Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Resensi Muhammad Ghufron

0

 



Judul : Pengukur Bobot Dosa

Penulis : Indah Darmastuti

Penerbit : Marjin Kiri

Cetak : Pertama, Oktober 2020

Tebal : 97 Halaman

ISBN : 978-602-0788-05-0

 

Mengulik yang Silam, Mengumpulkan yang Terkelam

Oleh : Muhammad Ghufron*

Pak Sukur, sang penggali kubur, selalu kewalahan menggali kubur saat berjibun dosa karib dengan sang mayat semasih hidup. Seolah tanah tak begitu bersahabat dengan cangkul Pak Sukur. Diam-diam tanah menampik mayat itu.  Selama itu terjadi, Pak Sukur selalu meminta kepada para pelayat dan warga sekitar untuk mengingat-ingat kebaikan yang pernah dilakukan sang mayat. Hanya seperti itulah tanah mudah digali, dan proses pemakaman lancar.

Suatu ketika bertepatan dengan malam Sabtu Suro, Darman meninggal. Seorang yang baik hati, sangat ringan tangan, suka membantu mereka yang kerepotan dan dikenal dengan keramahannya oleh warga sekitar. “Dia sangat baik hati”. Ucap Pak Sukur.  Dan bumi seolah turut membantunya menyiapkan liang pemakaman menuju alam abadi. Pak Sukur pun dengan mudah menggali tanah bak semudah menyendok nasi dari panci.

Setiap kali ada warga yang meninggal, Pak Sukur selalu terdepan menggali kubur. Kinerjanya bergantung pada  besar kecilnya dosa jenazah. Bertahun kemudian Pak Sukur dihadapkan pada sebuah kegetiran hidup. Kakaknya Darman meninggal. Ini bukan persoalan yang mudah baginya. Ia dihantui bayang-bayang kelam masa silam. Sebuah bayang-bayang perihal persoalan hidup dirinya dengan kakaknya Darman.

Kakaknya Darman yang dikenal berwatak angkuh dan sombong itu semasa hidupnya pernah kedapatan meniduri istrinya pak Sukur. Istri Pak Sukur selalu dibuat bahagia olehnya. Menatap hari-harinya dengan penuh kemantapan. Pak Sukur berusaha menutupi aib kakaknya Darman. Meski kesumat tak berkesudahan dalam atmanya, tak  ada niatan sama sekali untuk balas dendam pada kakaknya Darman.

Sebaliknya, kejadian itulah yang membuat cangkul Pak Sukur mudah menggali kubur untuk kakaknya Darman. Karena kebaikan kakaknya Darman yang hanya bisa diingat Pak Sukur sewaktu menggali kubur yaitu membahagiakan  istrinya. “Dia pernah membahagiakan istriku”. Jawab Pak Sukur dengan berat hati saat ditagih para warga sekitar untuk mengingat-ingat kebaikan kakaknya Darman.

Pertanyaan pun menggelayut di pikiran warga. Siapa yang akan menggali kubur untuk istrinya. Tersebab istrinya telah memikul dosa yang teramat besar, menyakiti hati Pak Sukur, suaminya. Dengan mantap, Pak Sukur lah yang menghantarkan istrinya menuju alam keabadian. Di luar dugaan warga, Pak Sukur begitu mudah menggali kubur. Tidak dapat dibayangkan betapa rasa cintanya pada sang istri mampu menundukkan tanah-tanah yang tak bersahabat dengan dosa-dosa yang meninggal.

Begitu cerita-cerita Indah Darmastuti syahdu mengulik masa silam. Membekas di ingatan para tokohnya ihwal kejadian yang telah lalu,  lalu mewujud perasaan traumatis untuk tidak mengulanginya kembali. Kembali ke masa silam berarti meruwat luka nestapa. Barangkali adagium “Berguru pada sejarah”  tepat menggambarkan sebagian narasi masygul yang di alami para tokoh dalam tiap babakan cerita di buku ini.

Masa silam tidak berarti selalu menyimpan detak kejayaan, harmoni kasih sayang, dan seabrek kelindan hidup yang baik untuk dikenang. Sebaliknya, yang silam terkadang mewujud ekspresi kemuraman, penyesalan, dan sejengkal peristiwa hidup yang redup. Kita dihantar menyusur masa silam bukan untuk beranjangsana, melainkan memungut yang terkelam menjadi pelajaran berarti menaja kehidupan  di kemudian hari.

Sebagian besar tokoh dalam buku selalu bersentuhan dengan kenangan buruk di masa lalu. Memilih kelindan  yang silam menjadi semacam alur  yang kian mengakrabi kita. Sesuatu yang karib dengan diri perihal kenestapaan. Di mana kenestapaan merupakan sesuatu yang niscaya bagi manusia. Tanpa narasi kenestapaan, kebermaknaan hidup sulit digapai. Ia merupakan bagian kulminasi dari cerita-cerita yang patut direnung.

Tidak hanya itu, realisme, fantasi, dan khayalan psikologis membaur dan sesekali melebur. Ihwal seorang gadis yang dalam tubuhnya bersemayam hewan-hewan. Sesekali dalam tubuhnya muncul kucing sebagai simbol kelemah-lembutan. Tubuhnya berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi. Kala sang ibu disakiti oleh orang dewasa, tubuhnya meraung-raung bak seekor anjing. Jiwanya tak terima. Begitu pun jika sesuatu yang baik terjadi padanya, tubuhnya mewujud kelinci yang meloncat -loncat kegirangan.

Ini menandakan bahwa jiwa manusia tak selamanya diam. Ia hidup mewujud simbolisme binatang sesuai kondisi yang dialaminya. Jika dalam kondisi marah tak ubahnya seekor binatang buas yang memendam amarah. Sebaliknya ketika sang jiwa stabil representasi hewan jinak menemukan momentumnya. Kondisi psikologis semacam itu berusaha ditautkan dengan masa lalu oleh penulis. Semua bermuara pada narasi kelam yang di baliknya tersemai hikmah adiluhung yang patut direnung.

Kendati demikian, tiap babakan cerita dalam buku ini belum seutuhnya selesai dengan akhir yang menggairahkan. Pembaca justru dibuat bertanya-tanya ihwal hal lain yang belum selesai itu. Terdiri dari 14 cerita yang tersebar di beberapa surat kabar dalam rentang waktu 2013 hingga 2019, kumpulan cerita pilihan Indah Darmastuti ini siap menemani pembaca menyusur ke masa lalu yang penuh kelindan kemuraman itu. Begitu.


Biodata

*)  Muhammad Ghufron, bergiat di Lingkar Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Komunitas Lensa

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top