Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Jang Sukmanbrata

0

 



KEKAWIN AIR KABUYUTAN 1

 

malam berkabut

gerimis tipis terkepung

naik kereta

meski jalan bergalau

harap indah berpulau

 

rombongan kawan

menjemput di halaman 

kota nan tua 

lekuk Bandung utara

kenangan berpacaran

 

di tangga batu

jumpa di saung bambu

secangkir kopi

pagar hidup bernusa

cagar budaya bangsa

 

semburat fajar 

hidup yang berpasangan

bule dan hitam

kebo rela berkorban

balik ke pekandangan

 

senja di makam

subur hanjuang hijau 

daun terakhir

penutup bambu hitam

berani hidup damai


/Kabuyutan Gegerkalong, 23 Februari 2019

----------------------------------------------------

 

KEKAWIN AIR KABUYUTAN 2

 

1/

alam terkembang

banyu bayu menyegar

hamparan tanah

cinta rela semesta  

selamat lima indra 

 

2/

hanjuang hijau

tumbuh di nusa pulau

pembatas tanah

mengolah rasa liar 

berderma tanpa pamrih

 

3/

di bawah hujan

jajaran bambu hitam

air nyawaan

abad berlari kencang

merangkai tapak moyang

 

4/

senja temaram

berdoa semalaman

paparan hikmah

bale bambu kabuci

bangun wajah pertiwi 

 

5/

tanah berair

sepasang kerbau

hitam dan bule

malam menuju siang

hidup senang berkorban

 

6/

penari bali

mata indah melirik

kilau mahkota

gamelan sarat makna

membuka bahagia

 

7/

hari benderang

seling gerimis indah

mengucap puji 

menata nasi kuning

senyum ibu pertiwi

 

8/

turun ke lembah

di sumur kahuripan

kekawin air

menyayangi yang kecil

bersatu nusantara

 

9/

berpanca kaki 

menanam bambu kuning

kekawin air 

duh petikan kecapi

menyiram pohon kasih 

 

10/

di bale bambu 

empat belas tanaman

merawat akar 

kabuyutan di desa

budaya nusantara

 

11/

bunga setaman

di kele bambu hitam

air huripan

perkawinan abadi

alam aliyyi Gusti 

 

12/

oh tujuh kembang

bertaburan di sumur

wangi melati

menista tanah air

celaka dua belas


/Kabuyutan Cipageran Cimahi, 27 Februari 2019

------------------------------------------------------------

*Kabuyutan: akar budaya basis lokal yang integral dengan alam mikro dan makro.

 

 

PADA MULANYA ALAM

 

Pada awalnya bunyi

O, puh! tah, mih, pis!

Brah! Lahir disebabkan bunyi kasih

Bergerak tergantung pada angin

 

Pada mulanya kata

KehendakNya berkuasa; Jadilah!

Samudera terbentang ombak menerjang

Pantai berpasir sudutnya berkarang

 

Mulainya tanah, mekarlah flora

Tupai ciptaan pertama meloncat

Biji-bijian jatuh, tumbuh pohonan

Kasih semestaNya tiba merata

 

Pada mulanya kata

Perintah Tuhan ciptakan manusia;

Tanah dasar laut, gunung, lembah

padang pasir dan tanah gerabah

 

Pada mulanya turun terbang

Tuhan mencipta, Malaikat berkarya

Air surga adalah lem terkuat

Menjelmalah sosok orang

 

Pada mulanya bunyi perkasa

Puh! Ruh ditiupkan, bianglala surga terjaga

Bunga bunga berdengdang

Buah buah surga berpesta

 

Dilahirkan tanpa ibu bapa

Berbahan aneka tanah dan air berkah

Berjalan lembut limpahan cinta

Malaikat bertasbih, kasih jadi alas,

pujian berkumandang

 

Pada mulanya kata manusia ada 

Adam berkata nama semua benda

Cinta pun ada membuat kata-kata

Hawa di sapa, makna wanita o diam

 

Di negeri anggur merah, Rene berkata:

"Aku berpikir maka aku ada"

Semoga tak lupa Tuhan 

yang mencipta Cinta dan kata.

 

buahan surga

sungai susu dan madu

tergoda setan

makan khuldi larangan

surga tak bernama ditinggalkan

 

Di gua, darah daging kita dihidupkan

Keinginan tahu oh ditenun suka duka tanyakan, rumah mana dibangunkan,

Pintunya hening, jendelanya senyap.

 

 

*Rene: Rene Descartes; filsuf besar Perancis.

 

/Bandung, 7 Januari 2019

-------------------------------


 

AIR TERJUN DICINTAI PELANGI DAN BIDADARI

              : Acep Zamzam Noor dan Ambu

 

tak terhitung berapa kali puisi berbisik

nafasnya wangi melati di pagi dini

wangi kesturi di senja hari, 

di saat sendiri suka mengusik dengan hembusan hidung,

ujungnya mengelus-ngelus aortaku

Tak kuceritakan dalam pelukan gelap

sebab semua suku kata kerap terjaga;

menghardiknya penuh kuasa, 

aku gagap, mata tiba-tiba bolong bak dara gemulai lukisan Jeihan

 

menatap tapak lingkungan desa asli,

getir dan pikiran terjungkir, sepi miris

pelangi pergi ke danau danau mistis

sungai sungai purba kaki lima bukit

serupa gadis pingitan zaman revolusi

aku mengerti catatan kaki tanpa titik 

mewanti-wanti kali itu cermin hati

tergantung si tamu dan si penghuni.

 

Di danau Sanghiyang Carita 

aku lupa merapal mantra azimat, 

hanya senyap mengurung hasrat,

pelangi tangga bidadari, 

air mainan peri wanita, 

suara gerak tariannya bergema 

Benar katamu, air suka terjun ke pasir, menulis di batu garis prasasti 

Salamku sampai menutup pori keladi

 

bianglala di jiwa datang pergi berlari

keburu liarmu memutus aliran listrik

air terjun menembus relung hati

dicintai pelangi, dirindui bidadari

tak terlewati kenangan manis,

sebab itu kuposkan ini puisi

 

menyusur arus

tebal kabut berlalu

lengkung pelangi

sebaris larik mati

tersemat batu cincin

 

/Gunung Bentang, 24 Desember 2019

----------------------------------------------

 


TIDUR DI RUMAH RASUL TUHAN

 

kau tidur di rumah Rasul Allah

Semua alam benda alam makhlukNya lelap dan terjaga 

ini cahaya kala Adam merebah di tanah tanpa warna 

bumi pun belum berwilayah. 

Seluruh patuh merata

Tanyanya kakek kita jalan tahu asal mula

Satunya ketetapan; datang - kembali,

yang empatnya jalan keindahan, 

di diri sudah terbentang; 

gunung-hutan sungai-samudera, 

danau-daratan, dan lembah di mata.

 

kau tidur di biliknya Nabi

memangku keluh berujung, dukanya ruh

menimang rasa, sukacitanya ruh      

bergerak menjadi cakrawala, 

berdiam berupa lautan, 

ombak di mata kenangan memang sejarah, 

hitam - merah dan putih di garis doa, 

senikmat ingat - semenyesal lupa namanya orang, jalan panjang berliku

jadi manusia berkat pegunungan  

Si tupai hewan pertama dicipta, senyap itu gendang telinga kita, 

Bintang laut di gua karang kelabu, 

penerang Kau terima jadi, 

sujud berterima kasihlah, sayang 

sebelum delapan surga dibukakan

lmusim rambutan dan kepalsuan mustahil tersatukan, 

Itu bayi dan ketuban mengantarmu 

sampai ladang yang dijanjikan 

sedang gerombolan keras kepala gelisah, 

tak sejengkal pun layak mengolah tanah, 

hidup di dalam kutukan panjang

Berubah juga tidak punya ruang rupa atau sepetak kamar Utusan Tuhan 

Siapakah mereka? Israel, Palestina, Oklahoma, Lembah Tihammah 

atau Lembah Garam Basrah tempat diturunkannya iblis Azazil,

Adam sendiri terlunta-lunta di Asia,

Eva menangis di cekungan Marwah

Jibril si pembawa kabar

Batu yang menyatukan rindu

pernah bertanya siapa penghulumu, 

waktu ditipu musuh Ahmad, Ali atau Al-Mahdi dan Yesus

Rantau ini sebatas pulau ke pulau

Rantau itu risau menghabisi galau; 

Rantau, ya keluar dalam rumahMu

Rantau, kembali masuk ke kebunMu

Tiada alasan jiwa berdoa terkekang

Lebih utama dari kulit kitab bacaan

Bahkan langit langit rumah tangga

 

Siapa diluar?

Sukman

Siapa yang di dalam?

Tuhan

Di luar di dalam kesatuan

Yang menyerahkan kunci suka sunyi

(sahabat bintang-kekasih mentari)

Yup!

 

 

/Kabuyutan Nagreg, 4 Januari 2020 

-------------------------------------------


 

BURUNG PIPIT YANG MENJAUH

 

kudengar lagi suara-suara burung 

kepakan sayapnya lembut 

di sela pelepah palem yang murung

adapun yang sendirian bercericit riang

menantang kemungkinan hujan datang

senyap diselesaikan sehelai bulu lepas

 

kulihat si pipit terbang susul menyusul

ujung daun tak sedikitpun tersentuh

lekukannya penuh tentara embun

bau bakung itu senang dikepung

rumput kuyup linangan hujan semalam 

tiarap sekejap, tegak lalu bersorak sorai

 

kudengar pipit tiap pagi bernyanyi

di palem tua sebelum semuanya pergi

pelepah muda mainan pipit ratu kelana

melepaskan debu di tepi sayap rusaknya

makan sekedarnya gembira di rumahkan

Alam berharga melebihi emas simpanan

 

generasi gegap belum kenal bau gunung

pemburu burung menunggu pohon rapuh

dahan berlumut selalu lilitan si mata biru

 

Oh pipit betina yang menerbitkan duka

sarang dan anak-anaknya diambil orang

catatan panjang dari sawah ke lembah

Menangis meratap saat palem ditebang

penghuni baru - pedagang minyak curah

usahanya sawit dan karet di Sumatera

 

kini kawanan pipit bertahan di sawah 

kadang datang di pohon jambu sebelah

memperlihatkan mata sendunya padaku

lalu menaburkan benih benih perdu rindu 

Jika murung menderu loncat di kebun 

kuputar rekaman semua suara burung

 

si pipit ini mengusik ulu hatiku

semakin jauh ke sawah kaki gunung

getaran kepak sayapnya di jantungku

sehelai bulunya di daun mawar berdebu 

Penikmat musik burung pantang masuk

Generasi bingung bau busuknya disudut.

 

/Padalarang, 15Januari 2020-2022

-----------------------------------------



MEMBACA ASAP

 

1. RIAU ITU NEGERI GAMBUT 

 

Hutan itu katamu paru-paru bumi 

sambil menghisap cerutu luar negeri

menghembuskan asap kelu lupa anak isteri

Matahari sebagai ayah dianggap sepi

 

Hutan katamu lumbung bekal hidup

peta rimba penuh tanda merah dan biru 

contrengan hitam kalender politikus busuk

Orang rakus takut miskin menjadi kalut

 

Hutan Riau warisan para leluhur 

negeri gambut pantang tersentuh api

tak boleh disentuh perusuh 

tak berkah diinjak penyinyir

Semua hidup dan berumah dari kayu

Kapan mengerti asal mula bumi

api tersembunyi sulit dipadamkannya

gambut istana rahasianya

"Hujan besar jalan surga kami." bisiknya lagi,

"Ya, jangan beri api lagi tanah leluhur! 

Kami semua disini adalah anak api."

 

(ada yang menyebut hutan dan tanah Riau itu keponakannya api; batu digoreskan ke tanah

menyalalah api dengan berahi sampai tembus

ke kerajaan gambut)

 

2. RIAU HUTANNYA KAYU KERTAS 

 

Riau hutannya banyak

matahari lewat begitu dekat

 

Di bawah akasia 

Di kebun sawit berminyak mantan preman

kembali preman 

menjadi calo tanah mengandung bara 

Hutan sisa pun musnah

Uang melimpah sampai sudut-sudut rumah 

 

Memusnahkan hutan matikan jiwa

Tahun ke tahun pejabatnya gila berpesta

Erofa tujuan wisata bawa uang suapan hutan

Dikepung asap

Riau makan asap duka hutan

 

Hutan adalah ibu 

Tanahnya memberi makan dan minum

Airnya menjadi darah tumpuan hidup

Suara burung yang dibagikan angin itu lagu

Hutan marwah melahirkan sejarah

Leluhur yang bestari mewariskan 

 

3. HANTU HUTAN PERKEBUNAN SAWIT

 

Begitu berhenti dari pengangguran

merubah diri sebagai orang-orangan 

dipeluk agama, mencium surga buatan

tak mampu menepiskan dingin dan panas

lembab membatu di dinding-dinding kota 

di rumah-rumah peladang banjar harian

Siapa saja memasuki hutan Riau 

hilang ingatan hidup di pulau

Keanekaragaman hayati

musuh sengit

 

4. RIAU BERKALANG ASAP 

 

Riau kerajaan asap

Riau korban asap

Hutan rusak rakyat belangsak

 

Burung malam kehilangan sarang

Meratap menangis di Malaysia

Air mata tumpah bawah purnama

Harapan, ya harapan oh ditelan asap

Jumpalitan ikan di keramba sungai

 

5. MELAYU BISU

 

Menghirup asap

Melayu bisu

Menulis sajak-sajak bau asap

Melayu bisu

Syair-syair suluk Raja Ali Haji menetap di sunyi

Jalan ke hutan dipagar pelaku makar, o mati

Senja ke pagi telah penuh penghianat negeri

Siapa yang dihidupkan hatinya saat bermimpi

 

Hutan itu hulu

Tempat warisan leluhur bermula

Tempat air dan udara segar

Tak dijaga tak dijungjung rimbunnya

Melayu bisu

 

 

/PB, 30 Oktober 2019

-----------------------------

 

 

JALAN LURUS PADANG PANJANG

1/

Bermula Dari Rumah Adat

 

seperti dibawa perahu angin nabi Sulaiman

dari Padalarang sampai Padang,

aku bawa banyak cinta 

kuhamparkan di tanah Minang, 

demi apa? 

(di senja-malam, terdiam)

dua tetes air mataku jatuh menguap di awan jadi tentara hujan, 

berkelana di kolam bening tepi hutan, dan arungi sungai menuju lautan

o, mulanya kita jumpa. 

Duhai dua puan,

anggun si putih jelita,

manis si lesung pipit, 

kurindukan kalian. Di mana?

 

cakrawala luas,

potret diri terlukis,

di rumah adat

rindu perantau lepas

padang panjang di hati

 

meniti tangga

beranda rumah adat

surya menjelang

jejak mulia moyang

warisan padang terpanjang

 

hari pertama

raga lelah gembira

bangunan megah

dukana hai jangan berkuasa!

rumah sendiri ini istana

 

jauh digapai

membaca peta leluhur

pantun di dendang

warisan rumah adat 

tercatat dalam jiwa

selamat berjuang wahai pecinta adat

di mataku ada 14 bintang pedoman kala malam di tengah lautan, 

bahtera itu cinta

layar takambang 

alam padang nerawangan 

bacaanku dalam lengang.

 

2/

Mencapai Lembah Anai

 

hanya melintas

ciprat si air deras

oh Lembah Anai 

rendah menuju mulia

surga di senyuman bunda

 

di kemerdekaan

di atas Lembah Anai

hijau di kolam

jangan lupakan sungai

arus gemulai tidak lalai

 

meraih percik

mata tertawan lembah

senja Anai kulukis

ratusan tahun pohonannya

pagar jiwa perkasa

jangan tebang sembarang, 

biarkan hutan lestari!

 

di hutan lindung

ditulis semua kidung

Ilyas penunggu anggun, 

sandalnya oh kayu

Khidir pelaut handal di ombak ganas

sandalnya oh tembus pandang

berwibawa di tengah danau puncak

atas Lembah Anai 

jalannya cinta itu kerendahan

jangan ganggu hutan larangan! 

biarkan rimbun, itu Quran alam

 

tubuhmu ngarai 

hijau tanah pusaka

Anai membelai

tercapai hilangkan letih

sambil kulihat jembatan kereta api 

yang memanjang dari masa silam menembus gunung masa depan

lihatlah nanti, jadi jalan surga dunia

 

abrakadabra!

ini bukan sihir bukan mantera

ini puisiku buat Lembah Anai 

sampai jumpa ya alam terkembang

aku dan Asdjar Koto pulang

(air mataku sungai Padang Panjang)

tangisku tertinggal di Tanah Datar. 

Hu, wahai Dia 

 

3/

Jembatan Layang Bukit Surungan

 

Itu kabut tebal panjang perkasa memagut lembut Bukit Surungan, 

di kakinya serumpun bambu 

memberi lagu merdu

anginnya hapusi debu 

Bawah bukit melayang jembatan tua, 

Kenangan berkarat 

Cerita heroik moyang 

dan orang kamardikan di baca tak tamat

Jejak guru Ulakan ada yang dikubur tiang

ada yang dibawa angin ke gunung 

ke pesisir Pariaman ;

Adat menjelma syair tarian

 

Itu di ujung Jembatan Layang 

sontak datang bayangan, 

senyuman, peluk pamitan mantan menembus ketuaan

Di bawah Jembatan Layang

Diiringi bunyi gendang,

jalan terang panjang

beragam percakapan:

sebelum gelar, di jalan kehidupan kita yang mesra bersejarah,

melalui kaki lelah perantau tanah air tuturnya di kedai Padang Panjang

 

Tahun-tahun berarus, 

arusnya bagai sungai, 

yang kukuh, ialah yang tinggal jiwa yang setia berumah di balik bukit, 

yang lintas jembatan 

menuju kampung situs datuk sembilan

Tubuh halus Minang itu Bukit Surungan ,

Jembatan layangnya - adat bersanding pedoman Tuhan.

-  Uda sudah dimana?

+ Aku di jembatan layang

- Cepat-cepatlah melintas! 

+ Ya, ini juga takut longsor.

Berjalan di garis waktu, 

seperti mengusap liukan keris, 

laksana besi jembatan layang.

 

Itu jembatan melayang 

dari jauh serupa bayang mengambang 

di atas jalan desa ke jalanan kota 

yang panjang riwayat masa silamnya.

 

Di jalan hidup kita ada juga pikiran rapuh seperti tiang jembatan yang berlumpur;

Jiwa gelap pendatang menodai kedamaian,

melayang di atas jembatan layang, 

di riak sungai Surungan, 

di aluran lumpur waktu, 

mengajak berubah warna rambut 

dan coklat matamu 

 

Lintasilah waktu atas jembatan layang, laksanakan hajat perubahan masa depan

 

Lintasilah Jembatan Layang, 

bawa suka duka, dan syukuran 

Di bawah bukit Surungan, 

di hempasan angin jembatan layang, jiwa raga menjulang sampai suhunan rumah-rumah gadang kaki pegunungan.

Ada yang ditinggal rantau panjang,

sekumpulan hampa di desa hutan

 

Berjalan tegak, 

beri sedikit candaan,

benar, benar bagai jembatan layang

 

Itu lihatlah dua pasang rang awak seiyo sekato, seikat sapulidi di jalan,

ujung kanan-kiri serumpun bambu 

Jembatan Layang rengkuhan bukit. Hening.

 

/Padang Panjang - Padalarang, 2011 - Mei 2022

_______________________________________

 

 

RIBUAN DAUN GUGUR DI GUNUNG KAPUR

 

jika aku tertidur di balè bambu, 

tutup jendela dan pintu kebun, 

kalungkan rangkaian bunga,

bakarlah kayu gaharu, 

asapnya usapkan ke ikat kepala,

dan tinggalkan aku di kaki gunung

Kelu dileburkan di kabut malam,

cita-cita tak diburu, dibiarkan hablur

Puluhan kampung sudah ditempuh 

melalui lorong yang berdebu kapur, jalan ibukota yang dirusak perusuh, debu kota terbawa orang-orang tanpa kepala, 

nafsunya penambang gunung kapur menyala di batu-batu, 

Dibawah kars situs 

dibuat peternakan kadal gurun; 

lucu lucu, matanya menatap jauh, berharap ada serangga mabuk

Cakrawala senja ditatap malu-malu, aku senang tinggal di tengah bambu 

Bisu? Ya tentu saat angan dibunuh

Senyum selalu menyalakan hidup

Bangkit, tak peduli umur berjamur

Pikiran tak menentu gugur

 

Wancina mendengkur kuncilah pintu, 

kau taruh tampah sesajian kembang, bubur merah putihnya untukku;

ia penghibur tanpa bayaran, 

mulya dari segala cela dan goda,

meski di kubur batu kapur ia berkata

Masih juga kau diam disitu menghirup tembakau Garut  

ya, aromanya bertahan dalam kabut 

Kepercayaan apa hanya di embun

sekejap terhirup daun, singgah, luruh

Ah haru negeri ibu Cicih ini semusim, sejarah itu dongengan bangun tidur,

ingatan ke si miskin dibanting angin, 

terlindas roda roda mobil baru

Suara kita bukan punya sendiri,

diberi Tuhan penumbuh lumut sunyi 

 

malamnya wangi

tak lebih daun suji

bayangan kaki

kabar sahabat pergi

maut mengusap alis 

 

/Kabuyutan Gegerkalong, 1 Juni 2021

---------------------------------------------

 


 

JEJAK DI BATU

KARANGKAMULYAN* 

 

berlarian, berlarian anak-anak 

tengah hujan 

menembus yang memercik indah, 

matamu teduh sekukuh gunung, 

biru hijau rimbun di upuk jauh, 

itu semasa aku bau kencur

saat buku jiwa tersibak angin hutan

jejak musang di batu Karangkamulyan, 

di bulu bulu mataku menempel baunya 

di mulut cukong tanah adat Priangan

si hina dina memalukan peradaban. 

Lekat tercatat di kutukan moyang, 

hujan deras tak bisa menghapusnya, cucuran air mata di sesal kepalsuan,

garisnya memudar di tanah adat

ucapan-tulisannya tak berbisa, 

tak ada kenangan diceritakan, buram

Kesejatian itu perjuangan di hening 

buruannya para penyair budak nurani

 

hidup bermimpi, menyesal pergi sendiri

Kejujuran lebih dari seni, tak kan mati

 

berlarian, berlarian anak di hujan, senyap

malamnya menuliskan cerita hariannya terang, remang, gelap berseliweran

terus, terus saja tulis kesaksian

sampai yang tinggal kelam

 

Berlarian, berlari anak menembus hujan

angin kabuyutan ikut dari belakang

serupa malam tak berbintang

awan bisa jadi pedoman 

Berlari! Ayo ke dalam

Tolak hidup tak keruan sebelum ajal tiba

 

 

*Karangkamulyan: Pusat Kabuyutan di Ciamis Jawa Barat.

/Kabuyutan Nagreg, 9 Maret 2022

-----------------------------------------



TENTANG PENULIS


JANG SUKMANBRATA


Lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karyanya dulu tahun 1980an semata puisi lirik bebas, kini banyak menulis puisi beragam genre; lirik, balada, tanka dan haiku dalam 2 bahasa: bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Puisinya tersebar di buku antologi puisi Negeri Pesisiran, Negeri Rantau; DNP 2019 - 2020, Raja Kelana DNP 2022, buku Antologi Puisi HPI 2021 & 2023, buku Antologi Puisi Para Penyintas Makna & Antologi Larung Sastra-Dapur Sastra Jakarta th.2021 & 2023, di beberapa buku antologi lainnya, 30 haiku-dan puisinya di koran Pos Bali, Nusabali, Bali Pos, Pikiran Rakyat, Bernas, Masa Kini, KR Yogya, Mjl.Basis dan medcet lainnya di seluruh Indonesia. Puisi tanka dan haiku-nya di setiap buku Antologi Newhaiku-KKK, di SKSP Literary,  mjl. Elipsis, Balipolitika, Tatkala, Ide Sastra, Semesta Seni, SastraMedia.com, HOMAGI International,  berbagai majalah digital-internet-blog, FB dan IG.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top