Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Arif Hidayat

0


  Cinta yang Hidup

Oleh: Arif Hidayat


Hei. Kau, yang tertunduk dan seperti tak bertenaga. Lihatlah diriku yang tampan ini sebagai seorang yang gemar menulis dan mementaskan naskah drama. Lihatlah lebih dekat, dengan teliti dan cermat. Bangkitlah dari lamunan. Niscaya, kau akan tahu bahwa ketampanan tidak hanya tampak dari tubuh, tapi pada cara menyatakan cinta dengan kekuatan kata-kata yang senantiasa tumbuh dalam ingatanmu. Bila saja, masih tak percaya dan ragu, maka simak saja caraku menjadikan cinta itu terus hidup, dan menjadi bagian dari hidupmu.

Sederhana saja. Katakanlah begitu untuk cinta yang ada di dalam tulisanku, kemudian hidup dan menyeretku untuk masuk ke dalam tulisanku sendiri. Mulanya aku tidak percaya. Tulisan yang kuangankan menjadi sebuah kota yang sangat indah. Ada danau yang terbentang biru. Awan terdampar dengan rapi di atas pegunungan. Lengkung tepian danau seperti lukisan. Rumah-rumah yang berjejer seperti hendak berbaris. Dan, orang-orang yang selalu berjalan dengan tergesa-gesa untuk memburu pagi. Aku tiba-tiba berada di sana: di dalam ceritaku sendiri, yang kau tentu tidak akan percaya.  

Pemandangan yang cukup mengagumkan dan membuat puas. Hingga tanpa terasa aku berjalan menyusuri tepian sungai. Air yang bersih memantulkan bayangan matahari. Dari kejauhan tampak kastil yang menjulang menuju langit. Seseorang tampak kecil sekali berada di jendela. Mungkin sedang berdoa. Mungkin pula sedang melihat aku yang juga memandangnya. Aku mengabaikan kastil dan seorang di dalamnya, dengan lebih memilih menyusuri pohon-pohon yang merontokkan daun ke jalanan. Sesekali angin menerbangkan dengan sayap-sayap yang perkasa.

***

Bersabarlah sebentar untuk cerita cinta yang aku janjikan. Baru permulaan, sebelum akhirnya aku berada di tengah pasar melihat orang-orang ramai berlarian. Orang-orang di pinggir jalan saling menanyakan dengan rasa penasaran. Aku juga bertanya, tapi di dalam hati, dan hatiku tidak menjawab. Kepastian akan kudapatkan dengan ikut berlarian pula menggunjungi arah orang-orang berkumpul. Dari sela-sela tubuh yang berhimpitan, kulihat dua pedang diacungkan. Saling bergerak. Saling berkilat ketika matahari memancarkan cahaya ke arah baja yang berkilau itu. Orang-orang saling mendukung. Berteriak. Saling bertaruh untuk sebuah kemenangan. Aku sendiri penasaran dengan apa yang memicu mereka begitu ngotot untuk saling mengayunkan pedang dan berusaha untuk menebas.

Sampai sekumpulan orang dengan seragam besi, dengan senjata tombak datang dipimpin oleh orang berkuda, masih kulihat belum ada setetes darah pun yang menetes. Yang menetes adalah keringat lantaran matahari yang terlalu memberi mereka semangat untuk melompat dan menghindar. Orang-orang bubar. Kedua pengayun pedang entah ke mana. Berbaur dengan orang-orang. Aku terdorong ke tepian untuk merapat di tembok sambil sesekali melirik lelaki berkuda yang marah-marah karena ada yang membuat onar. Dia mengancam tidak akan memaafkan kalau ada yang mengulangi. Tapi, konon, menurut orang dengan pakaian dan topi besar di sampingku, bahwa laki-laki itu sudah mengatakan hal yang sama berkali-kali. Juga dengan ekspresi kemarahan yang sama. Dengan diakhiri meludah ke jalan. Sebelum akhirnya memacu kuda dan menghilang di tikungan.

Letih juga berdiri dan berjalan sedari tadi. Aku ingin duduk dan menulis. Tapi aku tidak punya uang untuk berada di warung makan, mungkin setara café karena pengunjung lebih banyak minum sambil bercakap-cakap. Di sana, hanya ada orang-orang bersepatu tinggi dengan kulit putih agak semu merah, dan rambut agak ikal yang sering ke luar masuk secara bergantian. Aku tidak berani dan lebih memilih ke taman dengan duduk di bangku kosong, dengan air gemercik sedikit surut untuk membasuh wajah. Daun-daun berserakan di tepian. Di situ, aku berbaring sambil memejamkan mata berharap dapat bermimpi indah. Ranting-ranting pohon menjaga mataku sedikit teduh dari pancaran matahari. Lega.

***

Sayup-sayup kudengar suara seorang perempuan dan laki-laki saling bercakap. Cara bicara mereka pelan. Tapi angin yang bergerak ke arahku memudahkan untuk mendengar.

“Apa ayahmu terluka? Ayahku tidak apa-apa.”

“Ayahku juga tidak apa-apa. Hanya sedikit memar di dada terkena sepatu ayahmu.“

“Baguslah kalau begitu. Ayahku hanya sedikit terpincang-pincang. Waktu melompat tinggi, dia mendarat tidak seimbang.”

Mendengar percakapan itu, aku bangun untuk ikut memandang mereka yang berada dalam cahaya lampu. Ada warna biru dan warna terang. Bagian belakang berwarna hitam pekat. Mereka saling bercakap. Duduk di bangku panjang, yang mirip dengan di taman tempat tadi aku merebahkan tubuh. Ada banyak orang berkumpul dalam ruangan ini. Tak jelas siapa saja karena lampu hanya diarahkan pada mereka yang berada di dalam panggung. Aku ikut mendengarkan dan melihat, juga mengamati mereka yang keluar masuk panggung saat lampu sedikit dipadamkan. Agak gelap. Sampai pada lampu merah menyala untuk adegan perkelahian, yang begitu mirip dengan yang kusaksikan baru saja.

Perkelahian kali ini aneh. Suara besi yang berbenturan terdengar tidak dari senjata yang mereka ayunkan, tapi dari balik sisi tirai hitam. Perkelahian yang singkat dengan seorang tampak perlahan-lahan pura-pura mati. Sampai pada seorang laki-laki yang tampan dan perempuan yang cukup cantik berusaha menghumbuskan pisau ke perut berkali-kali ketika ayah masing-masing mengajak pulang. Darah mengalir dari perut ke atas pangggung. Darah yang terlalu bening untuk darah, tapi membuat penonton terdiam. Aku juga terbelalak. Semua lampu mati. Orang-orang saling bertepuk tangan. Sampai seorang narator keluar menyampaikan maaf dan terimakasih yang sebanyak-banyaknya dengan lampu seluruh ruangan dinyalakan. Laki-laki dan perempuan yang tadi mengucurkan darah melambai. Orang yang sudah mati juga hidup lagi. Mereka saling memeluk, bahkan dengan yang tadi berkelahi. Mereka saling tersenyum untuk memaafkan. Satu per satu orang bangkit dari tempat duduk, memberikan ucapan selamat, melangkah dengan gembira sekaligus tersedu. Saling bercakap. Hingga ruangan sepi. Tinggal aku sendiri, untuk menulis dengan hatiku.

***

Dalam menulis aku seperti melihat ada patung di taman dengan seorang laki-laki dan perempuan seperti hendak berciuman. Patung itu begitu mirip dirimu yang berada di dalam jendela yang sangat kecil berada di dalam sebuah hotel yang tinggi. Kau ingin turun dengan tali, tapi terlalu tinggi. Pintu terkunci dari luar. Kau tampak mondar-mandir di jendela memandang langit yang penuh dengan kebebasan. Burung-burung yang selalu bisa mengepakkan sayap.

“Duh, di zaman modern begini, masih ada perjodohan.” Begitu katamu pada senja yang jauh. Senja yang cengeng dan hanya sementara.

Ayah ibumu datang dengan senyum dan persiapan jutaan kata untuk menjadikanmu berkenan berdandan mengenakan gaun. Sementara ingatanmu masih tertuju pada ciuman aktivis baik hati, yang pernah menolongmu dari penembakan semasa kuliah. Laki-laki yang membuatmu merasa nyaman dengan kerelaan dan kesediaan diri untuk mati menjadi tameng peluru saat ikut berdemonstrasi tentang korupsi di instansi ayahmu bekerja. Jalan berkobar. Puing dan bebatuan berserakan. Tak ada laju kendaraan, selain tetes darah yang masih berbekas dalam tangis. Dia mati melindungimu dengan senyum dan berusaha memberikan ciuman terakhir. Tapi kau tak bisa datang ke pemakaman karena ayahmu marah-marah instansinya didemo oleh anaknya sendiri.

Di hadapanmu kini, adalah ada laki-laki yang selalu berusaha tersenyum berada di dalam pamflet-pamflet jalan raya saat kampanye. Dia masih muda, dan sedikit lebih tua darimu, yang selalu berjalan tegak. Kulit bersih. Rambut hitam mengkilat mirip warna sepatunya yang tidak pernah tersentuh debu. Dan, kau tidak ingin membuat malu pada ayahmu yang telah menyebarkan puluhan ribu undangan, juga beberapa wartawan televisi yang datang untuk meliput langsung.

Kau juga tidak memilih ikut mati bersama kekasihmu yang terkena peluru. Lebih memilih hidup dengan cobaan yang besar, yang kelak akan melahirkan anak dari orang yang menjadikanmu terus hidup tersebut. Kau akan berusaha untuk mendidik ke dalam garis yang benar, sambil berharap gen ketulusan akan dapat membebabaskanmu dari keterpaksaan. Dalam begitu, kau tetap punya harapan bahwa cintamu adalah cinta yang hidup melalui anak. Cinta yang harus kurevisi ulang dalam tulisanku, ketika kau hendak tampil dalam televisi.

***

Kau mungkin akan mengatakan sebagai cinta yang klasik. Zaman dulu. Mitos. Dongeng. Atau sejenisnya. Namun, begitulah, nyatanya. Aku menulisnya dalam bahasa yang sederhana, dalam kematian yang abadi. Cinta itu terus tumbuh di dalam kata-kata dan ingatan. Juga tetap tumbuh di dalam dirimu dengan masih adanya perbedaan dan perselisihan, yang diwariskan dari leluhur. Konflik masa lalu yang semulanya rentan,  sebenarnya dapat diselesaikan oleh cinta. Yang mana antara pihakmu dan pihak lain saling memaafkan, saling menerima, saling percaya. Begitulah cinta berkata seharusnya. Aku yakin, mereka tidak ingin melihatmu seperti tokoh-tokoh yang pernah aku tuliskan dengan akhir yang tragis dan memilukan hingga membuat langit berkabung. Maka, jangan lagi tertunduk seperti tak bertenaga untuk cinta. 

Purwokerto-Purbalingga, 29 Nopember 2011


Tentang Penulis


ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga pada 7 Januari 1988 dari pasangan Kodri Zaenal Arifin dan Rusmiyati. Ia besar di Desa Banjarsari RT 04/RW 07 Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, Suara Karya, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Lampung Post, Republika, Joglosemar, Suara Pembaruan, Majalah Horison, Majalah Mayara, Majalah Basis, Majalah Merpsy, dan Rakyat Sultra. Kini ia tinggal di Desa Karangnanas Rt 06/Rw 02, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.Email: arif19hidayat88@gmail.com dengan No.HP:  085726564738.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top