Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Irman Hermawan

0



Diterimanya selembar surat tanpa alamat, tanpa kontak untuk dihubungi, namun hanya kode etik yang tak dimengerti.

“ke mana harus kubawa selembar surat ini?” tanyanya pada diri sendiri. Lalu dia pergi berkeliling mencari jalan untuk menyelesaikan kode-kode itu.

Hari demi hari dilaluinya, di pohon beringin dia berteduh. Dari satu rumah Tuhan ke rumah Tuhan lainnya ia bersinggah, Dari fajar hingga senja kembali menjemput matahari dia terus berkeliling mencari penerimanya. tak lelah ia terus berkelana, lembah, hutan dilaluinya. kicau burung juga masih tak berubah, dan jalan yang dilewatinya terus berganti.

Dia bertanya pada polisi, tentara, dan bangunan-bangunan tua yang dilaluinya di jalan-jalan besar, tak ada satu jawaban pasti, semuanya seakan menggelengkan kepala tanpa kata. dia juga bertanya pada tuhan, dewa-dewi yang semua orang percayai dapat memberikan jalan, namun semuanya diam tak melemparkan balasan, Tapi dia tak henti berjalan, terus mencari kebenaran.

Entah siapa penerima sebenarnya?

Orang dan jalan yang berbeda terus dilalui sehingga dia harus bertanya lagi pada anak kecil di simpang jalan yang sedang menjual koran, dan pada badut-badut di lampu merah semua jawaban yang didapat sama hanya sekedar kepala digelengkan tanpa jawab.

Tepat pada hari Sabtu, dalam hutan ia mendengar suara tanpa orang, dia terus mencari asal dari suara itu, ia berpikir: mungkin di sana ada jalan.

Dia terus mencari asal suara itu, ketika ia sudah sampai pada asal suara itu, ia kaget melihat hutan yang dilaluinya tak ada suara burung, tak ada bisikan angin, semua seakan diam juga tak mau kenal siapa yang datang kali ini. Dia pun terus menyapa pohon-pohon, dan burung yang bertengger di rantingnya. Semua yang ada dia ajak bicara untuk mencetuskan dinding tirani pada kode-kode yang tertera di surat itu, semua membisu. Suara cipratan air samar memanggilnya dia menghampirinya dan dengan segera meninggalkan hutan itu. lalu dia pergi ke suara cipratan air dan meminta pada sungai untuk memberikan air matanya untuk dibawa pergi berjalan mencari alamat yang tak jelas itu.

***

Dia mulai berjalan kembali dengan dua botol air mata sungai tanpa menghiraukan tubuhnya yang penting surat itu sampai kepada penerimanya. Dia menumpang kapal di ujung jalan pemisah laut dan daratan hingga sampai ke negeri asing yang tak pernah dikenal dari dulu. Mencari dan mencari adalah sebuah pekerjaannya setiap hari. Suara-suara asing di dasar pendengarannya tempat dia mempertanyakan kode yang tertera di surat itu, tapi semua tak peduli.

Ketika kebosanan mulai tumbuh di pikirannya dia memaksa untuk terus mencari, sebagaimana pencari emas tak ingin pulang sebelum mendapatkan apa yang diinginkan, tapi toh itu benar. Semua surat telah tersampaikan, hanya tinggal satu surat dengan kode etik yang sulit dimengerti. Namun dia tak berhenti mencarinya.

Ketika lelah menepi di tubuhnya, dia singgah di mana pun. Serigala, harimau dan hewan lainnya tak asing dengan dirinya, semua mengenalnya, mungkin jika ada orang bertanya tentang dirinya semua hewan, hutan, dan jalanan akan menjelaskan dengan rinci tanpa cela, bahkan bisa benar semuanya, dia kenal baik dengan alam berjalan tanpa takut tersasar, hanya membawa tempat surat dan dua botol airmata sungai.

Dan jika telah usai lelahnya dia berjalan kembali seakan mencari ujung dunia, tapi sejatinya ia hanya ingin menyampaikan selembar surat yang tak pernah dibuka olehnya, yang dia tahu hanya kode-kode tertera tanpa bertanya untuk siapa surat itu.

Angin terus memaksanya untuk membuka surat itu agar dia tahu ke mana harus diantarkan surat itu tapi dia tak ingin mengikuti angin dia hanya dapat perintah untuk menyampaikan bukan membaca isinya. Dia pergi menjauhi angin agar dia tak membuka surat itu. Ketika hujan mengguyurnya dia buka payung untuk melindungi surat itu. Setelah tubuhnya telah basah kuyup dengan keringatnya kini hujan memandikan agar bau peluhnya hilang. ketika hujan sudah reda dia kembali memutari matahari dan mengejar rembulan tanpa harus berpikir panjang untuk siapa semuanya, hingga ia sampai di ujung jalan. Tak ada jalan lagi hanya dinding pemisah dia pun memutar kembali dan mencari jalan baru.

***

Semua yang melihatnya tertawa seakan dia orang gila dan bodoh, tapi toh dia hanya ingin menyampaikan selembar surat entah untuk siapa yang dituju. Harapan dia sudah dekat dengan penerimanya memberikan surat itu dengan senyum yang lebar dan pipi lesungnya ditampakkan, dia terus menerus menyelamatkan surat itu dari kejaran anak-anak kecil, sehingga dia merasa lelah dan menepi di bawah pohon siwalan dekat pantai dengan tamparan ombak pada tembok perigi.

Saat dia tak ada lagi tenaga untuk memulai perjalanan baru dia tiduran dan merenung setiap langkahnya hingga dia sendiri lupa jalan pulang. Dari mana? dan ke mana tujuannya? Tapi hatinya terus memaksa lagi untuk berdiri mencari jalan, hingga tersampaikan surat itu pada penerimanya.

Dia sejenak bernafas lega, membuat api unggun dan mencari ikan untuk dimakan.

“Baru terasa perutku lapar,”

Dan ketika sudah makan dia kembali mengigau.

“tenagaku telah kembali, waktunya mencari jalan baru”

Berjalan lagi mencari jalan baru untuk memenuhi sarat pekerjaannya.

“surat ini harus sampai”

Dia bersih keras untuk mencapainya tanpa tahu arah tujuannya. Empat mata angin semua telah dilalui satu persatu hanya tinggal satu yang belum dilewati jalannya sempit hanya satu arah untuk menuju puncak jalan itu. setelah itu mungkin tak ada lagi jalan yang harus ditempuh. Dia pun berjalan menuju jalan itu walau berdesakan, saling dorong dia tak peduli dan tetap lewat. Bau keringat dan bau matahari bercampur di sana, tapi tak peduli, dalam pikirannya surat itu harus sampai tidak peduli apa pun risikonya.

Ketika dia telah sampai di pertengahan jalan, dia berjalan agak ke samping membuat jalan baru di hutan-hutan untuk menembus jalan paling depan. Tapi dia tersesat di sana seakan kunang-kunang membawa lampu ke matanya. dia mula-mula mencari sungai untuk mencuci mukanya untuk mengembalikan penglihatannya, berjalan mencari sungai menggunakan pendengarannya walau matanya agak buram.

Ketika sampai di sungai dia segera minum dan mencuci mukanya sehingga kunang-kunang itu hilang dari matanya, dan dia berhenti di bawah pohon besar, rindang, dan sejuk. kicau burung kali ini berbeda dari sebelumnya. Dia terus terpikir pada penerima surat itu.

“mungkin dia menunggu surat ini”

Sehingga tertidur dengan pulas  saat bangun, matahari, burung, dan angin telah pulang ke rumahnya hanya dia yang seakan tak ada rumah, dan dia berpikir lagi sejenak.

“Mungkin sebaiknya surat ini aku buka, bila sudah matahari bermain bersama awan di atas kepala nanti. Tapi bagaimana nanti kalau ditanya kenapa suratnya terbuka? Saya akan jawab saja untuk mengetahui alamatnya,”

Bila matahari mulai muncul dan bermain dengan awan dan siul burung bernyanyi dengan angin, dia pun membuka surat itu dan dibaca. dia pun kaget saat membaca surat itu sebab tujuan surat itu untuk dirinya sendiri, dia pun menyesali sebab tak peduli dengan perkataan angin waktu di hutan kemarin.

Setelah tahu siapa sebenarnya penerima surat itu, dia pun menjatuhkan tubuhnya ke atas tanah dan rumput-rumput di tubuhnya tertawa seakan meledeknya.

“Dungu!” kata rumput sembari memijat punggungnya.


Bogor, Januari 2023


Riwayat Penulis

Irman Hermawan, nama pena Sableng. Kelahiran Legung Timur, 15 Oktober 2003. Tinggal, dan besar di kampung kasur pasir, Legung Timur, Batang-Batang, Sumenep. Alumnus MA Lughatul Islamiyah. Puisinya tersiar di beberapa media antara lain; Tempo, Pos Bali, Majalah Elepsis, Bhirawa, dll

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top