Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Jemi Batin Tikal

0

Kumpulan Masa Lalu di Tubuh Seseorang

Oleh: Jemi Batin Tikal

Pacarnya mengajak bertemu empat mata. Yang kemudian ia sadari itu adalah pertemuan enam mata. Rosi, gadis manis yang sudah ia pacari selama dua tahun, menggandeng seorang polisi. Gagah dan tampan dalam artian sebenarnya. Rosi membawa kabar yang membuat dada laki-laki manapun akan rubuh. Katanya, ia ingin mengakhiri hubungan dengan Achri. Rosi hendak menikah, sedangkan Achri membuatnya terlampau lama menunggu. Kau tahu, menunggu adalah kutukan. Salah satu hal paling membosankan di alam semesta. Dan tak seorang pun ingin terjebak dalam dimensi yang tak pasti dan mengkhawatirkan itu, termasuk Rosi.

Masih dengan gaya yang sama seperti datang, Rosi pun pergi. Achri seperti bermimpi. Berkali-kali ia menyesap kopi yang dipesannya. Seperti kopi manapun di dunia ini, rasanya tentu pahit, kecuali ditambah gula, susu, atau pemanis apa pun. Pahit, kata yang paling pas disesap lidah pemuda yang memiliki wajah lugu, mendekati tolol itu. Begitu pula rasa yang membasahi dadanya. Pahit, semakin pahit. Achri merasa, Rosi datang bagai hantu seram, yang pergi dengan samar-samar. Meninggalkan seutas getar ketakutan di jiwanya.

Kopi tandas, tinggal ampas. Dan ia tetap saja merasa bermimpi. Tapi, satu hal Achri sadari, puisinya kalah dengan polisi. Ia ingat kalimat yang diucapkan Rosi, saat puisinya pertama kali diterbitkan sebuah koran lokal yang hampir bangkrut. Honornya cuma cukup untuk membeli dua liter bensin, dua mangkok bakso, dan empat bungkus mi instan murahan. “Teruslah menulis puisi, tidak apa-apa.” Terngiang-ngiang di telinganya hingga beberapa tahun kemudian.

Ya, puisi memang tak mampu menyelamatkan apa pun. Polisi tentu adalah pilihan yang masuk akal. Berguna untuk negara. Sedangkan dirinya, yang hampir berusia seperempat abad, tak berguna bagi apa pun, seperti harapan kedua orang tuanya, seperti harapan dunia, ketika ia pertama kali terlahir. Lagi pula, apa istimewanya puisi, di dalam masyarakat yang masih gemar bergosip, pikirnya putus asa. Puisi hanya ditulis orang-orang iseng, yang putus asa memandang dunia beserta tetek-bengeknya, tak mampu diubah, juga oleh kata-kata. Tolol, ya, tolol, pikirnya, jungkir balik bahkan sampai nungging menemukan metafora, rima-irama tepat, yang tak menghasilkan apa pun untuk dibanggakan.

Puisi, meski tak mampu menyelamatkan orang lain atau dunia, setidaknya mampu menyelamatkan penulisnya. Taek kucing, umpatnya. Ia kini membenci kata-kata bijak yang ditulis seorang, yang dikenal sebagai cerpenis dan novelis. Buktinya, puisi bahkan tak mampu mencegah pacarnya pergi. Sepotong kalimat motivasi basi-basi yang diucapkan pacarnya dua tahun lalu, awal mereka pacaran, kini terasa memuakkan.

Achri masih termenung di meja kafe itu, pandangannya kosong, seolah dari kejauhan sana, seseorang yang entah siapa, mengirimkan mantra-mantra, agar ia nampak bodoh malam itu. Dan memang kenyataannya, ia memang bodoh malam itu, bahkan bodoh sejak dua tahun lalu, atau mungkin ia bodoh sejak masih berbentuk benih. Benih yang berlomba-loma berenang mencapi garis akhir, hasrat dipeluk hangat sel telur. Benih yang terengah-engah dan bangga sebab mampu mengalahkan milyaran bahkan jutaan benih lainnya. Kebanggan yang nantinya bakal disesali. Terlahir adalah kutukan. Bodoh, pikirnya, dulu menyepakati perjanjian dengan Tuhan untuk dilahirkan.

Lalu, lahirlah benih tolol itu, selepas sembilan bulan meringkuk malas di dalam perut perempuan. Achri percaya, ketika dilahirkan, ialah puncak kejayaan perlombaannya. Oksigen, udara luar, detak jantung, adalah hadiah besar yang ia terima dari sang kehidupan. Tapi, tentu dugaan dan kepercayaan prematur itu, perlahan memudar seiring umurnya bertambah. Apalagi setelah ia berusia remaja, lalu beralih ke fase dewasa. Kemenangan taek kucing, pikirnya kesal.

Melamun, nampaknya adalah bagian dari ledakan waktu yang tak terasa. Lamunan yang singkat itu, telah menguras waktu kurang lebih empat jam. Jam bundar pendiam di dinding kafe menunjukkan pukul 12 malam. Pelayan kafe, membereskan sisa pelanggan lain di meja. Sindiran halus. Namun, bagi Achri, dalam keadaannya yang jadi pesakitan cinta. Aktivitas membersihkan meja itu adalah sindiran keras dan ia merasa seluruh dunia membencinya. Menoleh kiri-kanan, melompong, dialah pelanggan yang belum pulang. Dengan menahan gejolak di dadanya agar tak tumpah di mata. Achri membayar ke kasir dengan tangan gemetaran. Petugas kasir menduga ia terlalu lama terpapar AC dan kedinginan.

Di luar, motor matik butut murahannya, terlihat menyedihkan, sama seperti yang punya. Achri setengah melamun ketika menyetir menuju pulang. Ia mengenang jalan-jalan yang pernah ia lalui sembari membonceng Rosi. Ingatan yang menambah kepedihan dan kenyataan buruk malam ini. Wajahnya yang tolol bertambah kadar ketololannya, sebab muram dan pucat. Achri lunglai di pemberhentian lampu merah. Dalam kesadaran yang tak penuh, suara klakson mobil di belakangnya, ia kira peringatan jika lampu telah hijau. Ia melaju. Dan sebuah sedan hijau tosca menyambar tubuh kurus dan motor bututnya dari arah kanan. Terpental 15 meter. Tubuhnya yang ringan melayang-layang menghempas aspal jalanan yang dingin.

Mobil sedan yang menciumnya, pergi tak peduli, mirip yang dilakukan Rosi. Beberapa warga sekitar dan para gelandangan yang penasaran mengerubungi tubuh menyedihkan itu. Orang-orang yang masih memiliki perasaan sebesar biji zarah, yang iba melihatnya tak berdaya bagai seekor kucing buduk, menggotong dirinya ke rumah sakit terdekat.

Para dokter dan perawat yang lelah bekerja seharian, hendak menolak tubuhnya yang hampir mirip seonggok tai ketimbang daging. Namun, atas dasar kutukan kode etik, dengan keadaan terpaksa mereka menerima onggokan tai itu. Membawanya ke ruangan yang segalanya putih. Selang oksigen dipasang, onggokan tai itu dingin, tak menampakan gerak apa pun. Setelah selesai melakukan prosedur yang biasa dilakukan untuk pasien kritis. Dokter dan perawat meninggalkan onggokan tai itu, pastinya tak ada orang yang ingin berlama-lama berada di dekat tai, bukan?

Sebab mereka bukan keluarga dan tak memiliki ikatan emosional apa pun terhadap Achri. Mereka tak berharap apa-apa kepada Tuhan. Kecuali, dua hal, semoga Yang Maha Esa tak menyiksanya berlama-lama dan tentunya tak menguras energi dan kantong keluarganya. Mereka berharap semoga besok pagi, saat matahari merekah cerah, onggokan tai itu sudah ditutup tanah, tak menyusahkan orang lain lagi.

Dalam masa koma itulah, Achri mengingat-ingat pertama kali kemenangan gemilang yang mampu diraihnya dulu. Kemenangan mengalahkan jutaan benih lainnya yang payah dan kelelahan. Ia juga teringat, ketika hampir mati konyol tenggelam di kali enam bulan lalu. Dadanya yang menelan air megap-megap dan nyawanya bersiap berenang menuju Tuhan. Namun, pikirannya yang masih dijaga harapan, memikiran satu hal, “Jangan mati dulu. Kau belum menerbitkan buku puisi.” Ajaib bin tolol bukan main, nyawanya justru terselamatkan. Energi terakhir di tubuhnya mengalir ke jemari tengah tangan kanannya. Dan jemari itu berhasil mencari ceruk kecil bebatuan pinggir kali. Dengan sekali hentakan napas, ia mengambil udara dan tenaga. Terus merayap hingga selamat. Jari tengah memang menakjubkan. Satu-satunya jari yang paling pandai mencari lubang. Kemampuan yang tak dimilik ibu jari atau jari kelingking.

Lalu, secara random, ingatannya mengingat-ingat kisah cinta yang telah terjalin bersama Rosi. Awal-awal pendekatan, ia sering membeli seporsi nasi goreng, bukan bermaksud romantis, memang uangnya cuma cukup membeli satu. Dua minggu adegan suap-suapan itu, tumbuh menjadi adegan mengecup kening pacarnya yang bagai pualam. Tiga bulan berpacaran, Achri sudah berani merangkul pinggang atau bahu Rosi. Tiga bulan berikutnya, ciumannya turun ke hidung, lalu turun ke bibir. Dua potong bibir paling indah di dunia. Kenyal macam permen mengandung gelatin berlebihan.

Hanya sampai di situ, bibir Achri tak pernah turun ke bawah lagi atau bawahnya lagi. Bukan karena tak berani. Tapi, ia merasa cukup dan bersyukur. Lagi pula, ia lelaki yang beriman pada mazhab romantis. Achri berkeyakinan bahwa ciuman bibir adalah sumber puisi dan segala yang melewati batas itu akan merusaknya. Keyakinannya itu tumbuh karena keseringan menonton film barat. Setahun bersama, tangannya telah terampil menciptakan kesenangan-kesenangan lain.

Saat Rosi masak di dapur, Achri suka memeluk erat pinggang pacarnya dari belakang. Tangan kanannya lalu merayap pelan memegang tangan kanan Rosi. Mereka masak bersama. Jika lewat tengah malam dan udara jadi dingin, di sofa busuk kosannya, Achri akan berbaring manja di paha Rosi. Tangannya dengan terampil mengusap-usap rambut pacarnya. Rosi sangat suka, ia merasa disayangi dengan lembut. Jika bosan, ia akan mengangkat kepalanya sedikit, lalu mereka berciuman. Ciuman yang membuat cecak-cecak di dinding cemburu. Ciuman membara, seolah itulah malam terakhir Achri memiliki bibir Rosi.

Kadang kala, Achri yang gemas suka memeluk tubuh Rosi, yang tak kurus, juga tak gemuk itu, ideal baginya. Adegan-adegan itu terus muncul menyesaki ingatan-ingatan Achri selama koma. Ia tersedak. Membuka mata dan menangis. Kumpulan masa lalu di tubuh pacarnya, lebih tepatnya mantan pacar, tak pernah ia miliki di masa depan. Tak pernah penuh ia miliki. Kepalanya berdenyut, “Jangan mati dulu. Kau belum menerbitkan buku puisi.” Suara itu terngiang panjang. Taek kucing, pikirnya.

Yogyakarta, 2021


Tentang Penulis


Jemi Batin Tikal, kelahiran Indonesia, Oktober 1998. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari sebuah kampus di Yogyakarta. Sedikit tulisannya berupa puisi, esai-esai pendek, tulisan jurnalistik tersebar di media, baik cetak maupun daring. Bergiat di komunitas sastra Jejak Imaji dan KebunKata. Bisa dihubungi via Instagram: jemibatintikal atau FB: Jemi Batin Tikal. No. WA: 081995321366, surel: jemiilham26@gmail.com.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top