Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Bae Hae Jeong

0


Cahaya Lilin seperti Dongeng

 

Bae Hae Jeong

Aku menatap televisi tanpa melakukan apa-apa dan hatiku semakin menjadi kosong. Kaum pemuda yang berusia dua puluhan itu sudah menjadi kaya, dan hal itu menimbulkan iri hati karena mereka didukung dan dibantu oleh banyak orang termasuk orang tuanya. Aku kurang menyenangkan, hanya memutar-mutar 50 saluran televisi ke atas dan ke bawah. Secara kebetulan, remote kontrolernya mati pada saluran yang kosong, Wajahku dipantul pada layar televisi secara sembarangan.

Aku berjalan perlahan-lahan mengikuti jalan di bawah kakiku, tanpa sadar, aku sudah melewati usia pertengahan empat puluhan. Rasa yang mengelupas mengundang Kebosanan dan kekosongan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Aku melihat pesta kecil ini dengan tatapan kosong, dan entah bagaimana aku merasa mengantuk, pikiran yang lain muncul dan segera menarikku kembali ke dalam ingatan lama.

Pada liburan panjang yang pertama di perguruan tinggi, waktu aku berusia 20 tahun, Aku dan temanku bersemangat untuk mencoba arbeit yang belum pernah kami alami. Kami melihat iklan surat kabar di bagian lowongan kerja yang menyebutkan, "Bekerja sambil belajarlah dengan mudah dalam suasana seperti keluarga". Kami pergi ke pabrik pencelupan. Tapi ketika kami memasuki bangunan yang beratap dengan batu tulis, kenyatannya sangat berbeda dari yang kami bayangkan sebelumnya. Bau cat industri yang menyengat menghalangi hidung kami. Perempuan-perempuan sebayaku mengangkat wajah mereka untuk sementara melihat penampilan kami, dengan mata waspada, dan kembali menyikat. Sepasang suami-istri pemilik pabrik berdua saja memakai masker gas dan semua pekerja perempuan tetap bekeja tanpa alat pelindung apapun. Meskipun mataku sakit, kami tetap melukis garis-garis pada kain besar dengan kuas. Pemilik pabrik saja hanya memakai sarung tangan, dan pekeja perempuan lainnya tidak mengenakan apa-apa. Saat disentuh cat, tangan kami terasa gatal.

Kami bekerja selama sebulan, sambil menyesuaikan diri dengan bau busuk dan cat yang menyengat setiap hari. Jika kami terlambat satu menit mauk pabrik, atau jika cat menodai sedikit, gaji kami dikurangi secara sepihak. Sebulan kemudian, kami tidak menerima sepeser pun. Ibu temanku yang mengetahui hal itu, segera datang dan memprotes dan kami baru bisa mendapatkan sebagian gaji, tetapi kami harus dimarahi karena melakukan arbeit di pabrik yang berbahaya oleh orang tua.

Aku menyesalkan teman-teman lain yang tersisa di sana. Aku telah berbicara dengan mereka dari waktu ke waktu sambil menunggu bis setelah bekerja. Sudah berbulan-bulan mereka tidak mendapatkan gaji. Kebanyakan dari mereka berasal dari panti asuhan, tak punya uang, dan tak punya keluarga. Mereka mulai bekerja dengan sungguh-sunggh sambil memimpi kehidupan seperti orang lain. Tetapi, realitasnya adalah penjara tanpa pintu keluar. Pemilik pabrik sering datang asrama pekerja dan melakukan pemerkosaan tanpa memperdulikan apapun. Aku bertanya mengapa diam saja, mari kita coba litigasi bersama, mari kita cari jalan keluarnya, Namun, mereka mundur ke belakang dengan tatapan waspada seperti halnya pada hari pertama kami bertemu.

Para pemilik pabrik saling terkait erat, dan siapapun tidak akan mendapatkan pekerjaan jika mereka dicap sebagai pekerja yang bermasalah.

 

Ada teman-teman yang pergi entah kemana.

Mereka hanyalah gadis-gadis seusiaku, 20 tahun.

 

Liburan panajng musim panas yang pahit telah berlalu begitu. Pada suatu hari, seorang teman SMA menelepon aku yang sedang siap untuk berkonsentrasi pada studinya selama liburan panjang musim dingin. Dia memintaku membantunya selama beberapa hari saja karena perusahaan pamannya sedang mengalami kekurangan tenaga kerja. Aku tidak bisa menolak permintaan temanku, jadi aku meminta izin dari orang tuaku dan berangkat ke Seoul dengan kereta api. Aku tiba di sebuah kantor antara rumah-rumah petak di Sincheondong.

Ruangan itu penuh dengan orang-orang berpakaian hitam. Tas dan ponselku disita pada saat aku tertegun. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, segera memprotes, tapi temanku meminta untuk memercayainya dan meluangkan waktu selama seminggu. Aku membaca suasana yang sulit untuk keluar dari sana, akhirnya aku setuju.

Aku bepergian dengan mobil van dengan teman-teman sebaya dan tinggal dalam kelompok di beberapa kamar bawah tanah di rumah-rumah petak yang bentuknya sama. Delapan atau sembilan orang tinggal di dalam satu kamar kecil dengan kamar mandi sempit. Mereka yang datang dengan kaki sendiri, atau ditipu seperti aku, baru menginjakkan kaki di sana, menghabiskan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan seperti itu.

Ada penjaga di luar kamar dan di siang hari kami pergi ke suatu tempat dengan mobil sewaan. Di sana, terdengar dengungan tentang bagaimana sebuah batu berubah menjadi berlian. Anak-anak sebaya aku, mulai merangsang setelah mendengarkan ucapan yakni siapun akan menjadi orang kaya. Senyumnya mulai hilang dari wajahnya yang gelap. Aku merasa sedih karena di sana, penuh dengan sorak-sorai dan aspirasi yang palsu. .

Pada malam hari, kami makan seada-adanya saja. Setelah itu, kami duduk mengelilingi sebuah meja kecil. Sebuah lilin menyala di atas meja kecil itu. Satu per satu, kami menceritakan diri sendiri. Ada seorang gadis yang harus merawat adik-adiknya sejak kecil. Ada seorang perempuan yang tinggal bersama denan neneknya yang sedang sakit tanpa dirawat karena miskin, Ada juga seorang gadis yang harus mencari uang karena orang tuanya sedang mengalami kebankrutan. Ada seorang perempuan yang sedang menderita gangguan kognitif. Setelah mendengarkan cerita-cerita yang menusuk hati itu, aku tidak berani mengatakan kepada siapa pun saja, yakni tempat ini semuanya kepalsuan.

Aku tak dapat melupakan wajah-wajah yang penuh bersemangat sambil menceritakan harapan masing-masing di dalam cahaya lilin.

Aku menghabiskan seminggu yang kujanjikan dengan temanku, dan aku berhasil nyaris lolos dari tempat itu. Dan berapa hari kemudian. pada suatu sore, lewat berita televisi, aku melihat tempat itu yang tidak asing lagi.

Wajah-wajah yang bersemangat itu menjadi suram, dan dikeluarkan secara paka dari kamar bawah tanah,

Wajah-wajah mereka menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Bagaimana nasib mereka sekarang yang aku temui pada usia 20 tahun? Apakah kehidupan mereka yang berusia 40-an, sekarang lebih nyaman daripada 20 tahun yang lalu. Berapa saluran televisi mereka menampung kehilangan atau menyalakan harapannya masing-masing?

Aku beringinan mereka bersinar di saluran kosong yang mati.

Aku yang merasa bosan dan jenuh, diam-diam mematikan lampu di tempat pesta.

 

동화 같은 촛불

 

배혜정

할 일 없이 티브이를 쳐다보고 있자니 자꾸 마음이 허해진다. 저 어린 이십 대들은 벌써 부자가 되고, 많은 이들의 응원을 받는구나 싶어 부러워지기에 이른다. 기분이 내키지 않아 오십 개의 채널을 위아래로 몇 번이나 돌려본다. 그러다 하필이면 빈 채널에서 리모컨이 먹통이다. 대충 빗고 대충 입은 내 모습이 티브이에 비친다.

 

발 아래 놓인 길을 느린 보폭으로 걷다 보니 어느새 사십 대 중반을 넘어서고 있다. 예고 없이 찾아온 박탈감이 권태와 허무를 초대했다. 이것들의 소소한 파티를 멍하게 쳐다보다 어느새 졸리웠는지, 딴 생각이 스멀스멀 올라오더니 곧 옛 기억 속으로 끌려 들어갔다.

 

스무 살 대학 생활의 첫 방학에 친구와 나는 경험해보지 못한 아르바이트를 해보자고 신이 났었다. 구인 신문에 난 '가족 같은 분위기에서 어렵지 않게 배우면서 일해요' 광고를 보고 염색 공장으로 향했다. 그러나 상상했던 것과는 매우 다른 비주얼의 슬레이트 건물에 들어서자, 매캐한 공업용 페인트 냄새가 숨을 막았다. 내 또래의 여자아이들은 우리의 등장에 잠시 얼굴을 들어 경계의 눈빛만 비추고는, 다시 붓질을 했다. 사장 부부 둘은 방독 마스크를 끼고 있었고 아이들은 그냥이었다. 눈이 따가웠지만 쥐여 주는 붓으로 커다란 천에 라인을 따라 색칠했다. 사장 부부 둘이서만 장갑을 끼고 아이들은 맨손이었다. 페인트가 닿으면 손이 따가웠다.

 

그렇게 하루하루 독한 냄새에도, 따가운 페인트에도 적응하면서 한 달여간 우리는 일을 했다. 1분이라도 지각하거나, 물감이 조금이라도 번지면 월급의 상당 금액을 차감했으므로, 한 달 뒤 우린 한 푼도 받지 못했다. 뒤늦게 이 사실을 알게 된 친구의 엄마가 찾아가서 항의했고 우린 일부를 받을 수 있었지만, 위험한 공장에서 아르바이트를 했다고 꾸중을 들어야 했다.

 

그곳에 남은 다른 친구들이 마음에 걸렸다. 일이 끝나고 버스를 기다리면서 간간이 그들과 이야기를 나누었다. 그들은 몇 달 째 월급을 못 받았다. 대부분 보육시설을 졸업하고 온 친구들이었고 가진 돈도, 가족도 없었다. 성실하게 일해서 남들처럼 살아보겠다는 희망을 안고 시작했다. 그러나 현실은 출구 없는 감옥이었다. 남자 사장은 숙소에 찾아와 보란 듯이 아무렇지 않게 성폭행을 했다. 나는 왜 가만히 있냐고 같이 소송이라도 해보자고, 방법을 함께 찾아보자고 사정했다. 그러나 그녀들은 우리가 처음 만났던 날의 그 경계의 눈빛으로 뒷걸음질 쳤다.

 

공장 사장들은 끈끈하게 연결되어 있고, 잘못 찍히는 날엔 일자리를 얻을 수 없게 된다고...

 

그렇게 발붙일 데 없이 어디론가 떠난 친구들이 있다고.

 

그들은 고작 스무 살 내 또래 여자아이들이었다.

 

그렇게 쓰라린 여름방학이 지났다. 겨울 방학에는 학업에만 집중하리라 다짐하고 있던 어느 날, 고등학교 친구 하나가 연락이 왔다. 삼촌의 회사에 일손이 급하니 며칠만 일을 도와 달라는 것이다. 친구의 간절한 부탁을 거절할 수 없어 부모님의 허락을 받고, 멀리 서울까지 가는 기차에 몸을 실었다. 도착한 곳은 신천동 연립주택들 사이 사무실이었다.

 

좁은 공간에 검은색 양복을 입은 사람들이 가득했다. 어안이 벙벙해서 정신을 못 차리는 사이에 가방과 휴대폰을 뺏겼다. 뭔가 잘못되었음을 느낀 나는 항의했고, 친구는 일주일만 자기를 믿고 시간을 내어 달라고 호소했다. 당장은 빠져나가기도 힘든 분위기를 읽고 나는 그러겠다고 했다.

 

나와 비슷한 차림의 또래들과 봉고차를 타고 이동했고, 비슷하게 생긴 연립주택들 속 몇 개의 지하 방에 나뉘어 집단생활을 했다. 작은방에서 여덟 아홉 명이 숙식을 함께했고, 조그만 화장실이 딸려 있었다. 제 발로 찾아왔거나 나처럼 속아서 왔거나, 그곳에 발 들인지 얼마 되지 않은 이들이 그 생활에 익숙해지도록 시간을 보내는 것이다.

 

방 밖에는 지키는 사람이 있었고, 낮에는 봉고차로 어디론가 이동했다. 그곳에서는 한낱 돌덩이가 어떻게 다이아몬드가 되는지를 알려주는 열변이 끊이지 않았다. 나와 함께 생활을 시작한 또래들은 부자가 될 수 있다는 말에 흥분했다. 어두웠던 얼굴에 웃음꽃이 번졌다. 환호성과 열망으로 가득 찬 그곳이 나는 슬펐다. 거기 있던 이들이 꿈에서 깨지 않고 계속 머무를 수 있다면, 희열과 희망으로 인생을 가득 채울 수도 있었을까...

 

저녁이 되면 커다란 양푼에 간장으로 대충 비빈 밥을 나누어 먹었다. 그리고 작은 상을 둘러싸고 옹기종기 모여 앉았다. 상 위에는 촛불 하나가 켜져 있었다.  한 명 한 명 돌아가며 자신의 이야기를 꺼냈다. 어린 시절부터 동생들을 돌봐야 했던 소녀 가장, 병원비가 없어 치료도 받지 못하고 죽어가는 할머니와 살고 있다는 동갑내기, 부모님의 사업이 망해서 돈을 벌어야 한다는 몇 살 위 언니, 인지장애를 가진 또래 여자 친구... 마음을 후비는 삶들을 바라보면서, 나는 그곳이 거짓이라고 누구에게도 말할 수 없었다.

 

눈을 반짝이며 희망을 이야기하고 서로를 응원하던 그 말갛던 얼굴이 촛불에 어리어 아직도 잊을 수가 없다.

 

그렇게 친구와 약속한 일주일을 보냈고, 쉽지 않은 몸싸움까지 거치면서 겨우 빠져나왔다. 그리고 며칠이나 지났을까... 어느 평범하고 나른한 오후에, 익숙한 그곳을 뉴스를 통해 보았다.

 

빛나던 얼굴들이 죄인이 되어, 고개를 숙인 채 지하 방을 빠져나오는 장면이 텔레비전 화면에 꽉 찼다.

 

그 모습이 슬픔에 어리었다...

 

스무 살에 만난 내 또래들은 어떻게 지내고 있을까. 그들의 이십 대보다 지금의 사십 대가 좀은 편안할까. 그들의 티브이는 몇 개의 채널에 박탈감을 싣고, 몇 개의 채널에 촛불이 켜질까.

 

먹통이 된 빈 채널에 비친 그들이 말갛게 빛나길 바란다.

 

괜스레 내 권태와 허무가 머쓱하여, 슬며시 파티장 불을 끈다.

 

(Diterjemahkan oleh Kim, Young Soo)

 

Profil Penulis (작가 소개)

 


Bae Hye Jeong, naik panggung dunia sastra lewat Siwasanmun pada tahun 2022

배혜정, 2022<시와산문> 수필 등단

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top