Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Galuh Kresno

0



 Potongan Dialog Sebelum Sunyi Kembali

 

1

“Bu, apakah semua orang

bakal mengenakan gamis di surga?

Atau,

Busana ngetrend era kita?”

 

“lalu, benarkah darah yang mengaliri pembuluh

adalah anggur tumpah di meja makan Tuhan?”

 

“dan,

mengapa rahim yang melahirkan Adam,

menyukmakan Hawa ke sebatang rangka

tak gamblang dikisahkan para pendeta?”

 

di bumi ini kita sedang memintal benang

untuk menjahit sebuah busana penutup bening jiwa

takkan pernah kita lepas,

seperti kulit melekat di daging,

meski keriput

kulit hilang ketika tulang lebur,

daging hilang ikatan bersama waktu

yang habis kau kunyah.

Yang tumpah di meja makan Tuhan

adalah air mata malaikat semerah darah

semanis anggur,

menangisi kepergian leluhur

mengiringi Adam dan Hawa

membabat belantara bumi,

membuat gubuk

tempat merenungi belantara batin.

Kemudian,

iblis mengantongi percikan kesedihan mereka

butir-butir permata tanigs

dibagikan ke tiap bayi dilahirkan

rahim yang tak dikisahkan para pendeta,

karena membuahkan hasrat,

namun rengek tangis bayi

tetap dianggap daya kesucian,

sebab membawa air mata malaikat.

Bayi-bayi itu

membuka seikat kantong rasa

ketika mereka seusiamu,

mempertanyakan jawaban-jawaban

yang gagal kau ungkap hakikat.

 

“Jika begitu, bolehkah aku bertelanjang saja?

agar menjadi manusia paling jujur,

luka mengungkap luka,

duka takkan kusembunyikan dalam tawa.

Karena kejujuran, ibu.

Aku bimbang dengan kewarasan

yang diagungkan orang-orang saleh.”

 

Jika kau ingin meresam sahih,

bertelanjang akan menjebakmu—

tergelincir ke muslihat cahaya

mengaburkan gatra

meleburkan warta,

ayat-ayat sayup-sayup

di telingamu mengundang setan

meniup mantra pertikaian

serupa yang terjadi pada orang saleh. 

 

Ketika kau bertanya seperti ini,

seolah sedang memetik kewarasan

di ranting pikiran

tumbuh di tempurung akalmu,

padahal kita

sedang mengalami suasana paling gila

serupa kala Adam mengunyah khuldi.

 

2

Kami dilahirkan pertikaian

ditangisi pemuja doa di pintu surga,

menjelma pengutuk dosa,

Iblis disalahkan

sebab disangka menghasut Hawa.

Badut terkutuk ditimang pangku asmara,

dikecup bibir murka,

di antara bayi yang lahir

Iblis menyelinapkan amebanya

mendampingi jiwa di batin,

ia merasuki kelamin.

Kambing hitam itu melarikan diri

setelah kutukan dikultuskan padanya,

menjadi peternak!

menggembalakan penunggang hasrat

tinggal di gedung-gedung batu batin.

Tak lain dan bukan main

tubuh yang didebatnya bersama malaikat

adalah domba yang digembalakan,

kecuali yang punya nyali

mempertemukan diri dengan si badut,

mengenalnya dan mendengar cerita dari si badut;

yang dikutuk menjadi kambing hitam adalah yang bertanya.

 

“Firdaus sahabatku,

apakah kau menyetujui pendeta itu?”

 

Dikampungku

pendeta macam itu

sudah berkalang kenangan,

kehilangan pita suara

agar tak bicara,

sebab orang kampungku yakin,

mereka merusak angan 

menistakan pikiran suci

yang menyinggul sari pati khuldi

di kening kemenangan harapan mereka.

Tapi tak masalah bagiku,

Tuhan

tidak akan kehilang tanah lempung

untuk menjatuhkan cahaya

ke tanah bumi.

 

“kau sudah seperti pendeta itu saja.

Lalu pendeta macam apa

ahli pintu surga di kampungmu?

Sehingga kau pilih kabur

dari kampung halaman rahim

kelahiranmu.”

 

Mereka,

membawa tongkat musim,

ketika orang kampungku

merayakan upacara suci

mereka datang memanggil hantu-hantu musim;

musim pertikaian,

musim kematian,

musim malapetaka.

Aku bukannya takut hantu,

aku hanya sangsi

menyaksikan mereka merebut musim

dari tangan pemiliknya.

 

“seperti kau tahu siapa pemilik musim?”

 

Kau berkata begitu

karena penasaran bukan?

Coba saja kau jawab pertanyaanku; siapa pemilik nafasmu?

 

“apa hubungannya dengan nafasku, Fir?”

 

Sebab kita,

pendeta itu,

pendeta di kampungku,

orang-orang dikampungku

dan anasir yang melahap zat pembakar

akan mati tanpa bernafas.

 

“apakah iblis bernafas, Fir?”

 

Ya, sepanjang nafas kita.

 

 

Dayeuhluhur, Agustus 2020


 

 

Paribasan Hikayat Semar

 

1’Ingsun

Tangan meramu hangat jejamuan,

nyaris sehangat tubuhmu

melingkar di sekujur raga;

persemayaman sepotong nafas,

 

kala mata langit menggeliat,

membangunkan tidur embun, 

menyelinap sejuk yang mengintip jagad

memangku reruntuhan kabut peradaban.

 

Kau merebah wajah di kabut kehilangan pandangan—

aku menyusuri langkahmu di antara jejatuhan putih yang pekat,

mengikuti gelak tawa dari rekahan bibir,

merabai basah tetes tangis dari lebam kelopak kesedihan.

 

Kutemui sepotong tubuh,

hitam berselimut kabut,

kutemui rupamu dalam pekatnya.

 

Aku ada di tanah

bersatu dengan tubuh angin

menunduklah ibaratkan bambu

ditiup hembusan menuju barat

baru kan kau temui aku

 

2’Serat Kanda

Tiada api yang kau sulut di antara bara ,

kala rupa membawa tulah tentang arang.

Pertumpahan darah pertumpahan sia-sia,

justru kau pilih tumpahkan pengasih

merajutnya melalui nafas yang lindap.

 

Mengingatkan kisah sudamala,

mengguratan perkakas pahat di prasasti

yang selalu bisu.

Tiada bertemu penghabisan,

waktu mengajakmu menjelma semesta—

jagad alit, jagad agung.

 

3’Pramayoga

Merasa terjebakkah jiwa

yang dijelmakan wujud keruh?

Menjebakmu dalam sebuah jasad,

yang enggan memberi rupa.

 

Kau dilahirkan keagungan

persilang langit-tanah,

memperselisihkan amsal rupa,

ihwal tahta yang gagal menggenggam

kewenangan,

kemenangan.

 

Kesadaranmu lebih mengetahui,

bahwa ketiadaan memberimu cinta mistik,

 

Suyanruri tempatmu memecah tubuh,

dari setetes darah wungkuhan,

kau jelmakan sebuah nama.

 

4’Purwakanda

Tiga pasang tangan,

mengikat siasat

perebutan nama,

menanam benih yang cemarkan batin,

sebab lupa menambahkan pupuk,

hasilkan buah senista hama.

 

Kau jatuh dari pohon,

yang ihwal untuk dipanjat,

sebab tubuhmu persik yang bulat,

sedangkan helaian tangkai—

Kau jadikan awan

tempat menyimpan angan,

teduhkan hawa marcapada;

rimba para penikmat persik.

Hutang pati dibayar pati!

Hutang wirang dibayar wirang!

 

5’Purwacarita

Rekatatama mengantarkanmu berjumpa jagad,

melalui jasad telur kekesalan,

yang dihantamkan tangan Tunggal,

ke tanah manumanasa,

menjelmalah tiga rangka.

 

Gunung bersemayam di lambungmu,

membesarkan ruh membayarkan hutang,

kau mengasuh getih Manumanasa.

 

 

Tegal, 2018


 

 

Kepada Afrodit

 

Seekor merpati memetik kembang sari

melati mekar di taman seorang nabi

antara lelayu kelopak Anemone;

bertahta di ceruk matamu,

akarnya merambat sekujur kejelitaan

tampak sekujur labirin retina

fatamorgana dunia dan nirwana

kala kuselundupkan selapis retina

ke dinding lembah tempatmu menyepikan bumi.

 

Sejauh manapun meliarkan pandangan

dan menelisik riak asmara,

aku tetap gagal mencapai ujung lautan

ujung gelepar ombak berwarna api

yang menyembunyikan lanskap surgawi.

 

Akulah nahkoda yang hilang

diselingkung badai garang

terhempaske puncak purbakala

ketika bumi mengeja wahyu

dengan isyarat jangkung gunung

dalam segara, kucari cara menggenggam lagi

setangkai melati di sayap merpati.

 

Kuresapi aroma melati

bersimpuh

menyumpahiindera

menyipuh kaji ayat bumi.

“jika kau sukar kurengkuh,

aku yakin kau tetap suci

terhindar nista yang kurenangi di telaga nis.”

 

 

Dayeuhluhur, 2020


 

 

Solilokui Fragmen Kudus

 

Sekam membara di tungku rasa

sekujur perut, noda dibalut usus,

 

Tulang-tulang tualang terkulai

menyentuh lantai-lantai dasar,

 

dasar sebuah palung, tak tercapai.

Pangkal benang-benang merah;

tali kekang pangkal tangan

tali pasung di bawah dengkul

sebelum parade metamorfosa,

 

Siapa bisa kendali bentuk api?

 

Sekam terpendam menyala nyatakan api

di dapur sekujur perut

menghadapi kursi takdir

tiba tiap pagi

dipikul pundak jibril,

“Segera mandi

dan buang mimpi buruk semalam!”

 

sunyi mengasingkan keramaian

dari kehidupan kota ke kedipan mata

lalu sayap kupu-kupu membelah daging

seperti punggung ulat, ulat terbang

bertubuh baru, musabab

kumasak bumi angan.

 

Setelah terbang melintang ke barat

benang-benang merah dipintal,

kian panjang, kian ragam helaian.

 

 

April 2021


 

Fragmen Kelana

 

Sampai kemarin, peristiwa-peristiwa

menyatukan perca-perca

membusanai ingatan

kain-kain batik nenek moyang koyak

di atas ombak disibak Pieter en Karel

hanyut lebur terumbu

karang aji-aji para ­mpu karam.

di palung pulau silsilah punah.

 

Oh betapa malang kehidupan!

Mengombang-ambingkan kapal berlayar,

yang tersisa dari jarahan

selembar lukisan raja

terkubur sedalam candi-candi leluhur

meski hutan di babat, kota menyat.

 

Ke barat!

Aku akan mencari kompor matahari

membakar habis rumput di hutan pulau paling timur.

Bangkai-bangkai tinggal tulang

tergeletak dihadapan rumah-rumah masa kecil,

di lapang bermain

di batin nenek moyang, anak semata wayang

lupa kandang pulang

tertukar pualam kasih sayang

memuja bugang

hilang tandang

kalah tanding.

 

O... bumi bergerak, angin berderak,

awan berarakan lebih cepat

dari tangan pelukis, kematian berlingsatan

potongan siluet wajah sebagai topeng-topeng

tergantung di dinding istana.

Jika dengan sapu kepala bisa pecah,

mengapa aku harus memanggul pedang yang begitu asing di telapak tangan?

Seperti kuas, warna kepalaku ditangkap kanvas!

 

O.. bumi, kemanakah suara-suara dari roh itu kini?

hutan sepi memberi kesempatan bagi gulma

tumbuh di sela tumpukan tulang nenek moyang.

Betapapun hujan begitu lebat telah turun

dari badan mendung yang baru muncul,

kabut telah membawanya lenyap

bumi malah asing!

 

Dayeuhluhur, Juli 2021


 

 

Menjala Bumi

 

Setelah badai berpusar seluar kapal

sebadan samudera, nelayan siuman

mengambil kesadaran sebelumnya bersembunyi.

Ia merasa sebagai Nuh dan kapallegenda,

namun lambung kapal sekosong lambungnya

ia pulang ke pulau kehidupan.

Pada jarak yang biasa ia tempuh,

tiada dermaga, tiada pulau tampak

terlihat hanya gontai ombak,

namun suara-suara kehidupan dikampungnya

masih terdengar sayup.

Oh, kampung halaman terendam ombak,

anak semata wayang,

istri tersayang,

kawan yang selalu malang,

musuh yang garang

dan sebadan kampung seluruh pulau

berada di bawah ombak,

Aku benar-benar telah menjadi Nuh!

Tidak, apakah ini atlantis?

Bukan, Neptunus sebagai kancil suka mencuri?

Sekali tolakan lompatan

ia tembusi badan ombak yang gagah,

dan segera memegang bahu kapal

menghirup nafas sedalam paru-paru.

Suara kehidupan berderu, rindu kepada kampung kehidupan.

Inikah kematian?

Langit mulai terbelah mengantarkan sebuah wajah dilingkar bianglala,

Aku Jibril,

Nelayan melemparkan kegelisahan selebar jala,

Byur! jala tercebur

ikan-ikan ditangkapi,

 dan ia lihat lagi kampung kehidupan dalam ombak,

sayup terdengar Seribu penduduk telah mati!

 

Jibril! Kau menyuruhku menjadi Izrail?

Lalu siapa bakal mencabut nyawaku?

 

Nelayan di bilik kemudi,

memutar kompas menjatuhkan jangkar,

sekali lagi ia ceburkan badan

menuju deras ombak yang masih garang,

menghadap langit yang cahayanya menembusi laut.

Suatu pagi si nelayan menangkap kesadaran, berlari girang

Ini rumah kesayanganku, pulang! Ya aku pulang!

Di beranda, sebuah jangkar tertancap di pagar,

rantai tambatan tersambung ke langit,

tiada kapal, tiada ombak,

namun awan itu tetap sama seperti usai badai.

Di beranda, yang terdengar hanya nada-nada sunyi,

kampung mati, tiada orang barang sebatang hidungnya.

Nelayan merasakan tubuh sebagai Adam,

Yang manakah surga yang kurindukan,

Seamuk badai, ia panjati tambatan jangkar ke arah langit.

Aku bakal pulang lagi.

 

Dayeuhluhur, Juli 2021


 

 

Aletaku

 

Berdiri di luar batas kota,

melesatkan kerinduan seperti anak panah ke seberang jurang.

namun yang tampak kelepak sayap merpati berbulu perak

melayang ke hadapan jendela-jendela angkuh penghuni kehidupan

 

Aletaku dari atap kerajaan ini

terlihat atap-atap rumah semakin tinggi meninggikan diri,

dan para penghuni tidur sebengkung kucing

di ranjang lantai paling atas.

 

Semenjak kepergian telapak penyemai munajat

rimba yang purba membangunkan hantu-hantu

dari tanahnya, menakuti kepala terlelap

dalam ketaksadarannya.

 

Jalan menyibak dinding gedung hingga ke kerajaan

jalan pulang buatku menjumpaimu

dengan tangan selebar pelukan

seluas pandangan segala kurengkuh.

 

Namun bukan kau!

 

 

Dayeuhluhur, Juli 2021


 

 

Untuk Suara Perempuan

 

Wahai perempuan yang bulu matanya

menyelimuti pelangi, dari surgakah kau

mewarisi segala warna itu? Ketika aku

menyelundupkan mataku ke matamu, aku

sebagai layang-layang yang kabur

ke tingginya mega.

 

Wahai perempuan yang dalam batinmu

lima puluh ribu bahasa

tak dapat

membuat lelaki mengerti, sepertiku.

Mengapa pikiran begitu batu

Mematung sangka, membayangkan

wajahmu sebagai lanskap bumi

dari puncak pendakian. Kerinduan

melekat sebagai hitam dalam

secangkir robusta tegukan terakhir.

 

Wahai perempuan yang suaranya

bergema di dinding tympani setiap anasir,

ketika kau berjalan

ke tengah rundukan padi,

tikus-tikus melupakan lapar bernjingkrak

mengikutimu, ribuan pipit

melupakan sayapnya untuk berjalan

menghadap punggungmu

sebagai lembah—dalamnya tersembunyi

ragam kabut.

 

Begitu musykil satu laki-laki mampu

menerjemahkan lima puluh bahasa batinmu.

Ketika dikatakan yang terjadi

adalah perkelahian dan perebutan.

 

 

Dayeuhluhur, Juli 2021


 

Raflesia

 

Parasit yang terasing

menempa samadi di rimbun dahan,

menempuh babak sakratul

tersisihkan manja dahan;

inang berdaun nestapa.

 

Raflesia melekat

sejak serat menganyam corak,

sejak kayu menjelma batang

melepaskan dahaga.

Helai mimpi paling pucuk

di puncak lelap tualang

menapaki jejak leluhur

di tanah bumi— 

rapuh hutan semakin berhala

menadah daun-daun doa yang gugur;

lelayu daun harapan.

 

Mahkota mekar disangka nista,

lantaran aroma bangkai

adalah petaka untuk hutan,

hutan

petaka untuk kota,

kota

petaka untuk surga.

 

(di surga tiada berhala mewujud)

 

“hamba dan pendeta

mengais pahala,

menyaring petaka

di akar-akar inang.”

 

 “bumiku semestaku,

aku untuk bumi,

bumi untukku

maka bumi adalah aku!”

 

Musim luruh menyirap inang

takluk sulur rambat berhala

di ceruk maya peradaban.

 

 

Purwokerto, 1 Agustus 2020




 

Tentang Penulis


Galuh Kresno, lahir di Cilacap, 23 September 1997. Anggota Komunitas Penyair Institute (KPI), Serayu Institute Purwokerto, Kalatidha Institute. Dia menyelesaikan studinya di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Saat ini dia mengabdi di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Dayeuhluhur. Beberapa karyanya berupa puisi dan esai pernah dimuat di Radar Banyumas, Harian Rakyat Sultra, Magelang Ekspres, Minggu Pagi, Harian Fajar Makassar, Suara Merdeka, Biem.co, jejakimaji.com, indonesianmikrofon.blogspot.com dan Sahabat Keluarga. Dia berpartisipasi dalam antologi puisi Kelahiran Kedua, Arun, Kepada Toean Dekker, dan lain-lain. No. HP 082135691352.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top