Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Bagus Sulistio

0


BOTOL TERAKHIR

 

Botol bekas minuman keras berhamburan di depan rumahnya. Begitu beragam merek dari alkohol itu, mulai dari Topi Miring, Wishki, Anggur Merah dan semacamnya, mungkin seorang yang sering mengunjungi bar akan tahu merek-merek miras. Selain itu, bau menyengat dari miras itu mengelilingi rumahnya. Jika ada seseorang lewat depan rumahnya, bau yang pertama kali tercium adalah bau alkohol. Walaupun alkohol itu tidak disiram secara sengaja ke tanah depan rumah, namun botol yang menyisakan beberapa tetes air setan itu tetap menyebarkan bau.

Para tetangga sudah paham betul dengan sikap pemuda itu. Tidak bosan-bosannya mereka menasehatinya, tapi sang pemuda hanya menganggapnya sebagai angin lalu bahkan angin ribut yang selalu memancing emosinya.

Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, Tono tidak sendirian. Ada beberapa temannya menemani ia menenggak miras tersebut. Mereka berasal dari berbagai daerah. Baik laki-laki maupun wanita berkumpul di rumahnya berpesta miras bersama. Suasana bising memenuhi ruang tamu bahkan menyebar keluar rumah.

"Bro, beli lagi Anggur Merah gih. Mau abis nih," ucap salah satu teman Tono.

Tanpa membantah, Tono beranjak dari kursi dan melangkahkan kakinya. Dengan bekal uang untuk membeli ciu dan kunci motor milik temannya ia keluar dari rumah. Motor temannya yang terparkir di depan rumahnya hendak ia tunggangi. Akan tetapi ada sebuah suara dari kejauhan seperti memanggil-manggil namanya.

Keadaan mabuk mengaburkan pandangannya, Tono tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang menghampirinya. Ia hanya bisa menunggu sambil memegang motor karena hendak pergi membeli minuman.

"Mau kemana malam-malam begini pergi?" tanya seorang laki-laki. Ia adalah Marno, tetangga Tono. Walaupun Marno hanya seorang tetangga tetapi rasa perhatiannya kepada Tono seperti adik kandung sendiri. Tidak henti-hentinya ia memberi nasihat demi kebaikan tetangganya. Memang Tono orang yang keras kepala, sesering apapun nasehat yang diberikan tidak pernah mempan masuk ke hati.

"Minggir! Kau siapa beraninya ngatur-ngatur. Awas gue mau lewat!" bentak Tono.

Marno hanya terpaku dan mengelus dada melihat Tono yang melajukan motornya. Tono semakin jauh dari pandangan dan hilang tertutup tembok-tembok. Pandangan Marno beralih ke dalam rumah tetangganya, rumah yang penuh dengan kebulan asap rokok, laki-laki dan perempuan yang tidak ada batasan, botol dan gelas berantakan, itulah pemandangan yang ada di dalam rumah Tono.

Marno ingin masuk ke dalam rumah tetangganya itu dan menasihati mereka yang berada di dalammya. Namun ada rasa menahannya untuk bertindak. Ia hanya bisa memandang dari luar sambil mengumpulkan keberanian untuk maju dan masuk.

"Assalamualaikum," ucap Marno. Sontak mereka terdiam tanpa menjawab salam. Pandangan mereka tertuju ke orang yang barusan mengucapkan salam. Mereka menatap segala sesuatu yang melekat pada dirinya, dari ujung kaki hingga ujung kepala, mulai dari sarung bermotif kotak-kotak hingga sebuah kopiah hitam, semua tak luput dari perhatian mereka. Marno serasa dirinya asing setelah diperlakukan seperti itu.

"Ada apa Pak datang kemari!" ucap salah satu pemuda sambil berdiri dari duduknya. Ia menolak kedatangan Marno. Matanya yang tidak fokus karena mabuk dipaksa melotot agar Marno takut akan dirinya. Tapi apa yang dilakukan pemuda itu tidak menciutkan nyali Marno. Ia tampak santai menghadapi mereka.

"Apakah kalian tidak takut dengan apa yang kalian lakukan?" tanya Marno dengan bijak.

"Banyak omong kau! Pergi!"

Pemuda tadi mengambil sebuah botol kosong dan melemparkannya ke Marno. Untung saja botol itu melenceng tidak mengenai Marno sehingga ia bisa selamat dari pecahan beling yang melukainya.

Marno berpikir jika ia masih di tempat itu mungkin akan terjadi hal yang lebih berbahaya. Maka ia memutuskan untuk keluar dari rumah itu. Tapi belum sempat ia keluar, Tono sudah terlebih dahulu kembali dari perginya.

"Eh Mar. Ngapain di sini? Mau bikin kacau ya?" ucap Tono yang masih terduduk di atas jok motor. Ia tidak terima teman-temannya diusik oleh tetangganya. Ia rasa teman-temannya tidak butuh nasihat dari orang seperti Marno. Jadi, tidak perlu repot-repot Marno menasihati teman-temannya seperti apa yang Marno lakukan kepadanya

Merasa dirinya tidak dihargai Marno memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Kakinya mulai meninggalkan halaman rumah Tono. Belum jauh ia berjalan terdengar suara bising dari dalam rumah Tono. Suara orang-orang yang hendak muntah. Ia kembali untuk menghampiri. Akan tetapi Tono yang barusan ia temui dalam keadaan baik-baik saja kini tergeletak di atas tanah.

***

Ia terkapar di atas kasur. Matanya perlahan membuka menatap sinar lampu putih. Silau yang diperoleh membuatnya beralih pandangan, memandang sekeliling. Ia menjumpai seorang lelaki di sampingnya.

"Berhentilah meminum minuman itu. Sekarang kau sudah tahu akibatnya, kan?" ucap Marno yang sedang duduk di samping Tono.

Mulutnya tetap bungkam. Namun matanya memandang lawan bicaranya. Seakan-akan ada pesan yang ingin ia sampaikan. Sebuah pesan amarah jika dilihat dari caranya menatap.

"Kalau gak niat nolong gak usah ceramah segala! Sana pergi!" hardik Tono. Hati Marno sakit. Ia pergi meninggalkan Tono untuk kedua kalinya.

***

Hanya perlu beberapa hari untuk pulih. Tono kembali sehat seperti semula. Ia bisa melakukan aktivitas seperti biasa, pergi dari rumah kemudian pulang membawa teman-temannya. Malam hari di rumahnya, mereka melakukan pesta miras lagi dan lagi. Suatu kerinduan jika jauh dari miras, baginya.

Marno hanya duduk di sebuah kursi di depan rumahnya. Mengamati pesta miras yang dilakukan oleh pemuda-pemudi dari seberang rumah. Sebenarnya kakinya sudah terasa gatal ingin menghampiri, menasihati mereka tapi ia sudah bertekad untuk berhenti melakukan hal itu semua. Ucapan yang telah disia-siakan membuat Marno sungkan untuk melakukannya lagi. Baginya kewajiban atas mencegah suatu keburukan telah ia jalani, hanya saja mereka yang tidak menaati.

"Siapa yang bisa habisin minuman ini," ucap Tono sambil memegang satu-satunya botol yang masih terisi air walaupun hanya tiga kali tenggak.

"Kok diam semua? Gak berani? Ya udah gue minum sendiri aja nih."

Tono mengangkat botolnya. Mulut botol dengan mulutnya saling menempel dan miras pindah dengan cepat dari botol ke tenggorokan Tono. Ia menikmati betul proses meminumnya, ditandai dengan matanya yang setengah terpejam. Tapi tiba-tiba matanya membelalakkan. Ia merasa mual dan muntah-muntah. Miras yang barusan diminum keluar lagi dari mulutnya disertai cairan berwarna merah pekat kental. Cairan itu tidak henti-hentinya keluar sehingga membuat kaki Tono lemas dan jatuh tergeletak.




Tentang Penulis


Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Saat ini menjadi pengajar di sebuah SD negeri Banjarnegara. Beberapa karyanya pernah dimuat di berbagai media cetak maupun online skala nasional. 



Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top