Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Rudiana Ade Ginanjar

0



KE PARE-PARE

 

Hanya ada warna kelabu di teluk, Ainun.

 

Seberkas suar dari celah,

hanya kelegaan sehabis jauh tempuh tuju.

Orang-orang dengan bekal emas atau perada,

yang dikenangkan hanya cemas atau tak ada.

 

Kita meniru salju musim gugur

untuk kembali,

 

daun-daunan khatulistiwa mengeras dan tua.

 

2022

 

KEBERANGKATANMU


Aku hampir tak teringat tentang jam,

menggantung di dinding tapi tidak hatiku.

 

Ia menetap padamu,

sebidang jalur di langit.

 

Warna-warna sepi. Adakah kaumenatapku

dalam senyum polos sekolah menengah dulu?

Di rumah seorang telah mengosongkan seluruh.

 

Tinggal diri mematung diri.

 

2022


 

MIMPI BOCAH

 

Katakan padaku tentang kemurnian.

Bila hujan adalah bahasa embun,

            apakah air mata adalah bahan

dari cinta murni?

 

Di sini, cahaya dan warna ruang

algoritma dalam baris sunyi.

 

Jalan telah demikian lapang,

sebuah kubah menuai pelangi.

 

Burung-burung menjadi besi.

 

2022

 

THE TRUE PARENTS

 

Sambil bermimpi,

selagi mata mulai mengabu

orang mengenal laut, menyebut kala

            ke negeri entah. Sambil

menarikan bayangan matahari musim hujan

angin gelegak rindu ranjang,

pemberian leluhur.

 

Misalkan dusun tertidur dan kau bermimpi

adalah halau desisan ular,

sebuah rengkuhan hidup

pegunungan terakhir menggugurkan salju

bagai ceruk dihuni perapian

dan tangan orang-orang yang senantiasa tercetak

            di dinding sanubari. Tangan pasir,

malam ribuan bintang.

 

Dongeng-dongeng hanyut bersama mimpimu

menemu sebutir buah dekat sang Pohon.

 

2021



KOGNISI SUNYI

 

1.

Aku pernah melihat hal-hal ini:

            tinggal dan membekas,

serupa jarum bila keheningan tiba

dan segala riuh berpulang—

            pernah menanyakan ihwal

dari pintu-pintu yang membuka

dan menutup pada pagi dan senja.

 

Masih, lewat hal-hal sunyi:

            ia berlari dan mengendap,

tapi ia  juga bergerak ke keniscayaan.

 

Daripada hari ini

            yang jauh dan membentang,

dan jam-jam patah kemudian.

 

2.

Kita tidak pernah menanyakan dalam diri

            ihwal dendam, kebencian atau cinta:

segala berjalan dalam sunyi,

di antara apa yang perlahan menengadah

pada kebenaran. Kenyataan yang meletakkan janji

dan harapan, yang bertemu bila

sepasang hati memberi.

 

Aku pernah melihat itu semua:

            dibentuk dan dikukuhkan

oleh waktu. Sorotnya, juga gerak yang meniti

saat-saat hidup dan pergantian.

Yang mengetahui perihal tersembunyi,

prasangka-prasangka dan pengingkaran.

 

3.

Pernah memandang jauh

terhadap apa yang perlahan menghilang:

            kukenal, di antara hal-hal besar ini

jemari menari,

sesosok biduan berbalut tawa dan tangis,

yang perlahan tenggelam bila hujan menggerimis.

 

Pernah menghela pendek

terhadap apa yang perlahan mengenang:

ketukanku pada pintu-pintu musim,

bangkit dan mengharap,

pada jejak-jejak pagi yang sembunyi.

 

Adalah hal-hal besar bila

sepasang mata enggan bertaut bertemu

dalam bisu. Waktu, sebagaimana kita menyebut

beringsut dalam takut,

dan sunyi yang merajai malam hari

menabuh desah yang terburu.

 

4.

Dan apakah kita,

selain kenangan yang dibentuk dengan masam?

Dengan bendera, himne-himne dipantulkan:

kita bergelanyut, senantiasa,

dan rapatlah hari dalam pungutan suara kebisuan.

 

Kita bepergian, menuntun jalan yang pecah.

Kita hendak menyulut kata ke dalam hati,

berderai-derai rindu

bersama kegusaran yang menepi di tengah perjalanan.

 

Dan apakah kita,

selain bahasa yang merendahkan diri pada keangkuhan?

Kita bergerak,

melenyapkan prasangka sejenak

dan berharap setiap konak

dengan rahim yang menggerutu:

berharap setiap gejolak

dengan ampunan  yang bisu.

 

5.

Orang-orang itu, aku tahu,

berbicara dalam gumam

berbaris ke setiap garis hari-hari,

dengan wajah pertama yang mereka kenakan

apabila gerimis tiba. Mereka, aku tahu,

bersenda-gurau dengan waktu

bersama malam apabila bulan pertama kembali.

 

Hari besar akan tiba: yang terbaca pada selempang di udara...

 

Dan mereka, aku tahu,

berpawai ke jalanan dan menghirup aroma bahagianya.

 

2018

 


KAFILAH BULAN SUCI

 

Di tangga menuju surga

di bulan langit berbintang,

kasidah dengung jauh

            memantulkan denyut

semesta kita. Cinta meraih,

pohon menjulang di keheningan.

 

Lalu sayup, engkau telah melihat ia kembali

bersejingkat, bergelayut sepanjang garis tepi pagi.

 

Orang-orang telah tiba dari hilir.

Segenap langkah terpanjat ke hulu.

 

Dan dari kafilah, bergema derap perjalanan.

 

2019


 

SUATU SENJA, SEBUAH LEGENDA

 

Sebelum hari libur tiba,

dia masih berjibaku terhadap kerja.

 

Langit membentuk awan-gemawan cerah

            menghuni atap angkasa. Adakah yang

menenteramkan jiwa selain sejuk pegunungan

mengalir jauh ke hilir dusun?

Di sinilah manusia menjalankan peran

            hidup, digenapkan kebisuan.

Hari-hari instrumentalia,

seorang lelaki jauh mengusap keringat mentari

            dari dahi sang bukit,

seluruh waktu tercerabut dari rahim,

lahir dengan denyar pusparagam,

kemelut mendingin dan ditinggalkan para perusuh

            di muara kasih.

 

Menggenggam tongkat jelmaan,

dia mengarahkan haluan

            ke pulau keramat.

Di mana obat, cawan-cawan madu,

anggur dan memorabilia pustaka,

mengisi buritan—sauhpun terangkat.

 

Pulang melindungi kita akan esok.

 

2019

 


 

PENYARU BUDIMAN

 

Yang datang di pagi buta,

mengenakan kenangan lampau

dari embun

adalah sepenggal lain cerita si penyaru budiman.

 

Mengembus bila dedaunan rebah,

            bak sepotong kayu

terpangkas dari renggat waktu.

 

Bepergian, dikenakannya penutup

            ingatan akan datang.

Langit tidur, jalanan bergolak

tapi berdendang juga cinta.

 

Ia masih ingat untuk membenamkan separuh

            biografi dan riwayat dicatat

sepanjang alur petualangan.

 

Cadar dari matahari, dari kalimat sunyi:

“Di mana ruang kosong bagi perindu?”

 

Tak disangsikan, tempat itu kini bunyi.

 

2019

 

DOSA LAMPAU

 

1.

Jam-jam di sekitarku menetas,

jadi buih—perempuan kaku yang mengendur;

wajah-wajah kutemui mengeras,

jadi titah lelaki jauh dari pantai.

 

2.

Siapa memainkan tangan dan bayangan,

            memainkan belenggu

di kaki hari Minggu.

 

Di mana surya menyerbuki bunga impian.

 

3.

Dosa adalah sebutir kerikil

            digelandangkan seorang diri

ke sungai pertobatan.

 

Di jeramnya seorang peminta-minta

            mengemis siang di malam sesal.

 

2019

 

BUDAK BELIAN

 

Di atas gurun ditundukkan gugusan bintang.

Kafilah letih mencari mata air

            ke negeri jauh.

Hanya mimpi tentang laut,

kapal-kapal melayari samudra biru

            jantungmu.

 

Gemerincing koin dijatuhkan

            di hadapan wajah keling,

tulang-tulang berharga

menyapu debu terakota.

Di istana mereka akan bertukar

kain dan makanan,

mengisi jam-jam sibuk

dan menghuni bukit pasir gembala.

 

Orang-orang bebas,

melihatnya berkeringat mandi mentari.

Orang-orang bebas,

di atas pelana kuda menundukkan bintang

            benua hitam.

 

Tersebut sebagai apa?

 

Utang mereka hanya menghilangkan risalah

dan perangai buruk,

seperti kemelut abad silam:

hari-hari barbar,

hak-hak milik tak bertuan,

jangkar yang dihanyutkan ke lubuk pantai asing.

 

2020



TENTANG PENYAIR


Rudiana Ade Ginanjar, penyair, lahir di Cilacap, 21 Maret 1985. Sejumlah karyanya tersebar di surat kabar, buku antologi bersama, dan media daring. Selain puisi, juga menulis esai dan terjemahan. Bergabung di Komunitas Sastra Kutub, Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kepudang No. 24 RT 05 RW 02 Desa Caruy, Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap, Kode Pos 53262, Jawa Tengah. Kontak: sur-el ke ginanjarpustaka@gmail.com, atau ponsel (WA) 081-327-581-231.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top