Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi H.M. Nasruddin Anshoriy Ch.

0

 


SULUK SULTAN AGUNG


Kautukar dendam itu dengan lima benggol luka lebam serdadu Belanda


Batavia bersaksi dalam kebisuan dan kebisingan 

Ciliwung menjelma sungai bangkai


Dari Kraton Kerto tanganmu mengepal ke langit

Keris dhapur Naga Kemayan luk lima di tangan kanan 

Dan tombak Korowelang bertahta emas di tangan kiri 

Kauikat tekadmu di Bukit Permoni


Malam Satu Suro hingga Rabu Pungkasan di Bulan Sapar

Suluk Sultan Agung tirakat merajah langit


Di tepi Tempuran sungai Opak dan titik-temu kali Gadjah Wong 

Kau arahkan anak panahmu tepat ke jantung Jan Pieterszoon Coen


Mukti atawa mati!

Mati atawa mukti!


Begitulah hujan deras berwarna merah mengguyur bumi Batavia

Meninggalkan jejak mantra dalam darah-dagingku


Gus Nas Jogja, 1 Muharram 1445 Hijriah


MUNAJAT HIJRAH


Bismillah Nawaitu Lillah


Air mata hijrah tumpah di bait pertama puisi 

Bulan Muharram membuka cadar kesadaranku 

Menyesali dosa yang malang-melintang di jalan raya usiaku


Bergegas berselancar di situs-situs tasbih 

Membedah fitur istighfar

Kubangun dermaga rindu untuk melabuhkan hijrahku


Hasbuna-Allah Wani'mal Wakil menjerit di dada kananku

Pertapaan jantung dan paru-paru

Melabrak kata-kata yang senantiasa menepuk dada penuh jumawa 

Dalam tiap helai nafasku


Doaku meledak 

Di cakrawala 

Langit biru tanpa pintu 

Mengiringi badai tangis dan banjir-bandang air mataku


Munajat hijrah menyeru 

Mencahayai mihrab tafakurku

Meninggalkan jejak pendosa 

Jiwa jahiliyah dalam usiaku yang sia-sia


Munajat hijrah memekik di telinga agar aku waspada dan siap-siaga mengucap selamat tinggal kefakiran dan kekafiran yang bersemayam di rongga dada


Munajat hijrah menyalakan alarm sebagai penanda bahwa virus malware sedang merayakan pesta dan kiamat kemanusiaan sudah tiba di depan mata


Suluk Muharram kusenandungkan di bibir legam

Jiwa yang kelu beringsut-ingsut dalam lorong berliku labirin waktu


Masihkah aku bersenggama dengan fatamorgana?

Bersenda gurau di kegelapan dan melalaikan cerah cahaya?


Menapaki limbo sejarah ini kupeluk mesra syahadat cinta

Dengan bahasa naif dan diksi tanpa aroma


Hijrahku merekam kata demi tergapainya cita-cita bagi terwujudnya keluhuran akal-budi bangsa

Hijrahku merekam pikir demi tegaknya daulat nalar putra-putri Ibu Pertiwi 

Hijrahku merekam jejak hingga jauh di seberang maut sana


Bertahun-tahun berbuat zalim

Berkubang kemunafikan dan melecehkan sesama anak-anak bangsa

Kini saatnya kuhijrahkan kata-kata, pikiran dan tindakanku


Hijrahku bersumpah untuk tak menggadaikan Ketuhanan yang Maha Esa

Menjajakan agama dalam lapak politik untuk berebut kuasa


Hijrahku memerdekakan manusia

Tegak-lurus berjihad mewujudkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Hijrahku merawat nurani dan kata-kata demi kokohnya Persatuan Indonesia


Hijrahku memastikan bahwa kerakyatan menggapai marwahnya dalam hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan


Hijrahku mengawal martabat Ibu Pertiwi dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 


Bergelantungan di selendang Nabi Muhammad

Kutitipkan salamku dalam tempayan kedamaian


Kuhijrahkan jiwaku dari comberan dosa dan kepalsuan

Kuhijrahkan kalbuku dari lumpur takabur dan ketamakan

Kuhijrahkan puisi-puisiku dari penjara makna dan kedegilan hati merasa paling sempurna 


La Tahzan!

Kutikam ketakutan dengan sujud sembahyang

Kulunasi hutang-hutang ketakwaan dengan silaturrahmi dan rendah hati


Gus Nas Jogja, 1 Muharram 1445 Hijriah


TITIK NOL HIJRAH


Merindukan Sang Maha Cinta 

Jejak kaki Muhammad kuhadirkan sebagai prasasti


Di Titik Nol Hijrah kutetaskan telur emas dari sangkar nalarku


Jejak langkah diiringi doa

Langit kelabu digulung menjadi masa lalu


Tak ada karpet merah bagi sang penggembala 

Tapi akar rumput yang dirawat dan terus dipelihara agar lestari hijau-suburnya


Kemanusiaan tak boleh beku

Kejumudan harus dipecah

Hati nurani tak pantas dipecundangi


Matahari Pembaruan telah lama terbit di Bumi Madinah

Firman Tuhan sudah melanglang langit dan bumi

Cahaya cinta terus menyala di mana-mana


Di Titik Nol Hijrah

Abad Jahiliyah telah kukubur dalam-dalam

Jelajah kegelapan telah menjadi abu 

Sang penggembala telah memetik saripati cahaya


Hijrahku adalah pangkal api revolusi

Menyalakan kembali marwah kemanusiaan

Bara kehidupan demi tegaknya peradaban


Gus Nas Jogja, 18 Juli 2023


FAJAR PERTAMA TAHUN BARU HIJRAH


Kuucapkan salam pada terbit matahari di pagi pertama tahun baru hijrah dengan memetik doa dalam setangkai puisi


Sembari menghirup udara pagi dan berkaca di bening embun, kubaca kembali jejak sejarahku dalam kitab-kitab tua di perpustakaan rindu


Mawar dan duri ternyata tak hanya sebatas kias, juga bukan soal melati yang kehabisan wangi


Kubuka jendela jiwa

Kulukis ilham kenabian yang memanjakan pandangan makrifatku

Pada kafan putih yang kujadikan kanfas

Kuhijrahkan kegelapan jahiliyah dalam comberan kemunafikan masa lalu menuju terang-benderang yang terangkai pada tenun cahaya di sujud sembahyangku


Kusapa langit biru

Kusalami awan kelabu

Kuselami telaga zikir di bening imanku


Sudah hijrahkah aku?


Dengan maskawin cinta

Kumaharkan kemesraan ini dalam kaligrafi puisi

Untukmu yang setia menjaga kesucian hati

Penyair bahagia yang rela merawat kata dari nafsu dan angkara murka


Gus Nas Jogja, 19 Juli 2023


MATAHARI HIJRAH


Kesusilaan itu sunyi

Kepongahan itu rimba belantara

Aku mendayung suara hati

Membelah gugusan batu karang


Akan kemana kuhijrahkan jejak jahiliyah ini

Saat arah kiblat sudah dibengkokkan oleh nafsu?


Bercocok-tanam di ladang akal-budi

Kugali-gali kebajikan dengan cangkul iman dan ilmu

Agar kekudusan bersemi

Agar kasih merimbun merindang di sepanjang jalan kemanusiaan


Hijrah itu indah

Saat puisi mewartakan suara surga


Hijrah itu bahagia

Manakala kasih sayang mengalahkan syak wasangka


Tak ada yang lebih indah dan bahagia

Tatkala hidup menjadi sebenar-benar manusia


Gus Nas Jogja, 19 Juli 2023


PRASASTI 1 SURO


Di Petirtaan Jalatunda kujamasi jimatku

Zaman Edan dan Gelombang Gelap Kalabendhu mengepung Tanah Air

Memuntahkan erupsi karma dalam semadiku


Sesudah Nogososro dan Sabuk Inten kurendam di air kelapa

Pusaka Kyai Kanjeng Kopek dan Tombak Kyai Plered

Menjadi saksi bisu tajamnya sembilu


Keris Kolomunyeng kuhadirkan dalam kepulan asap dupa 

Menjadi pengantin berkalung bunga melati yang dimahari para empu


Tegak-lurus tombak Karno Tanding kugenggam erat di tangan kananku

Mata malaikat menatap tajam angkara murka di tanah pusaka Jawadwipa 

Bumi suci berpagar gaib penuh digdaya Tanah Airku


Dengan Mahkota Ajisaka kutunaikan tugasku

Amanah para leluhur para pemburu

Cucuk lampah Ha-Na-Ca-Ra-Ka membelah sejarah Mantra Gula Kelapa dalam babad masa lalu


Kupatahkan tanduk gaib Dewata Cengkar 

Lalu kubenamkan kepala raksasa sakti itu ke dalam lumpur Bleduk Kuwu


Dalam tempaan doa Syekh Subakir dan istighfar Eyang Semar di puncak Gunung Tidar

Kuasah sangkur tafakurku dengan puasa bisu


Janji jiwaku menjaga Jawa sekejap mendidih

Merawat makrifat di langit Mahameru menjadi muasal api puisiku


Sebilah sumpah! 

Mahapatih Gadjah Mada berseru

Membelah batu karang keraguanku


Bhinneka Tunggal Ika

Tan Hana Dharma Mangrwa 

Kusebut dalam Sumpah Palapa itu

Kutancapkan di batu karang kesaksianku


Bangsa yang bertubi-tubi dirundung kesakitan

Negeri yang berulangkali dikhianati

Tak akan rebah walau dihantam fitnah ribuan kali 


Sebelum Guna Dharma moksa di Pertapaan Waktu

Telah kusingkap jejak gaib di puncak Menoreh

Menebas luka di ujung stupa

Aras Arupadhatu di puncak Borobudur yang megah itu


Satu Suro kukeramasi dengan harum dupa

Prasasti perang suci mengalahkan rasa congkak dalam diriku sendiri


Sayup-sayup kudengar suara gong berkumandang di Alas Purwo

Gemuruh tembang Megatruh mengitari bumi


Pertanda apa ini?


Gatra-gatra kehilangan guru

Guru laku dan Guru Wilangan saling berseteru

Macapat kiamat meruwat rindu pada puisiku



Gus Nas Jogja, 1 Muharram 1445 Hijrah


Riwayat Penyair

H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top