Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Ardy Suryantoko

0


Hujan di Lembah Hyang

 

hujan di lembah hyang

punden nyepi di pucuk gunung

seperti menahan pekik

dicekik kabut-kabut

yang tak pernah larut

 

hujan di lembah hyang

angin menari dari candi ke candi

menapaki anak-anak tangga yang basah

kematian sembunyi di karingan cungkup

sementara hujan bukan saksi

bahwa hidup telah kembali

 

hujan di lembah hyang

seperti anak panah liar

lepas dari busur kayangan

membidik sudut-sudut kota kolodete

 

 

januari, 2015

 


 

Hari Paling Sepi

 

hari ketika yang paling kukenal namaku

angin berlalu menjatuhkan wangi

lalu kutatap lokomotif dari rel yang jauh

dari peron kucari wajah-wajah

di antaranya

 

memburuadalah hitungan daun jatuh dari musim

menelan dan mengantar pergi ke negeri asing

 

kulitku telah bersisik

kutilik hari-hari terasa begitu panjang

tanpa tanggal dan nama hari

di stasiun, kereta melenguh seru

mengangkut malam

ke kotamu

 

pada hari ketika paling kukenal namaku

malam menjauh dari peron tempatku menunggu

di tempat yang jadi asing

musim memecah segala

 

 

februari, 2015


 

 

Yang Sedang Sembahyang

 

 

kamboja yang tersemat di telingamu

bisakah mendengar debar

seperti wangi yang kutangkap

pada dinding-dinding rumah

 

sebelum berpisahkitasaling berdekap

seperti wangi dupa menabur doa

 

aku terus mendoa seorang diri

mengembara di seberang

di teduh senyummuaku terkapar

mengutuhkan jiwa

 

mereka tak henti merapal masa

hingga pelosok bumi

tak tercapai wangi rambutmu.

 

 

februari, 2015


 

Meneguk Pagi di Lembah Hyang

 

meneguk pagi di lembah hyang

seperti membaca alur serayu

dari jalan dari jembatan

menempuh sisa malam

yang membawa tangis

hingga temu pekaringan

 

kuteguk air dari perasan rindu

lepas dahaga dari kering sepi

lalu orang-orang lalu lalang

menawarkan punggung dan rambut

kepada angin yang basah

pergi tak perduli

 

ruh-ruh tak terbatas

menyanyikan tembang kinanthi

menyaksikan pagi

dari sela-sela jarimu

 

meneguk pagi di lembah hyang

kuteguk wangi pada butir-butir hujan

 

 

maret, 2015


 

Tuhan Telah Kembali

 

pagi telah merintis dari timur matamu

melalui bukit di alismu

menuruni ngarai di tengkorak mata kirimu

padahal aku yang selalu menanti

cahaya di balik wajahmu

 

jiwa kita masih terbelunggu

kini apa lagi yang mesti ditanyakan

sedang rambutmu telah memanjang

menyebrang hingga hari-hari

terasa begitu panjang

 

bukankah kau yang menawariku

masuk pada lubang mulutmu

kau yang memaksaku

menciumi tanah di lehermu

 

hari panjangmerangkum cerita

sejak puncak gunung keemasan

bayangnya menutupi kota

yang masih tertidur lelap

 

embun membeku

pada bunga abadi

iamasih tak ingin diusik

seperti kita, yang sepagi ini

mulai menanam rumpun sri

pada lumpur di sawah

pada hati yang kita tabur doa

dan cinta untuk anak cucu

 

kebahagiaan tak akan luntur

selama hujan kita doakan hadir

meyirami ladang dan sawah

yang kita semai pada tubuh kita

tuhan akan hidup di sini

 

 

maret, 2015


 

Hujan Sudah Tiba di Senja

 

hujan sudah tiba di senja

melambungkan nafas yang lembab

burung terbang sendiri

menepis hujan dan merantau jarak

di telaga

 

dingin tak mampu

merogoh sarang-sarang dewa

daun karika basah

embun membeku

 

hujan sudah tiba di senja

di unden-unden candi

di tanah-tanah belerang

menggambar wajah yang melahirkanmu

 

di atas air telaga

pohon telah doyong

membuat getar-getar lingkaran

kemudian lenyap

saat air mencium sebagian tubuh

 

hujan telah tiba di senja

usia tenggelam di telaga

punggungmu tak terlihat

pada lipatan langit

 

 

maret, 2015


 

Anak-anak Hujan

: wonosobo

 

“kita pernah jatuh cinta pada tanah yang sama

dengan angin kita kembali, melalui jalan yang berbeda”

 

di bawah gumpal awan, musim bergetar

membuka pagi dari lereng-lereng gunung

kabut masih pekat, pucuk-pucuk bunga abadi

gemetar di rayap sisa dingin badai

 

bayang gunung tergelincir

menutupi jalan dan lampu kota yang mulai padam

sisa gerimis mulai terlepas dari pupus daun teh

 

isyarat semburat dari remang cahaya

pada bukit-bukit yang patah

sementara jalan masih didekap sunyi

tak ada bising kendaraan lalu lalang

hanya sejarah yang masih bergairah

menghabiskan persetubuhan

dengan anak-anak hujan

 

dari arah kota suara waktu melenguh

merogoh dingin pada dinding-dinding rumah

mengembalikan segala bentuk gimbal

pada undakan waktu dengan ruwatan

 

angin tak mengarak kabar

tak ada yang terdengar dari kidung rumah ibadah

tapi hidung mulai resah, menelusur wangi tanah

dari leburan rindu yang tercacah

 

sekalipun mata menatap nyala

tuhan mencipta sendi-sendi ruh

dari cinta yang sama

 

sisirlah sepanjang tanah moyang

yang dibangun oleh setumpuk kenangan

melalui jalan serta keyakinan

bahwa tuhan ada

 

dengan peristiwa hujan

angin telah mempertemukan

menemukan batas yang tak bisa

dilampaui masing-masing

 

 

april, 2015


 

 

Bila Hari Itu Tiba

 

bila hari itu tiba

angin akan membentangkan kabut

gunung dieng menyambut carut

sungai serayu meluap tinggi

mengangkut anak dari hulu ibu

 

bila hari itu tiba

sebelum angin binasa

burung terbang mengitari senja

memukul waktu

pertanda tulang akan berhamburan

 

bila waktu itu tiba

angin akan berhembus

dari puncak gunung

mutiara hujan terakhir

pecah pada daun-daun

maka sukma gemetar

ketika kemarau pawai

melintasi bukit-bukit

 

bila hari itu tiba

angin menerbangkan ani-ani

 

 

mei, 2015


 

 

Jika Terlahir Sebagai Angin

 

jika terlahir sebagai angin

di lembah yang dingin

tiup rindu dari sukma

hantarkan pada pengembara

sebelum hujan hapus tawa

yang tertinggal di desa

 

jika terlahir sebagai angin

gugurkan rindu yang diaduk waktu

kubur pada tumpukan daun di kebun

rumahmu

 

jika terlahir sebagai angin

buka pintu rumah jiwa

sebelum tuhan pergi

dari mimpi dan pelukmu

 

jika terlahir sebagai angin

kubawa hati sepanjang musim

dan luruh menjadi abu

jika tubuhku menjadi angin

 

 

mei, 2015


 

 

Anak-anak Angin

: bocah gimbal

 

isyarat jatuh dari pucuk pinus

bersama buah-buah kering

dingin digiring menuju perburuan

 

tanah-tanah tercacah

sementara jiwa semayam

dipendam pupuk kandang

 

seperti lebat kentang

berjejer di barisan bukit hyang

angin asyik berlari

habiskan waktu

terbangkan bau seledri

bumbui senja sepi

 

bocah-bocah tak henti

bermain kitiran bambu

berlari susuri tanah terjal

memintal jarak

 

tawa jatuh di ceruk bukit

bocah larung

dibawa anak-anak angin

 

 

juni, 2015


 


                     Tentang Penyair

 

 


Ardy Suryantoko, kelahiranWonosobo, 19 Desember 1992. Penyair ini beralamat di Binangun 002/004, Gunungtawang, Kec. Selomerto, Kab. Wonosobo. Saat ini dia menjadi pendidik di SMA Takhassus AL-Qur’an Wonosobo, dan bergiat di Komunitas Sastra JejakImaji. Pos-el: ardysuryantoko@gmail.com.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top