan ini hanyalah cara indah 

Sang Maha Puasa menabung rindu 

di sepanjang nafasku


Gus Nas Jogja, 20 April 2023

 

KEMENANGAN


Malam terakhir di bulan suci

Langit dan cakrawala dirundung duka

Bumi dan laut berlinang air mata


Kutatap lumat mata kalbuku

Meratap dalam riuh doa

Tikar tafakurku bersimbah basah 

oleh embun bening dari mata air surga


Kemenangan ini bukan milikku ternyata

Takbirku parau tercekat di tenggorokan saja


Langit biru bertakbir

Laut biru bertakbir

Aku bertanya pada bumi

Pada gunung dan lembah

Tapi bibirku getir memuntahkan jelaga 


Bertukar pikir dari hati ke hati

Kusambut Hari Raya ini dengan 

ratap tangis menjadi-jadi

Kupeluk Idul Fitri ini 

dengan gemetar doa di relung hati


Tuhanku

Pantaskah kurayakan kemenangan hari ini?

Bulan Suci yang kujalani penuh basa-basi

Idul Fitri yang kutemui dalam fakir 

dan patah hati


Allahu Akbar

Berderai takbir ini untuk keagunganMu


Allahu Akbar

Menjerit takbir ini bagi KesucianMu


Allahu Akbar

Pecah sudah takbir ini karena 

cintaku padaMu


Walillahil Hamd 


Gus Nas Jogja, 21 April 2023

 

Riwayat Penyair

H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.


Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.


Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.






Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top