Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Wahyu Budiantoro

0

 

PENYAIR, TAMSIL DAN PENGALAMANNYA 

 

Riki Dhamparan Putra, pada pengantar bukunya berjudul Percakapan Lilin mengatakan puisi merupakan usaha penyair untuk melayani rasa bersalah-nya yang besar kepada hidup, lebih dari upayanya melayani pacar, keluarga, tanah air, dan Tuhannya. Perasaan bersalah itu tidak terjelaskan asal-usulnya, tak terduga batas-batasnya dan lambat laun berkembang menjadi semacam tragik bagi kehidupan penyair itu sendiri. Segalanya mendadak menjadi hampa, begitu sepi dari makna. Dalam keadaan itu, penyair tidak mengalami ketidakmengertian total tentang hidup yang menghidupinya dan hidup yang ingin dihidupinya. Semesta terasa sebagai madah yang buntu. (Putra, 2004: i)

Nampaknya, bagi Riki, keterlibatan perasaan dan pemikiran seseorang dalam menulis puisi, selalu diliputi oleh hidup yang dramatis dan berujung tragis. Sebagaimana orang-orang Papua yang tinggal di Abepura, Sorong, dan komplek penambangan emas Freeport. Hidup di tengah ancaman senjata, nyawa bisa melayang kapan saja, guna membela hak hidup yang paripurna. Saya membayangkan, dalam keadaan yang sangat mengerikan, orang-orang Papua menulis puisi dan kemudian membacakannya di depan para penyandera. Mungkin puisinya akan menjadi Epos yang melegenda dan heroik.

 Pengalaman yang tragik dalam kehidupan, sebagaimana rumusan Riki, bisa saja menjadi dorongan spiritual kokoh untuk melejitkan kreativitas dan intensitas puitik, atau malah terjun bebas kepada nihilisme, meminjam istilah Nietzsche, sehingga ia alpa akan tugas-tugas kemanusiaannya, atau bisa saja tidak memberikan pengaruh apa pun, sehingga penyair terus saja menulis puisi. Barangkali Riki lupa, menjadi penyair sesungguhnya profesi yang eksklusif. Penyair hidup dalam keyakinan, penuh cinta dan kasih sayang, bahkan bisa mengenal “diri sendiri dan Tuhannya, meskipun di dalam tabungannya, pundi-pundi uang ditentukan oleh seberapa sering puisinya dimuat media massa. Tragis sekali, hehehe.

Memilih jalan hidup sebagai penyair artinya memilih jalan sunyi dan jalan religiusitas. Apakah sunyi kerap diasosiasikan dengan kesepian dan keresahan bertubi-tubi? Belum tentu. Y.B. Mangunwijaya, akrab dipanggil Romo Mangun, memopulerkan istilah “tapa ngrame”. Sunyi di tengah keramaian, atau keramaian di dalam sunyi. Seseorang akan paham kedudukan dan posisinya sebagai manusia. Sedangkan dalam konteks religiusitas, Ludwig Wittgenstein, melalui Abdul Wachid B.S, mengatakan, pengalaman religius dalam kenyataan tidak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan pengalaman inderawi. Sementara itu, bahasa mempunyai keterbatasan hanya dapat mengungkap apa yang menjadi realitas inderawi. Karenanya, ada realitas yang dapat disentuh dengan bahasa, dan ada yang tidak (the unutterable) (Wachid B.S, 2008:61).

Sebab itulah, penyair harus hidup dengan kecerdasan, kekuatan, dan kerendahhatian, guna mendapatkan air di padang sahara, serta kesejukan di tengah terik cuaca. Penyair kudu membimbing, mendampingi, dan mendidik puisi-puisinya seperti anak kandung sendiri, hingga ia berkembang menjadi manusia seutuhnya. Oleh sebab itu, narasi hidup yang dibangun pastilah penuh dengan cinta, kasih sayang, dan keimanan (ketuhanan). Sebagai “orang tua” dari puisi, penyair wajib mengamati dengan teliti seluruh realitas dan fenomea puitik, agar kebahagiaannya tidak berlebih, dan jika ada masalah, tidak buru-buru bersedih. Saya jadi teringat sajak Joko Pinurbo yang berjudul Surat Kopi berikut: ..../ jangan buru-buru bersedih/ baca dulu dengan teliti hatimu/ sedih yang salah sumber masalah/.

            Citra kesemestaan yang demikian, saya temukan pada diri Faiz Adittian Ahyar (selanjutnya ditulis Faiz), penyair muda dari Desa Pasir Kidul, Kabupaten Banyumas. Totalitasnya dalam dunia kepenyairan tidak perlu diragukan lagi. Mengapa demikian? Hal itu terbukti dari pengakuannya sendiri kepada penulis. Ia mengatakan bahwa: “aku moh dadi guru, mergane nek dadi guru ngko aku jarang nulis maning. Aku kepengine kerja sing ana hubungane karo tulis-menulis.” Prinsipnya untuk terus menggauli kata-kata, hingga ia “menghamilinya”, sehingga lahirlah bejibun puisi-puisi, layak diapresiasi. Ia siap menjadi “orang tua” bagi puisi-puisinya sendiri, karena kelak ia menyadari bahwa tanggung jawabnya akan ditagih oleh alam semesta, hingga alam barzakh.

            Dalam pada itu, karena ia memiliki tanggung jawab untuk “membimbing” dan “mendidik” puisinya agar menjadi “manusia” seutuhnya, ia kerap bernarasi perihal ketuhanan, cinta, dan ihwal dinamika sosial-ekonomi. Lihat sajak Faiz berikut:

            Malam Sabit

 

            Meski hari-hari

Tak cukup untukku berdoa

Namun lewat puisi

Akan kuselipkan munajat pada-Mu

O, Tuhanku

Agar aku tak kehilangan

Waktu untuk terus

Sadar kepada-Mu

 

Berbicara pada-Mu

Aku karam

Di malam menyabit

Menjerit

Jiwa kerdil tak kuasa

Mengucap salam

Meski hanya awalan

 

Lewat wudlu

Dan sembahyang

Kusajadahkan kening

Pada-Mu

Di malam kudus

Syi’iran air mata

Membawa lelahku

Yang khusyu

 

Pasir Luhur, 2017

 

Sebagai “orang tua” dari puisinya sendiri, Faiz menyadari bahwa kekuatan yang azali adalah Tuhan Yang Maha Puisi. Dengan penuh kesadaran, ia  mengungkapkan bahwa doa adalah pangkal segala pahala dan kekuatan. Narasi tersebut sangatlah sederhana, bahkan termasuk sajak yang terang. Tidak ada citraan yang rumit. Makna bisa diresapi dengan leluasa. .../Aku karam/ di malam menyabit/ .../. Memang, untuk membangun metafora yang unik, penyair harus menajamkan penghayatan dan pengamatan. Pengalaman menjadi sumber terciptanya metafora. Sajak di atas, menurut hemat saya, baru sebatas verbalitas, namun kekuatan suasana (/di malam kudus/ syi’iran airmata/) bolehlah untuk dipertimbangkan. Bandingkan dengan sajak Sana’i berikut:

 

Selamat Malam

 

Kekasih, kulimpakan hatiku padamu –

            Selamat malam! Aku pergi.

Kau tahu keharuan hatiku yang dalam –

            Selamat malam! Aku pergi.

Apa aku tak bisa melihatmu lagi?

            Sungguh? Sungguh?

Kudekap jam-jam Perpisahan erat-erat –

            Selamat malam! Aku pergi.

Rambutmu yang nanar dan wajah berseri

            Menawan dan menjerat

Membuat hari-hariku kelam dan muram

            Selamat malam! Aku pergi.

 

....

Abdul Wachid B.S mengungkapkan sajak Sana’i tersebut melukiskan bagaimana saat malam hampir berakhir di ujung pagi sehingga seorang pecinta merasa sangat berat meninggalkan pertemuannya dengan Tuhan (“kekasihku”), yang dicitrakan dengan sebagaimana kekasih fisik perempuan dengan “/rambutmu yang nanar dan wajah berseri/ menawan dan menjerat/. Namun, citraan fisik perempuan itu pada kahirnya diposisikan sebagai penanda saja dari eksistensi Allah (Wachid B.S, 2008: 100).

 

 

 

 

Periksa lagi sajak Faiz berikutnya:

Di Sebuah Makam

            : Syekh Maqdum Wali

 

Ada yang tak bisa diam

Dari dzikir malam

Di sebuah pendapa

Tengah malam, harum dupa

Dari kejauhan

 

Di pergelangan tangan

Tasbih bergulir

Mengelilingi tubuh yang gigil

Dari bulu kuduk

Yang bangkit

 

Pandar cahaya

Kulihat dari celah

Ruang yang terkunci

Ia menghuni

Dalam ruang waktu

Tak mampu

Akal dan jiwaku menjangkau

Kesekian kali

Datang kemari

Mencium aroma wangi

Kasturi

Dari sebuah

Salam

 

Di pergelangan tangan

Kemerlap cahaya

Di ruang terkunci

Semakin jelas

Menyala

 

Karanglewas, 2017

 

Agaknya, tema-tema agama menjadi problematika bagi Faiz. Sajak “Di Sebuah Makam” belum memuat keseluruhan objek yang berada di area makam Syaikh Maqdum Wali. Sebab, bisa jadi, objek-objek yang terabai oleh pengamatannya menjadi kunci. .../ Tasbih bergulir/ mengelilingi tubuh yang gigil/ dari buku kuduk/ yang bangkit/. Mungkin, karena saking dinginnya cuaca pada saat berziarah, ia tidak sempat untuk melakukan pengamatan menyeluruh di lokasi makam, sehingga sajaknya terkesan kaku.

Memang, menulis sajak bernuansa ketuhanan perlu disertai pemahaman terhadap tema-tema besar agama. Tidak jarang, penyair terjebak kepada “aku-lirik” yang privatif, belum sampai kepada “aku-lirik” publik (syiar). Sehingga sajaknya bersifat doktriner dan eksklusif. Sekalipun, pengalaman privatif seseorang kepada agama tidak boleh disamaratakan. Persinggungan diri (privatif) dengan Tuhan di dalam sajak, tidak akan kering apabila penyair memberikan sebuah tamsil. Setidaknya ikatan-ikatan syair Hamzah Fansuri berikut menjadi representasi: “Thayr al-‘uryan unggas sulthani”. Ikatan-ikatan ini menggambarkan jiwa seseorang yang telah faqir, tidak memiliki apa-apa selain kedekatan dengan cinta yang mendalam pada Tuhan. Kata al-thayr artinya burung (kadang-kadang Hamzah Fansuri menggunakan kata unggas, nuri atau burung pingai). Kata al-‘uryan, arti harfiahnya adalah telanjang. Maksudnya, jiwa manusia yang tak merasa memiliki apa pun selain keterpautan kepada Tuhan (Hadi W.M, 2012: 8).[1]

Pemakaian tamsil burung bagi jiwa yang telah mengalami penyucian diri (thadkiya’ al-nafs), pertama-tama seperti dikatakan Braginsky, diilhami oleh alegori Fariduddin al-‘Attar yang terkenal, Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung), yang kedua, menurut Edward Jamaris, sebagaimana dikemukakan Abdul Hadi W.M, adalah Hikayat Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah konsep sufi tentang hakikat kejadian yang sering ditransformasikan secara simbolik dari cahaya berkilauan dan mutiara menjadi burung pingai, untuk memberikan kesan keindahan dan kepermaiannya yang luar biasa (Hadi W.M, 2012: 9). Dalam konteks ini, untuk menulis sajak yang bernuansa ketuhanan (sufisme), barangkali Faiz perlu terus mengayuh sepedanya mengelilingi luas semesta, atau tetap pada kegemarannya merawat ikan dan burung-burung, sehingga tamsil yang digunakan menjadi menarik.

 

Sebagai “orang tua” atas puisinya, karena menyadari bahwa antara Tuhan dengan “kata-kata” itu memiliki kompleksitas kosmik yang rumit, atau memang justru Faiz tidak ingin puisi agamanya seperti menggurui, maka ia beralih ke tema yang lain, yaitu cinta. Cinta merupakan manifestasi keindahan Tuhan Yang Maha Esa, baik yang tersirat maupun tersurat. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi mampu mendefinisikan cinta dengan akurat. Keindahan cinta melampaui batas-batas imajinasi manusia dan merentangi ruang dan waktu. Kita tidak bisa memaknai cinta secara matematis. Bahkan ketika kita bertanya definisi cinta kepada orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan filosofis, belum tentu kita akan menemukan jawabannya.

Cinta adalah apa yang kau pahami sebagai kasih dan kemuliaan. Bagi para guru, mungkin cinta akan didefinisikan sebagai komitmen membimbing anak didiknya agar berkembang menjadi manusia berwawasan intelektual dan moral. Bagi petani, cinta bisa saja dimaknai sebagai ngulah bakti menanam, merawat, dan memanen padi di sawah demi keberlangsungan hidupnya. Bagi kiai, cinta mungkin saja dimaknai dengan piwulang dan pitutur luhur kepada santri-santrinya melalui kitab, al-Qur’an, dan hadits. Akan tetapi, bagi penyair, cinta adalah apa yang disampaikannya melalui perenungan, kata-kata, dan imajinasinya, sekalipun ia tidak musti tertuju kepada objek yang substansial. Pendek kata, rupa dan rasa cinta begitu beragam, tergantung siapa dan bagaimana memaknainya, sesuai dengan latar belakang kehidupan masing-masing.

Lihat sajak Faiz berikut:

Dari Doa ke Doa II

: kepada Allen

 

Di pananjung, untuk sekedar

Menatap senja yang mendung

Kau tak jadi pulang

Di jalan berlobang

Kita lebih asik

Menyantap langit

Dan meminum ombak

Sungguh laut

Tempat yang paling khidmat

 

Tak habis kita santap

Kita mencari malam

Dari pukat dan perahu yang tertidur

Di dermaga

Tak urung kita menaiki

Dan menjelajah samudera

Sesekali kudayung dan menjaga lajur

 

Kau boleh mencapai pesisir

Seperti debur

Pada putih pasir dan

Tanganmu terlentang di atas tikar

 

Matahari akan senantiasa

Coklat di dadamu berkeringat

Menghitamkan matamu yang

Senang begadang

Terlebih urusan puisi

Dan catatan harian yang menyibukkan

Antrean tanggal

 

 

Namun, aku tidak akan

Menetap

Di dalam batu karang dan ombak

Yang sedikit kau minum

Dan terlalu cepat kau pulang

Tanpa senja di kantong kresek

Untuk buah tangan

 

Kemudian dari megah karang

Aku akan memilih

Menjadi arus di sepanjang

Usia kita terbangun

Mengalir di dalam tubuh

 

Yang begitu kukenali

Sebagai mempelai

Di dalam tidurku

Menjalin setiap doa

Ke doa

Berakhir pada subuh

Menjadi penuh

Berkali-kali sepanjang pagi

 

Purbahayu, 2017.

 

Akar makna “cinta”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau khawatir. Sementara itu, dalam Kamus Psikologi, cinta merupakan perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta bernuansa emosional jika muncul dalam pikiran, dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer sesuai dengan emosi di mana objek itu berada (Wachid B.S, 2008: 53).

Pada sajak dari “Dari Doa ke Doa II”, terdapat sebuah peristiwa puitik yang berlatar pantai. Entah mengapa Faiz gemar menggunakan suasana pantai untuk memproyeksikan pemikirannya di dalam sajak (“Biru Laut Sesasmi II-IV”). Mungkin saat dia kecil, ia dilarang untuk bepergian ke pantai oleh bapak-ibunya, sehingga, ketika dewasa dan berkesempatan mengunjungi pantai, ia seperti burung yang lama disangkarkan, begitu girang, atau suasana di pantai membangkitkan gairahnya untuk berimajinasi tentang doa dan cinta.

Metafora “menyantap langit” dan “meminum ombak” pada bait pertama merupakan tamsil atas suasana dan perasaan “aku-lirik” kepada alam, sekalipun ia hanya perwakilan atas eksistensi cinta kepada objek tertentu. Akan tetapi, kata-kata “perahu yang tertidur” (bait ke 2) menjadi membingungkan. Barangkali akan lebih masuk akal menggunakan kata-kata “perahu bersandar”, “perahu mendarat”, atau “perahu menepi”. Konsep penandaan terhadap suasana harus dibangun dengan logika bahasa yang relevan, agar proyeksi dari perasaannya terpenuhi. Atau mungkin, yang ditekankan adalah kata “perahu”, yang oleh banyak penyair sufi dijadikan simbol kehidupan dan keselamatan (dalam peristiwa Nabi Nuh as). Hanya Faiz yang mengetahui, sebagai “orang tua” dari puisinya.

Pada bait ke 4, .../ matahari akan senantiasa/ Coklat di dadamu berkeringat/ menghitamkan matamu yang/ senang begadang/.../. Pertanyaannya adalah, sejak kapan “matahari berwarna cokelat”? dan sejak kapan mata menghitam? Bukankah sejak awal penciptaan, mata manusia memang hitam dan putih. Apakah sebelum itu matanya tidak berwarna hitam? Merah mungkin? Atau biru dongker? Jika yang dimaksud menghitam adalah kantung matanya, mungkin akan lebih mudah untuk diperoleh maknanya.

 Bagi saya, menulis puisi haruslah memiliki intensitas linguistik yang memadai. Sebagaimana hubungan keluarga yang memiliki intensitas komunikasi yang baik pula, baik secara jasmani maupun ruhani. Dalam pada itulah, beberapa puisi Faiz di atas agaknya  hasil dari intensitasnya (pengalaman) terhadap objek empiris (material). Dia mengalami secara langsung, sehingga persitiwa yang empirik diubahnya menjadi peristiwa simbolik di dalam puisinya.

 

Wallahu”alambishawab.

 

 

Tentang Penulis



Wahyu Budiantoro, Lahir di Purwokerto, 10 April. Saat ini ia tercatat sebagai Kepala Sekolah sekaligus pengajar di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto dan Logawa Institute Purwokerto. Baru-baru ini esainya menjadi salah satu yang terbaik pada even Bulan Bahasa Universitas Gadjah Mada (UGM) 2019 dan Balai Bahasa Jawa Tengah (2019). Beberapa tulisnnya juga pernah dipublikasikan di media cetak. Buku pertamanya berjudul Aplikasi Teori Psikologi Sastra: Kajian Puisi dan Kehidupan Abdul Wachid B.S. (Kaldera Press, 2016).



[1] Abdul Hadi W.M, Jejak Sang Sufi: Hamzah Fansuri dan Syair-Syair Tasawufnya. Makalah tersebut disampaikan pada seri Kuliah Umum Islam dan Mistisisme Nusantara, Teater Salihara, 21 Juli 2012.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top