Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Faiz Adittian Ahyar

0

 



KOPIAH KIAI DULLAH


“Sialan”

“Kutu Busuk memang!!!”

Jebul mengoleskan obat gatal di sekitar selangkangannya yang bernanah. Kulitnya kemerah-merahan dan ujung kukunya sampai menghitam. Sebagian daki di sekitar selangkangannya yang lembab, masuk pada sela-sela kuku. Jebul ingat betul perkataan Mantri Sukemi yang tadi malam memberinya obat. Dari beberapa pertanyaan yang muncul dalam dirinya, Jebul ingat petuah Mantri Sukemi untuk segera mengakhiri kisahnya dengan para perempuan. Sudah puluhan tablet peredam rasa nyeri masuk ke dalam perutnya. Tak ketinggalan salep dan segala macam anti-septik telah melumuri kulit selangkangannya yang lembab.

Beberapa makanan yang disajikan, sama sekali tidak menarik baginya. Sejak kemarin perutnya kosong, tak ada yang bisa membangkitkan nafsu makannya. Sebab itulah tubuhnya hanya mampu berbaring di kasur tipis. Matanya memerah seperti orang mabuk, pandangannya kabur, badannya demam, dan tenggorokan serasa ada yang mengganjal. Semalaman Jebul tak henti-hentinya mengurus selangkangannya yang tak beres. Sebab beberapa hari kemarin, ia meniduri Darsih. Jebul sama sekali tak menyangka bahwa Darsih telah terinfeksi bakteri Treponema Paliidum. Wanita tua yang ia temui di depan gedung bioskop saat dini hari itu, begitu mudah ia rayu. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Sebagian rambutnya sudah beruban dan cerah wajahnya telah pudar. Parasnya sudah tidak terlihat cantik lagi. Namun kebiasaan Jebul meniduri wanita, membuat ia tergoda kepadanya dan tanpa basa-basi Jebul langsung mengajaknya tidur. Tentunya dengan bayaran yang murah. Selang tiga hari, muncullah kekacauan yang membuat ia mengurung diri. Terlebih lagi Mantri Sukemi yang sangat acuh kepadanya. Suatu ketika Jebul memeriksakan kegatelan yang membuatnya naik pitam.

            Pintu diketuk. Sore itu Mantri Sukemi libur praktek di rumah kediamannya yang berada di ujung desa. Jebul duduk di kursi panjang berwarna putih. Kembali ia ketuk pintu. Tak didapati Mantri Sukemi yang sore itu tengah pergi ke kota. Pakaiannya lusuh, dibalut jaket hitam tebal bertuliskan merk sepeda motor.  Celana yang ia kenakan penuh dengan sobekan dan kelihatan kumal.

Tak lama kemudian Dalijo datang. Ia sehari-hari berjaga dan mengurus halaman rumah Mantri Sukemi yang teduh, penuh pohon dan bunga-bunga. Setengah badan Jebul tak bisa digerakkan. Sedikit gerakan, membuat luka yang bernanah dan menempel pada celana panjangnya, akan menarik kulit yang kemerah-merahan.

            “Kenapa tiduran di sini? Pergi sana!!!”

            “Anjing Buntung! Mana Mantri Sukemi? Aku mau berobat!”

            “Manusia sepertimu ternyata bisa sakit juga” Dalijo meledek. Memang dia dan semua warga desa sangat paham dengan tingkah Jebul yang begitu senonoh terhadap perempuan. Pernah suatu ketika, ia menyetubuhi bocah yang masih belia di sebuah kebun. Sialnya, ia kepergok oleh seorang warga. Hampir saja merka hendak mengebirinya. Beruntung saat itu ada beberapa tentara yang datang dan digiringlah dia ke kantor polisi. Hanya kurungan lima tahun dan setelah bebas, ia kembali dengan tingkah yang sama.

            “Pak Mantri sedang dinas ke kota” Ucap Dalijo sambil mengambil sapu dan membuka keran air. “Kalau kau mau menunggu, nanti kira-kira jam 9 baru pulang”.

            Jebul hanya terdiam dan menidurkan tubuh kurusnya yang semakin menggigil. Sampai malam, ia masih berbaring di kursi itu. Sudah tidak ada lagi tenaga yang ia punya. Selain harapan dari pertolongan Mantri Sukemi.

Sudah hampir jam 9. Dari kejauhan terdengar suara motor Honda 70. Sorot lampu dari arah motor datang, membuat mata Jebul berkunang. Dilihatnya Mantri Sukemi dengan setelan jas putih dan celana hitam. Mata sipitnya tertutup kacamata besar. Seperti anak bangsawan ternama, begitu gagah dan berwibawa.

“Adduuhhh,,,,,, Pak Mantri, Pak Mantri! Tolong saya” Ia mencoba bangun namun kesulitan. Tubuhnya benar-benar lemas. Dia tetap tertidur di kursi panjang itu.

            Sehabis memarkirkan motornya, Mantri Sukemi langsung memasang masker dan sarung tangan. Instingnya tajam, melihat orang yang satu ini, Mantri Sukemi sudah bisa memprediksi—bukan sakit yang biasa.

            “Kau kenapa?” Tanya Mantri Sukemi sambil merapikan sarung tangannya.

            “Gatal Pak Mantri. Sekujur kaki bernanah, badan juga mulai memerah.”

            Mantri Sukemi geleng-geleng kepala. Dia belum sempat memeriksa tubuh Jebul, namun pak Mantri segera mengambil tas hitam. Dikeluarkannya  beberapa obat anti-septik dan tablet peredam rasa nyeri, lalu dimasukan ke dalam kresek putih.

“Aku tidak bisa mengobatimu. Sakitmu sangat parah. Kau seharusnya bertaubat, hentikan prilaku burukmu.” Tegas Mantri Sukemi sembari menakut-nakuti. “Kelaminmu bisa membusuk jika kau terus-terusan.”

            Jebul hanya mengerang, meredam rasa nyeri dari tubuhnya yang tidak seperkasa dulu lagi. Mantri Sukemi menaruh kresek putih itu di samping Jebul.

            “Sudah tak usah bayar.”

Mantri Sukemi bergegas masuk ke dalam rumah. Mungkin ia merasa letih setelah seharian dinas di kota. Raut wajahnya sedikit kesal, sebab sesampainya di rumah, ia dihadang oleh Jebul yang meminta pertolongan. Padahal Mantri Sukemi sendiri sama sekali tidak suka dengan tingkah laki-laki yang terkenal suka bermain perempuan itu. Tak lama berselang, Dalijo keluar dari dalam rumah. Ia berdiri di depan kursi panjang.

            “Cepat pergi sana!”

            Jebul hanya terdiam. Sebab sakit yang dideranya, menjadikan ia begitu sabar dengan segala hal. Termasuk ucapan Dalijo yang semena-mena telah mengusirnya. Jika saja ia masih muda dan berbadan tegap, mungkin Dalijo bakal digorok lehernya. Jangankan Dalijo—yang hanya menjadi tukang jaga rumah, dulu sewaktu muda, ada seorang biduan yang sangat seksi. Tubuhnya seperti gitar Spanyol, wajahnya seperti artis televisi. Waktu itu, ia pertama kali menjajakan diri di kawasan bioskop. Berebutlah Jebul dengan seorang preman. Ia pun adu jotos dengan begitu sengit. Hingga akhirnya Jebul sukses membuat babak belur preman dengan pawakan besar dan kekar tersebut. Nasib baik, Dalijo berani semena-mena saat ia sudah tidak berdaya lagi.

“Cepat sana pergi!”

Jebul mencoba bangun dengan tenaga yang masih tersisa. Dipegangnya tiang penyangga atap beranda. Sejenak ia berdiam di situ, mengumpulkan tenaga untuk bejalan pulang. Kakinya gemetaran dan jalannya seperti orang pincang. Tubuhnya semakin lemas dan bertambah tak karuan. Dalijo pun menggotong kursi panjang itu ke samping rumah. Dicucinya dengan cairan sabun hingga bersih.

#####

            “Sialan”

            “Kutu Busuk!!!”

            Langkah Jebul terseok-seok seperti orang yang kalah perang. Menyusuri jalan pinggiran desa yang gelap. Perlahan Jebul memegangi celana tepat dibagian bawah perutnya. Hampir seperti tertusuk puluhan jarum, sebab luka yang mengeluarkan nanah, menempel pada celana dan mulai berbau anyir. Tidak jauh dari rumah Mantri Sukemi, ia tersungkur sebab tenaganya sudah habis. Kedua kakinya pun kaku kedinginan. Tubuhnya memanas dan tergeletak di tengah jalan. Kedua rahangnya saling menggertak, tangannya telungkup di depan dada gemetaran.

Dari arah belakang, terdengar suara orang mengayuh sepeda. Dilihatnya sorot lampu yang redup-redup dari arah sepeda datang. Mulut Jebul membeku, seperti ada yang membungkam.

            Astaghfirullah, kenapa tiduran di sini Kang?”

            Jebul tetap terdiam, tak ada satu katapun yang meloncat dari mulutnnya. Kedua tangannya tetap beringsut di depan dada. Seorang lelaki yang memakai baju putih, menaikannya ke sepeda. Jebul duduk dibagian belakang, dan lelaki tersebut membawanya pulang.

“Kreek”

“Kreek”

“Kreek”

            Derit suara ban yang mengenai selebor bertambah keras. Lelaki tersebut mengayuh sepedanya dengan pelan dan penuh hati-hati. Jebul merasa udara terus bertambah dingin. Ditambah lagi ia duduk di bagian belakang sepeda yang terbuat dari besi tanpa dilapisi busa ataupun kain. Selangkangannya semakin dirasa tak karuan. Bukan hanya seperti jarum, ia merasa ditusuk-tusuk belati di bagian pantatnya. Mulutnya semakin bungkam dan hanya menggigil menahan hawa dingin. Matanya bertambah merah.

Sepeda itu berjalan pelan di atas jalan desa yang belum diaspal. Sorot lampu yang berasal dari dinamo sepeda, menyala redup. Bunyinya semakin menderit bergesekan dengan ban sepeda.

            “Sabar Kang, sebentar lagi sampai di tempatku” Ucap Kiai Dullah. Dengan hati-hati ia terus mengayuh sepeda. Nasib baik, Jebul ditemukan oleh Kiai Dullah. Beliau adalah sesepuh kampung yang sejak dulu rutinitasnya memberikan pengajian dari langgar ke langgar. Kesederhanaan dan kebaikannya sudah tersohor di desa. Sebab itulah beliau dihormati oleh banyak orang. Terbukti ketika Kiai Dullah mendirikan pondok pesantren, banyak warga desa dan orang dermawan yang membantu pendirian pondok pesantren tersebut. Usianya kira-kira enam puluh tahunan. Namun badannya tetap segar dan masih cekatan mengayuh sepeda sampai ke kampung sebelah.

            Nang... Nang. Tolong bantu” Teriak Kiai Dullah sesampainya di depan halaman pondok—memanggil-manggil para santri. Beberapa santri melihat Kiai Dullah dari balik jendela. Mereka pun bergegas keluar, berlarian mendekati Kiai Dullah.

            “Bau apa ini?” Tukas seorang santri yang mendekati Jebul. Mereka berniat untuk menolongnya, namun ketika mencium bau anyir dari luka Jebul, beberapa santri menjadi sungkan untuk mendekat.

            “Sudah tidak apa-apa. Ayo sini bantu saya. Pegang tangannya. Kasihan, dia kesakitan” Ucap Kiai Dullah dengan penuh lembut.

            Dengan penuh takdzim kepada kiainya, para santri tersebut membawa Jebul masuk ke dalam salah satu kamar kosong di pondok. Seorang santri mengambil kasur lantai dan menyiapkan selimut. Tubuh kurus Jebul tergeletak di atas lantai beralas kasur tipis milik Kiai Dullah.

Tangan Jebul gemetaran merogoh saku jaket. Di ambilnya kresek putih yang berisi obat pemberian Mantri Sukemi. Jebul memberi isyarat agar Kiai Dullah membantunya memakan obat. Mulutnya tetap saja bungkam. Seorang santri yang lain bergegas mengambilkan air putih, beberapa makanan dan buah-buahan.

“Isi perutmu dulu Kang, sebelum minum obat. Makanlah sedikit roti atau buah.”

Jebul menggeleng. Dengan penuh terpaksa Kiai Dullah tetap menyuapi Jebul meminum obat dengan perlahan.

######

            “Sialan!”

            “Wanita Jalang!!!”

            Jebul tertidur sebab efek obat dengan dosis yang tinggi membuat matanya tak mampu menahan kantuk yang begitu dahsyat. Sebagian tubuhnya dibalut sarung dan kain selimut. Namun ia masih saja menggigil. Beberapa jam kemudian, panas tubuhnya mulai reda. Hingga adzan subuh menjelang, dia terbangun. Mendengar langkah kaki para santri yang pegi ke langgar, dia hanya bisa terduduk lemas di pojok ruangan. Matanya berkunang, mukanya pucat, rambutnya berantakan. Dia teringat kepada Darsih, wanita yang ia  tiduri beberapa hari lalu. Dibayangkan olehnya tubuh tua yang tidak lagi kencang. Hasratnya tetap muncul, sekalipun selangkangannya masih gatal dan terus mengeluarkan nanah. Namun dalam hatinya mulai muncul penyesalan yang mendalam. Gara-gara menidurinya, ia harus mendera sakit yang tidak tertahan.

            Kang”. Jebul kembali dari lamunanya. “Sarapan dulu Kang, perutmu perlu diisi. Nanti sehabis ngajar ngaji, aku antar ke rumah sakit.” Ajak Kiai Dullah “Kondisimu harus diperiksakan.”

Jebul menggeleng.

“Terimakasih Kiai telah menolongku”

            “Sudah kewajibanku Kang.” Jawab Kiai Dullah. “Kalau begitu, mending sampean shalat Subuh dulu. Tayamum-lah Kang

            “Tapi....” Jebul terdiam, raut mukanya sedih dan menyesal. “Aku terlalu banyak melakukan zinah Pak Kiai. Apakah Allah mau menerima shalatku.”

            “Tentu Kang. Bertaubatlah. Kembali ke jalan yang benar.” Ucap Kiai Dullah menenangkan. Hati Jebul pun melunak seketika, mendengarkan perkataan Kiai Dullah yang memberinya keyakinan.

            Kedua tangan Jebul ditempelkan ke dinding, lalu diusapkan ke wajah. Ditempelkan kembali tangannya ke dinding dibagian yang berbeda, lalu diusapkan ke kedua tangan secara bergantian. Demikian cara Kiai Dullah mengajari Jebul ber-tayamum dengan perlahan.

            Selepas tayamum, Jebul tertegun dengan air muka Kiai Dullah yang begitu cerah. Ditambah kopiah hitam yang pada ujung depannya kemerah-merahan. Menandakan bahwa kopiah tersebut sering terkena air ketika berwudhu. Seketika itu, Jebul begitu ingin memakai kopiah hitam yang menjadikan Kiai Dullah terlihat sangat menawan dan berwibawa.

            “Kiai, bolehkah aku memakai kopiahmu?” Jebul meminta.

            “Tentu saja” Kiai Dulah memberikan kopiah hitamnya kepada Jebul. Ia nampak begitu bahagia. Setelah itu, Kiai Dullah pergi untuk mengajar ngaji. Jebul pun shalat, namun beberapa kali ia terlupa dengan bacaan shalat. Dia menangis dan terdiam begitu menyesal.

#####

 “Sialan!!!”

“Wanita Jalang!!!”

“Kutu Busuk!!!”

            Obat anti-septik yang diberi oleh Mantri Sukemi sekarang tinggal sedikit.  Seluruh isi celananya telah basah dilumuri oleh cairan berwarna putih dan berbau tak sedap. Bintik-bintik merah yang tadinya hanya ada dibagian selangkangan, mulai merembet hingga ke perut. Ditelannya beberapa kapsul dengan air mineral. Dia menangis sebab tak ada lagi saudara yang mau mengakuinya. Dia hidup sebatangkara, tak ada istri terlebih anak. Hidupnya dihabiskan dengan bermain perempuan. Penyesalannya ia masukkan ke dalam sarung dan kain selimut. Tak lama kemudian ia tertidur dengan tetap memakai kopiah hitam milik Kiai Dullah.

            Pintu diketuk, lalu dibuka. Kiai Dullah melangkah pelan.

Kang, bangun Kang.”

Beberapa kali Kiai Dullah menepuk Jebul untuk mengajaknya ke rumah sakit, tetapi tak ada jawaban. Tubuh Jebul rapat tertutup kain sarung dan selimut. Kiai Dullah menepuk kembali. Tak ada jawaban.

Kang

Selimut dibuka dengan perlahan. Namun Kiai Dullah hanya mendapati wajah yang tersenyum dan begitu putih. Beberapa santri datang dan mengurus tubuh Jebul. Tersiar berita lelayu ke seluruh penjuru desa. Tak lama kemudian beberapa orang berdatangan ke pondok Kiai Dullah. Di antara dari mereka, terlihat beberapa wanita. Ada yang menangis—mungkin menyesal­—dan beberapa lainnya bermuka geram. Mungkin saja wanita-wanita tersebut pernah ditiduri oleh Jebul, sehingga mereka ingin melihat kutu busuk yang hobinya meniduri wanita bakal dimakamkan.

Seorang berkerudung lusuh, mendekati Kiai Dullah yang tengah mengatur pemakaman. Memang Kiai Dullah sangat menawan dan berwibawa memakai kopiah hitam yang di ujung depannya kemerah-merahan. Sehingga wanita tersebut sedikit canggung mendekati Kiai Dullah. Ia berjalan cepat, sambil merunduk dalam. Mukanya kusam, sama sekali tidak terlihat cantik. Disusul dua orang wanita lain yang berjalan di belakangnya. Mereka berkerumun dengan begitu malu di depan Kiai Dullah.

“Pak Kiai, maaf Pak Kiai. Anu,,,,Apakah saya boleh mengaji di sini?” Tanya wanita tersebut dengan begitu berat.

“Tentu saja.” Jawab Kiai Dullah. “Tapi mengapa kalian meminta diajari ngaji? Ini saya sedang mengurus pemakaman.”

Wanita tersebut hanya terdiam. Terlebih lagi dua wanita—lebih tepatnya teman dari wanita tersebut—yang bersembunyi di balik tubuh kurusnya. Hanya diam dan merunduk malu.

“Siapa namamu?” Tanya Kiai Dullah kepada perempuan berkerudung lusuh dengan rambut yang mulai beruban terurai keluar. Matanya begitu sembab, wajahnya merunduk begitu dalam. Terlihat menahan tangis dan keluarlah sedikit air mata. Ia seketika itu merasa menyesal dan kesulitan menjawab pertanyaan Kiai Dullah.

Anuuu,,, Darsih, Pak Kiai” Jawabnya dengan terbata.

                                                                                    Pasir Luhur, 14 Juli 2018

 Tentang Penulis

Faiz Adittian Ahyar, adalah seorang petani ikan Gurameh dari desa Pasir Kidul Kauman Kulon, Kec. Purwokerto Barat, Kab. Banyumas. Kini sembari bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di beberapa media masa seperti Tempo, Jawa Pos, Banjarmasin Post, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyumas, Radar Mojokerto, Suara Merdeka, Harian Waktu, Haluan Padang, Harian Rakyat Sultra dan Pikiran Rakyat. Email: faiz.adit11@yahoo.com



Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top