Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Eko Setyawan

0

 



Harusnya Kami Tak Memercayai Ucapannya Malam Itu


Jika saja malam itu kami tak memercayai ucapannya, maka sudah barang tentu kami tidak akan menghadapi masalah ini.

Kedatangannya seperti bencana bagi kami. Saat itu, kami sibuk berjaga di gardu karena mengantisipasi berita yang sedang panas-panasnya dalam beberapa hari terakhir. Di luaran sana, simpang siur mengenai pencurian jenazah sedang marak. Apalagi ketika itu, di desa ada orang mati tepat di hari selasa kliwon.

Sebenarnya aku sendiri tidak memercayai namun bisa juga percaya hal semacam itu. Namun demi menghormati yang lain serta karena aku masih merasa bagian dari warga desa, maka kuputuskan untuk ikut berjaga di gardu. Tempatnya berada di jalan arah menuju makam. Gardu terletak segaris lurus dengan makam. Makam ada di ujung utara desa, sementara gardu berada di ujung selatan. Tapi untuk sampai ke kompleks pemakaman, harus melewati jalan setapak di antara rumpun bambu yang berjajar di kiri dan kanannya. Di sekeliling makam, selain berbatasan dengan rumpun bambu, juga berbatasan dengan ladang tebu.

Ia datang seperti gagak hitam. Kaoknya membawa kabar buruk bagi kami semua yang sedang berjaga. Suara gagak yang begitu mengerikan dan menjadi pertanda bahwa sesuatu yang ditakutkan akan terjadi. Maka kami menyimak apa yang ia katakan. Begitu meyakinkan hingga kami tidak bisa menyanggah perkataannya.

“Aku baru saja lewat dari desa Ndani. Di sana tadi ada ramai-ramai, katanya ada orang yang membongkar makam dan mencuri tali pengikat jenazahnya. Tapi kudengar dari mereka, pencurinya tidak tertangkap. Ia berlari ke arah timur. Kita sebaiknya siap-siap,” Lanjar berkata dengan meyakinkan.

Tapi aku meragukan perkataannya. Sebab dalam bicaranya, ia masih memakai kata ‘katanya’ dan hal itu sulit untuk kuterima. Tapi melihat antusiasme warga lainnya ketika mendengar ucapan Lanjar, maka kuurungkan untuk menyanggah ucapan itu.

“Apa benar yang kau katakan itu?” tanya Warta penuh selidik. Aku tahu ia juga meragukan ucapan Lanjar sebab kami berdua paham benar bahwa mulut Lanjar bisa disebut unthuk[1]. Omongannya ngedabrus dan sangat sulit untuk dipercaya. Kami memahami sifatnya.

“Iya sungguh. Aku baru saja mengantar istriku masuk malam untuk menunggu bus di Tugu Patok. Aku bertemu orang Ndani yang juga mengantar istrinya. Ia yang mengatakannya padaku. Lalu aku lewat sebentar ke sana, itung-itung survei. Dan aku melihat sendiri di sana ada ramai-ramai itu tadi,” kata Lanjar menjelaskan apa yang ia lakukan. Begitulah dirinya ketika bicara. Begitu tampak meyakinkan tapi nyatanya tak pernah bisa dipercaya. Aku sudah hafal sejak awal. Warta sering mengatakannya juga padaku.

Tapi apalah arti ketidakpercayaan kami berdua jika warga lainnya lebih percaya pada ucapannya. Ketakutan telah disebar oleh Lanjar pada orang-orang yang sedang berjaga. Kasak-kusuk pun menyebar cepat. Kami pun lekas membagi tugas. Meski bergerak dengan berat hati, tapi apa boleh buat. Apa salahnya juga sembari berjaga dan paling buruk yakni apa yang dikatakan Lanjar adalah benar. Menurutku hanya untuk antisipasi saja.

Ketakutan itulah yang memaksa kami membagi kelompok beberapa orang. Satu kelompok terdiri atas lima sampai tujuh orang. Pak RT yang membagi kelompok itu dengan cukup cepat. Berdasar teritori rumah saja katanya. Rumahku yang dekat gardu mendapat bagian di gerbang depan makam bersama Warta dan tiga orang lainnya. Warta yang ditugasi mengepalai kami karena keberaniannya. Artinya aku harus menjaga di bawah rindangnya rumpun bambu. Dua kelompok lainnya berjaga di sisi timur dan barat yang berbatasan dengan ladang tebu. Kelompok barat dipimpin langsung oleh Pak RT karena dari sana, dulu, kami menyebutnya sebagai jalur maling sehingga Pak RT memfokuskan penjagaan di sana. Lanjar turut serta dalam rombongan itu. Sementara di sudut timur didampingi oleh petugas Linmas di kampung kami. Aku merasa beruntung karena tidak harus berada di dekat ladang tebu. Bisa gatal-gatal di sana.

“Kelompok sudah kita bentuk, jadi kita bisa berangkat ke titik masing-masing sekarang. Kita bisa membawa senjata apa saja asal bukan senjata tajam. Bisa pakai bambu, bisa pakai batu, bisa juga pakai patahan tebu,” kata Pak RT dengan penuh kharisma tapi lantas diiringi gelak tawa. Senjata menggunakan tebu itulah yang kami anggap konyol.

“Nanti komunikasinya gimana, Pak RT?” tanya Warta meminta pemahaman.

Kami mengangguk seolah ingin menanyakan pertanyaan yang sama.

“Bisa nyopot kentongan di rumah-rumah,” sahut Lanjar dengan nada kemenangan seolah pahlawan.

Semua warga pun mengangguk. Kali ini bisa kubilang bahwa dia cerdas meski yang lebih menonjol adalah kesombongannya. Kami pun bergegas menuju titik yang telah ditentukan. Sebelum ke sana, tak lupa kami mengambil kentongan di rumah-rumah. Dengan berbekal kentongan dan senjata apa saja yang kami dapat di sepanjang perjalanan, kami berarak menuju makam lantas berpencar.

Warta berjalan di sampingku sementara tiga orang lainnya mengekor di belakang. Kami berdua mempunyai kesamaan, yakni: kami tidak menyukai Lanjar dan kami sama-sama tahu kalau apa yang dikatakan Lanjar lebih banyak bohongnya daripada benarnya. Bicaranya begitu licin. Ketika menceritakan sesuatu, ia selalu melebih-lebihkan seolah apa yang ia ceritakan begitu fantastis.

“Apa kau percaya omongannya?” tanya Warta padaku. Aku paham benar jika ia masih belum percaya dengan apa yang dikatakan Lanjar.

“Bisa percaya, bisa tidak,” kataku. Aku mengatakan itu karena masih ragu dengan keadaan sekarang.

“Mengapa?” tanya Warta penuh selidik.

“Aku bisa saja percaya jika ada pencuri tali jenazah, tapi ragu juga. Apa benar ada yang begitu? Ah, itu kan kepercayaan masing-masing orang. Tapi keraguan terbesarku bukan masalah itu. Keraguanku tak lain dengan omongannya. Aku ragu apa benar di Ndani ada yang sedang mengejar pencurinya ke arah sini.” Aku mencoba menjabarkan keraguanku pada Warta, sementara ketiga orang di belakangku sibuk membicarakan topik mereka sendiri yang tak jauh dari pencurian tali jenazah yang keramat karena meninggal pada hari selasa kliwon.

“Nah itu! Aku tidak percaya kalau ada kejadian di Ndani. Mosok ada ramai-ramai di sana tapi mereka tidak mengejar sampai sini. Kan jarak dari sana ke sini tidak jauh. Naik motor lima menit juga sudah sampai,” kata Warta diselimuti kejengkelan.

“Mungkin saja mereka fokus mencari di bentangan sawah di timur desa Ndani. Kan di sana cukup luas,” jawabku. Aku hanya menafsir saja. Lebih dari itu, juga untuk meredam kegelisahan Warta.

Pencurian tali jenazah memang bisa benar adanya bagi yang percaya. Tapi bukan berarti tidak benar jika tidak percaya. Kejadian itu pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Untuk tepatnya aku lupa. Saat itu, memang kejadian tidak terjadi di desa kami. Tapi saat itu, aku dan beberapa orang di desa berangkat bersama melihat kejadiannya. Sesampainya di sana, benar saja, kami mendapati makam itu sudah dikerumuni banyak orang. Benar-benar ada jenazah yang hilang tali pengikatnya. Aku melihat sendiri bongkahan mayat yang sudah dibungkus dengan kain kafan yang baru. Aku melihat hilangnya tali itu dari foto di ponsel yang ditunjukkan warga setempat. Setelah itu, aku di antara percaya dan tidak percaya.

Kami berlima pun sampai di titik yang telah ditentukan. Di dekat makam di bawah rumpun bambu. Masing-masing dari kami mulai membakar rokok. Aku mengeluarkan rokok filter dan mengoper kepada yang lain. Warta mengambil sebatang beserta dua orang lainnya. Sementara satu orang menolak karena ia membawa sendiri rokok kretek. Katanya kalau merokok yang filter seperti tidak merokok. Kami pun saling bertukar obrolan. Tak lupa, kami juga membakar sampah dari daun bambu beserta slumpring[2] sebagai penghangat beserta penerang. Tapi tak lama setelahnya, terdengar bunyi kentongan dari arah barat.

Seketika kami bergegas ke arah barat. Seorang dari kami memadamkan api dengan bambu di genggamannya dengan cara memukul sebelum pergi. Lantas kaki kami seperti melayang. Tak peduli bongkahan tanah dan patahan ranting, semua kami terjang. Warta berlari di depanku sebagai pencari jalan. Kami menyorotkan senter ke arah depan dan sekeliling. Hingga sampailah kami di titik barat makam.

Kami mendapati orang-orang yang bertugas di sana sudah meninggalkan tempat semula. Orang-orang yang bertugas di titik timur juga sudah sampai dan bertemu kelompok kami. Suara kentongan terdengar mulai menjauh tapi suara orang-orang yang berteriak terdengar jelas.

“Ke mana arahnya?” tanya Warta ke petugas Linmas.

“Kalau dari suara mereka, dari dalam ladang tebu ke arah sana,” jelas petugas Linmas.

“Kalau begitu ayo segera ikuti mereka!” Warta membakar semangat kami.

Suara teriakan riuh. Kami masuk ke ladang tebu. Aku sendiri dengan dada yang bergemuruh serta desir di sekujur tubuh tidak mempedulikan tubuhku yang gatal karena lecet oleh daun tebu. Aku terus saja berlari bersama rombongan ke aras barat ladang tebu. Suara kentongan sahut menyahut bersaing dengan suara teriakan kami.

Aku tak ingat benar apa yang dikatakan orang-orang saat itu. Di kepalaku hanya memikirkan bagaimana aku harus lari secepat mungkin agar tidak tertinggal rombongan. Hingga akhirnya keluarlah kami semua dari ladang tebu. Hamparan sawah dan kegelapan yang ada di hadapan kami. Bulan sedang tidak baik. Tak ada cahaya dari langit. Tak jauh dari kami, orang-orang kelompok Pak RT sedang menyapu hamparan sawah dengan cahaya senter.

“Di mana, Pak?” teriak Warta pada Pak RT dengan napas tersenggal lantas mendekat kelompoknya.

“Tadi ke arah sini,” jawab Pak RT dengan tak kalah keletihan.

“Berapa orang, Pak?” tanya yang lain.

“Belum kelihatan.”

“Kok bisa begitu, Pak?” Warta kembali mengajukan pertanyaan. Kulihat dengan samar raut wajahnya. Ekspresi yang aneh sekali.

“Lanjar mengatakan kalau dia lihat ada senter merah ke arah langit dari arah sini. Mirip laser yang dipakai anak-anak. Tanda itu biasanya digunakan sebagai kode untuk memulai aksi. Tanya saja padanya,” Pak RT menjelaskan yang terjadi.

Seketika kami semua menatap Lanjar. Aku melirik ke arah Warta. Wajahnya sinis penuh amarah.

***

Sejak kejadian malam itu, kini hidupku selalu dibayang-bayangi penyesalan. Mungkin juga yang lainnya. Kami harus merasakan dinginnya lantai penjara karena sudah menganiaya Lanjar. Hal itu kami lakukan karena ternyata ada pencuri yang beraksi di desa. Sementara kami sibuk mencari pencuri tali jenazah. Saat itu kami tidak bisa berkomunikasi dengan warga desa karena kami sedang berada di tengah sawah dan kentongan telanjur kami bawa. Sehingga pencurian di desa tak bisa terhindarkan.

Setelah sekembali dari pengejaran, kami mendapati keramaian di desa. Kami pun saling tatap. Tak lama setelah itu, berbekal senjata yang kami peroleh dari keberangkatan kami mengamankan makam, kami gunakan untuk menganiaya Lanjar. Warta mengobarkan amarah kami pada Lanjar. Warta berhasil menghasut kami. Harusnya, baik ucapan Lanjar atau pun Warta tak perlu kami hiraukan. Harusnya kami tak memercayai ucapan keduanya malam itu.

 

 

 

Tentang Penulis


EKO SETYAWAN, lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku yang telah terbit Merindukan Kepulangan (2017), Harusnya, Tak Ada yang Boleh Bersedih di Antara Kita (2020), & Mengunjungi Janabijana (2020). Memperoleh penghargaan Insan Sastra UNS Surakarta 2018, serta memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Karya-karyanya termuat di media massa baik lokal maupun nasional. WA: 089673384146, IG: @setyawan721. Surat-menyurat: esetyawan450@gmail.com


 



[1] Bicara berbusa-busa, tidak bisa dipercaya.

[2] Kulit yang melapisi batang bambu. Bila bambu sudah tua, kulit berbulu lembut ini akan mengelupas.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top