Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Arif Hidayat

0

 


Membaca Penyair Senja

 

Saya membaca puisi-puisi Dimas Indianto (Dimas Indiana Senja—panggilan gombalnya) sungguh masih belum berubah dari ketika saya membuat kata pengantar untuk Nadhom Cinta. Kesan religius ditampilkan di awal, namun di belakang ia tetap memperlihatkan kehidupan sebagai anak muda yang menyukai cinta. Dari judulnya saja, kalian bisa melihat kata: [Nadhom] yang khas dengan puisi di kalangan pondok pesantren, namun diimbuhi kata [Cinta]. Hal yang serupa juga terjadi pada Suluk Senja, yang manakata [suluk] menjadi model teks yang ditulis oleh Sunan Bonang dan diikuti oleh beberapa penulis lainnya, sedangkan kata [senja] seolah menjadi panggilan melankolis dari Dimas.

Kesamaan itu entah disengaja atau tidak. Kalau disengaja, itu artinya ada usaha dari Dimas untuk memunculkan konsep pertautan religius dan cinta dalam puisinya. Kalau tidak sengaja (kebetulan) berarti secara tak sadar Dimas telah meletakkan konsep kebahasaan yang menjadi impiannya. Bagaimanapun, sebuah judul adalah representasi dari penamaan, yang juga merupakan identitas. Judul dipilih berdasarkan sebab-sebab, misalnya supaya laku, supaya dibaca oleh orang, supaya menarik, dan semacamnya.

Sebagai penyair yang melabelkan diri dengan sebutan “senja”, Dimas berusaha untuk menampilkan suasana sepi di dalam puisi, kesedihan, dan pencarian yang berujung pada kegelapan. Ia mengatakan bahwa “dalam sunyi yang debar, aku bisa menghitung jumlah/ denyut jantung kita yang bersahut, sesekali detak jarum jam dan dercak cicak menyela di mata/ kita saling bertatap. sementara mulut kita/ masih saja diam, hanya air mata yang bicara lewat/ tepian mata sayumu itu”, maka jelas sudah dalam sunyi itu dia patah hati. Pisah Broo… Duh kasihan. Saya jadi ingat, film Kera Sakti, “beginilah cinta, deritanya tiada akhir.” Dan dunia seperti berakhir ketika matahari tenggelam. Dan kau tahu, bahwa matahari akan terbit lagi besok pagi begitu juga dengan Dimas yang akan terbit lagi besok pagi. Senja juga akan berakhir dengan kegelapan.

Yang sedikit berbeda dari Dimas, sekarang dia sudah populer. Ya, terkenal begitulah. Sudah kenal Acep Zamzam Noor, Heru Emka, Sosiawan Leak, Hari Leo AER, dan Iman Budhi Santosa. Kepada mereka-mereka yang mengesankan, Dimas berusaha untuk menuliskannya menjadi puisi. Tetapi dalam pertemuan dengan mereka pun ternyata, juga tidak lepas dari perbincangan tentang doa dan cinta. Dimas menyebut pertemuan mereka sebagai “atas apa yang kita namai/ cinta, dalam beranda rumah doa.” Pertemuan dirasa oleh Dimas menjadi moment puitik untuk menampilkan ekspresi diri atau setidaknya untuk catatan

Barangkali yang membuat konsep puisi-puisi Dimas tidak lepas dari suasana melankolik karena dia tidak bisa melupakan beberapa kenangan dalam pertemuan tersebut. Ia sangat menghayati pengalaman-pengalaman itu hingga dituangkan dalam puisi dengan bahasa yang tertata. Dalam puisi Nocturno 1 untuk Fitrilya Anjarsari, dan Nocturno 2 yang diperuntukkan bagi Aulia Nur Inayah. Apa itu Nocturno? Ingatlah pada hewan nokturnal, yakni hewan yang beraktivitas pada malam hari. Saya tidak sedang menyamakan Dimas yang sering bergadang dengan hewan malam, tapi maksudnya dalam puisi tersebut orang-orang tersebut sudah gelap (malam), atau berlalu. Sebagai penyair senja, malam memeng dekat. Ia bilang: “malam telah genap mencabik dadaku sedemikian rajam./ dingin mengekalkan sesal hingga fajar entah ke/ berapa. aku menyusun hurufhuruf untuk memulai sebuah perbincangan, sekalipun waktu/ belum mengizinkanku untuk melipat nestapa dan/menyusun serpihan doa di lengkung alismu.” Jadi, malam itu menyiksa Dimas, dan membuat tercabik. Ia pun menyesal. Begitu ungkapnya di dalam puisi.

Puisi ditulis dengan menyuarakan peristiwa imajinatif seorang penyair. Bisa saja yang ditulis itu benar, realitas yang dibakukan melalui bahasa yang multi-tafsir. Bisa saja peristiwa yang ditulis itu hanya angan-angan dari si Penyair saja, yakni tatkala idealitas atas realitas tak bisa terpenuhi, maka usaha untuk memenuhinya lewat puisi. Semua masih membutuhkan pembuktian secara mendalam dan menyeluruh sehingga dihasilkan ulasan yang kompleks.

Namun, yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah mengapa Dimas kerap kali memadukan idiom atau kata-kata bernuansa doa dan pesantren dan dipadukan dengan cinta? Dalam membaca perpuisian Dimas, saya tak menemukan dimensi sufi sebagai konsep ataupun ideologi. Saya tidak menemukan misalnya, kata anggur, mabuk, tangga, atau idiom lain yang menggambarkan pencarian jati diri. Biasanya dalam model puisi sufi sering memadukan idiom doa dan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Di buku Suluk Senja ini tidak. Saya justru lebih melihat berdoa karena patah hati, berdoa untuk bisa mendekati seseorang (perempuan), atau kadang alam dijadikan sebagai metafora atas seseorang (perempuan khususnya).

Dalam beberapa sisi, Dimas lebih banyak mengekspos kesedihan sebagai peristiwa yang indah. Misal, ‘tanpa kusadari, airmata kita sama banyak, ruangan masih/saja sepi, aku berteriak dalam diam, dan kau bercerita dengan isak. Lalu kau mendekapkan/ tubuhmu ke dadaku, kucoba mengusap rambutmu/ pelan, detak jantung kita menyatu.” Coba perhatikan, teks yang warna hitam itu. Berduaan, berdekapan, belum menikah, apa artinya? Namun, hal itu belum tentu adalah kejadian yang dialami aku-lirik. Seorang penyair kadang dalam imajinasinya, ia bisa menuliskan apa saja. Peristiwa-peristiwa yang dituliskan oleh Dimas bisa saja adalah sebuah realita, bisa saja merupakan ekspresi kekalahan dari realita yang kemudian diwujudkan dalam puisi.

 

 

 Tentang Penulis


ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga pada 7 Januari 1988 dari pasangan Kodri Zaenal Arifin dan Rusmiyati. Ia besar di Desa Banjarsari RT 04/RW 07 Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran RakyatKedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, Suara Karya, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Lampung Post, Republika, Joglosemar, Suara Pembaruan, Majalah Horison, Majalah Mayara, Majalah Basis, Majalah Merpsy, dan Rakyat Sultra. Kini ia tinggal di Desa Karangnanas Rt 06/Rw 02, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.Email: arif19hidayat88@gmail.com dengan No.HP:  085726564738.

 

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top