Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Jang Sukmanbrata

0



MERJAN - MERJAN KEMULIAAN

 

dingin menyiksaku dalam balutan

warna emas tanaman hias dan bunga merah

sepanjang negeriku yang dibangun dari darah

secangkir kopi tak kuasa melenyapkan marah

yang terpendam lama di tanah bawah belukar,

yang dirampas semasa zaman penguasa tiran

batas timurnya sungai purba, dindingnya kars

batas selatannya pohon pisang nenek moyang

yang berujung di sungai rasa dendam

hidup seperti lebatnya hutan larangan,

hewan-hewan ganasnya memangsa si lemah

Tanah sisa ratusan meter digarap petani papa

bantaran lembahnya menganga luka sengketa:

Di keduanya beda Tuhan, jumpalitan di kesepian

negeriku masih dilanda hujan kata mabuk realita

Kenyataan pahit sebatas undang iba di lelaguan;

Kesatunya mengundang kasih sayang Tuhan,

Keduanya mengandung kutukan abadi moyang.

"Stoplah jualan dogma! Yakinlah kamu bisa bahagia,

cakrawala kembali sehat bebas asap"

 

rasa hangat lalu menuntut bayaranku di rumah,

membolak balikan cerita, menjegal kebekuan udara

malam jelita kerna awan nan putih, perawan dandan

dari senja yang merendahkan hatinya, dilamar doa:

"Kamu jangan risau dengan orang patah arang,

ingat asal mula kelahiran, jalan berkaki empat

berjumpa jodoh, jalan berkaki tiga, dan kematian.

Sungguh bijak bukan?"

Terima kasih pada peringatan bunga jati unggulan lepas

dibawa angin, jatuh ke tanah menjadi bibit, ketika

melangkah semua datar datar saja,

suka maupun duka sama saja,

itulah penunggang buraq

perjalanan menyenangkan, serba syukuran

hadir untuk hiasan zaman:

terima batu pirus cincin perak 

cahaya betah di jiwa

Hidup adalah merjan-merjan kemuliaan

 

/Padalarang, 25 Maret 2021 - 27 Maret 2022


 



MULA HIDUP SERUMPUN BAMBU

 

serumpun bambu telah tumbuh

di tiap jantung, membagi ragam kidung

Rimbunnya bikin teduh pelancong jauh

Di akarnya air tertampung :

Kerendahan tanah yang dituju

 

serumpun bambu daunnya tak terhitung

bernyanyi saat rindu mengurung

pulang kampung, tunggu kabar burung

memang kematian serupa not-not lagu

daun gugur di atas tunggul :

Kerendahan tanda pelajaran leluhur

 

serumpun bambu nyawanya kampung

lima tahun umurnya, bukan untuk dibunuh!

batang-batang tuanya mula - ujung hidup

Berikan cinta pada bambu buat kuburmu

setitik embun

bergegas tengah daun

debu terhapus

 

Kabuyutan Rajamandala, 27 September2020




 

MATI ITU PILIHAN 1

 

jam tangan ini telah mati

lalu siapa yang menghidupkannya nanti

listrik suka mendadak padam sehari

tanpa pemberitahuan dari pembangkit

kita mati antara dua pilihan sendiri

mati seperti listrik yang berakhir sepi

hidup sekali di bumi tanpa tangisan istri

atau mati tunaikan janji,

nyawa lepas, jasad di taburi melati

melesat cepat bawah hujan pujian langit

sebagian menghapus janji di rahim 

tergantung nyala batin, sunyi jadi api

perjalanan yang hangat, mata berseri

buku-buku disimpan waktu, tulisan abadi

: rentangkan tanganMu, kekasih

  rindu debu di ujung daun lembut dikawini air.

 

memuja diri

cermin bawah mentari

kilaunya pergi

 

/Bukit Padalarang, Maret2021




 

MATI ITU PILIHAN 2

 

jam berdentang meluluskan kepalsuan,

menahan banyak langkah kebenaran

agar si kelak tenaganya besar

membabat kejahatan penghuni dunia

semua kitab suci di genggamannya,

kitab negara Kertagama - Sutasoma

kitab aturan hidup Siksa Kanda Ng Karesian

dan syair perahu Hamzah Fanzuri diikatkan

dipinggangnya

jikalau aku mati duluan tanpa terkenal,

ingin cepat berjumpa, minat meloncat, tahanlah nafasmu

dalam ketukan hujan,

tapi jangan! Lebih bermakna ajal

ditangisan anak-anak terlantar.

 

jam ruang tamu sudah bisu

siapa yang memelukmu bila 'ku pergi

ke bukit Wali menemui guru

takdir bicara pasti meski ditawar di rahim

 

jam tengah rumah gemetaran

antara udara beku, terus mengulang,

hidup mati adalah kincir angin berputar

: kebosanan malam yang menyenangkan

sialan kau membongkong ruang kosong!

aku melolong melepaskan doa tawasul

berharap hadir seorang Imam penolong

tiada suara,  hanya kepak cinta si bul bul,

gerimis tahunan sering menembus rambut tebalku,

petikan rindu tenangnya saat menunggu embun

: siapa pun bisa kelu hidup di kampung kumuh,

debu di kaki si pemburu burung telah tertiup jauh,

di ruang dan di waktu tanpa kita tahu,

kelak dituntut hukum pengadilan burung

 

jam dinding kamar lambat berputar, kadang diam, lalu

siapa menceritakan keberuntungan di tikungan jalan,

hujan angin menghadangnya tanpa belas

kerna kematian itu tidur panjang:

maut bukanlah musuh, ia penghibur 

si empunya buku-buku sastra baru,

kawan setia penyanyi serba bisa,

seriosa, kidung leluhur sampai dangdut.

 

jam duduk, ah sama membeku

tanda kecantikanmu akan pupus,

ketampananku segera hancur,

kebanggaan pada karya tulisan itu,

angan-angan yang disukai tanah kubur

: mati memang pilihan, juga sebuah kidung

mau sekedar dipuji orang saja,

atau dirindukan Tuhan dalam senyap

musik daunan menghibur di perjalanan,

di titian cahaya senyum memanen canda,

oh menggembirakan mati direncanakan

melewati usaha membela si teraniaya,

memutihkan adat budaya kecerlangan,

itu pilihan orang bijak penakluk keakuan

: jam, listrik, elektronik matilah kalian sesesepimu jauh

dari nyanyian kudus!

: aku ingin mati melalui angka-angka

dan kata-kata lembut yang diucapkan para maula,

kekasih di desa 14 bintang,

Mereka menunggu kita;

"Senyumlah sayang dengan penderitaan demi

kesenangan!" bisiknya sela dahan,

buang kesombongan! cantikmu tipuan!

Yup! aku siap mati usai memberi bibit

ke petani miskin di pinggir hutan peri.

: selendang tua

  cakaran kucing lapar

  jahit di bintang

 

/Bukit Padalarang, 5 Maret 2021




 

POLITIK API GAMBUT

 

seperti danau yang tak pernah kering

mulut bumi manis, penuh rayuan janji

bukan siapa siapa, tak lain sepi sufi

ribuan haiku ukir hening abad ini

menghapus polusi ulu-ilir hati

simpan lariknya di paru-paru

warga urban mudah kisruh

orang pabrikan di kampung kumuh

orang busuk orde baru memanggul suluh

membawa api dan tungku

mengobarkan api permusuhan.

Seperti api di gambut merunduk

Bergerak ngendap bawah rumput

Hancur leburnya mesti datangkan ombak laut

kuburnya di tutup lahar panas-kabut gunung Semeru

 

seperti danau

sorot mata tak berisau

dibatas pulau

rindunya berubah pisau

kata busuk membungbung

 

 

//kars Citatah, 28Mei2020


 

PENARI BALI ITU HILANG

 

mantan pacarku penari Bali

gerak senyumnya itu gunung kebun kopi

dimanakah dikau kini,

masihkah terasa rindu di ujung jari

di pantai Sidomareukah, di subak tepi

atau berumah di laut dasar jiwa

lagu ombaknya menghibur pantai

senyap berubah bermata hyang raksasa

sekian langkah sudah mainan sejarah

jangan kau tolak satu pinangan

aku pengelana yang hilang di bukit barat

jangan percaya pada buih ombakmu

akhir pelukan itu terekam di cakrawala

apalagi rencana jumpa tertunda di pura

sekian langkah sudah menjadi cerita

daun kemboja pun menua di ujung siang

bunga kuningnya dihempas angin malam

tak ada yang kubawa, kereta malam sudah lewat

surat bersajak tertinggal di setasion tua

 

Kita sempat berlayar sampai nusa dua

goresan batu karang ditutup air bunga

seribu kemustahilan kita enyahkan

 

di kabut tebal

pecah kepakan camar

bahtera datang

diam terlukis senyum

lumut kars melembut

 

/Kereta Api Yogya - Jakarta, 1981 - 1993





SEBELUM BERANGKAT DAN SEMPAT BERCINTA

 

Jika malam sempurna

tanpa dekapan - tepukan pelan

sepi pergi menyusuri sudut meja

sapaan terlipat rapih di senyuman

Doa penghiburan menembus sungai

mata berwarna keemasan dan perak

 

Jika asyik membaca,

sering lupa warna kemejanya

maya merayu, penuh nafsu memeluk

memberikan isapan jempol biru, bisu

keinginan tidur lelap di awan kelabu,

 

Jika kamu belum menemukan kata,

warna bisa ditiupkan sebagai bahasa

kemerdekaan ialah ular air dari kolam tua,

Di Papua suka melilit pahatan kayu Asmat,

suara koloni rayap menyalakan api unggun

dendam perang Badar terus memburu

memilih berputar di rumah Marwan - Hindun,

tinggalkan gurun, menghasut orang kota dan dusun.

 

Jika langkah berhenti

melintasi kebun petani miskin

tanah merah berubah warna coklat

Hidup bercahaya usai tamat puasa

Diri ini tak lebih dari ranting di hutan

 

menulisi waktu dengan tinta listrik

melatih vokal di bukit granit

Saat kembali, kanvas penuh garis,

pelukan lepas, rindu disetubuhi angin

air mata mencari-cari lobang di bumi

Jika sempat menyelamatkan puisi

 

/Pasir Gede Padalarang, 19Juni2019





SEBELUM BERANGKAT ZIARAH

 

Jika malam sempurnakan dinginnya

lewat tepukan pundak dan dekapan

bergegas masuk ke jalan moyang

sapaan ramah, ciuman berulang

Doa penghiburan diterbangkan;

itu ziarah kendaraan cahaya

pintu emas, kursinya perak

kususur cerita isra mi'raj

: hangat sudah jiwa ! hangat! Tak perlu purnama

 

Jika menunggu lama lalu asyik membaca,

warna busana batikmu seperti arus air sungai

ratapan dunia maya merajuk, memanaskan kamar

pemberian acungan jempol biru kuberi emote merah

Anjingnya lelap pun, terjaga, matanya merindukan

kekasihnya yang menemani perjalanan Yudistira 

masuk ke surga dalam hutan, di gunung awan,

o puncak tak bernama, nirwarna - nirkata

 

Jika kamu lupa asal daratan dan lautan,

tak apa-apa. Sedikitnya tahu darimana kemerdekaan

Kemerdekaan, rehat di pahatan kayu Asmat

di malam koloni rayap menyalakan api unggun

Dendam perang Badar terus memburu

Jadi, kamu berpusar di rumah Hindun

 

Jika kaki berhenti

Jalan ke rumah melintasi kebun petani miskin

Sejenak tanah merah berubah coklat

Hidup bercahya bundar usai tamat puasa

Jadikan swara saja di udara

 

Jadi, menulis setiap waktu dengan tinta listrik

melatih vokal pagi di bukit atas pancuran air

Sebelum kembali, kanvas sudah penuh garis

dan pelukan lepas, putih mata mencair di bumi

Jika sempat menyelamatkan puisi

 

:Pasir Gede Padalarang, 19Juni2019


 



BURUNG TEMBUS KABUT

 

I/

kepakan burung

menembus tebal kabut

bulunya kuyup

mata memandang jauh

tembang sore pun sayup

 

Il/

tak ada kampung

baris pohonan kabur

kepakan lembut

 

Ill/

kabut menutup

puncak gunung terputus

rombongan burung

pandang mata oh lamur

panah rindu beracun

 

IV/

mengoyak kabut

kepak burung menjauh

sayup terputus

 

/kaki Gunung Burangrang, 26Des.2021




 

Tentang Penulis


JANG SUKMANBRATA, lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Selain puisi, juga menulis esai, artikel serta mencintai dunia pendidikan anak-anak sebagai Pendidik literasi (Pendamping proses pendidikan alternatif melalui sarana senirupa, teater, menulis),  dan sebagai pendongeng keliling untuk anak-anak basis pedesaan serta pembaca puisi keliling di kampung-kampung di kota Bandung.

Selama 17 tahun aktif bekerja di NGO yang didirikannya dan di Asian NGO Coalition (ANGOC); hildhope-Asia Foundation; kerjasama dengan Balay Tuluyan dengan berdomisili di Paco Manila dan Davao City Philippina selama 4 tahun. Kembali ke Indonesia tahun 2000. Sewaktu bekerja di NGO - karya puisinya banyak tersebar/dimuat di Newsletter - Majalah-majalah NGO Indonesia dan Asia dengan tema-tema HAM (Human Right), Lingkungan Hidup dan kondisi kemiskinan sosial. Kini kembali "bersyair" dan hidup bertani di kaki pegunungan Mandalawangi Cijapati Cicalengka Kabupaten Bandung; dan bertani bunga - tanaman hias di Desa Jambudipa - Cisarua Kabupaten Bandung Barat.

Mulai tahun 2017 banyak menulis puisi beragam genre; lirik, epik -balada, geguritan sampai tanka dan haiku: Karya puisinya di buku Antologi Negeri Pesisiran dan Negeri Rantau; DNP 2019 - 2020, dan 30 haiku-nya dan puisinya di koran PosBali, Koran Pikiran Rakyat Bandung, Koran Bandung Pos. Puisi genre tanka dan haiku-nya di buku-buku Antologi Newhaiku - KKK, Majalah digital Elipsis 2021, di Buku Antologi 100 puisi HPI-2021; dan puisinya tersebar di medsos Facebook - di berbagai komunitas penulis puisi FB dan di medcet. Kini tinggal di Desa Padalarang Kabupaten Bandung Barat - Jawa Barat, Indonesia.

Email: sukmansatyariga@gmail.com

HpWA: 0896 6839 1713

Facebook: Satyariga Sukman

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top