Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Tri Astoto Kodarie

0



RISALAH KETIGA BELAS

 

Malam ini tak ada purnama yang diletakan

persis di atas jendela kamar memeram kelapukan

warna-warna cahaya hanya bias menggores tipis

membatasi ingatan yang tak lagi disisakan

“Dan malam keberapa kau pilih untuk datang?”

Tanyaku mengingatkan yang pernah singgah

Ada jawaban lirih: “Aku pilih ketiga belas.”

Kecemasanku diam-diam bergerak menjauh-mendekat

aku seperti tak mengenalnya lagi pada irama nadi

 

Bahkan malam ini adalah malam ketiga belas

tak juga rumbai bayangmu menghampiri jendela

tempatku menunggu, tempatku merawat perih

bersikeras tak mengaduh meski menjalar di pembuluh

tapi ini risalah bertahun lalu yang kubaca lagi

hanya begitu sulit kumaknai menjadi bimbang

 

Tetap saja kububuhkan tanda pada risalah ini

agar tak berulang atau menatap keji ke arahku. 

 

Parepare, 2021


 

MELUPAKAN YANG DATANG

 

Tak kunjung ingin dilupakan adalah pagi

dan semenjak itu hanya kusimpan saja cerita

di antara peristiwa aneh sepanjang ingatan

dijadikan saja gerimis yang kilaunya serupa petir

 

Tapi kedatanganmu yang diurai lirih angin

ingin segera kulupakan seperti kenyataan

yang selalu diikat nasib buruk membayang

sampai begitu sulitnya untuk memejamkan mata

 

Aku ingin melupakan yang datang setelah pergi

bayangnya masih tertinggal menyeringai menatapku

seperti lupa gula pada kopi menjadikan kepahitan

menyodorkan rasa keji di setiap tegukan

 

Yang datang entah kini berada di mana

tak pernah lagi melintas dengan terburu dan ceroboh

membiarkan rindu terserak di halaman rumah

pagi serupa buron, lelah dari intaian nasib.

 

Parepare, 2021


 

KARTU NAMA BERWARNA KELABU

 

Sudah kubaca berulang, kartu nama yang kau letakan

di bibir meja dekat cangkir kopi dan di belakangnya

bertuliskan untaian kalimat Gibran berwarna biru:

“Surga ada di sini di balik pintu itu, di kamar sebelah;

tetapi aku kehilangan kuncinya. Barangkali hanya

terselip entah di mana.”

Entah tegukan keberapa tak juga habis kopiku

malam dibiarkan bersandar sendiri di kursi

sambil mengeja namamu berulang-ulang

 

Setidaknya meski sejenak aku telah mengeja surga

di kartu nama berwarna kelabu

terasa memberi ruh kedamaian pada rasa perih

melupakan ketakutan akan mati

 

Pertemuan dengan kartu nama adalah jalan takdir

pada kecemasan untuk kembali setelah pergi

sebab semalam tak kunjung kutemui kunci pintu

seperti yang kau tulis di balik kartu nama.

 

Parepare, 2021    


 

ROMANSA PAGI

 

Gelap mulai mengetuk pintu hari

suara bersahutan ayam tetangga meninggalkan pesan

seperti aksara ditulis di gendang telinga

agar aku membacanya lewat getar gelombang suara

menafsir sinyal melalui urat kecil sarafku

 

Subuh telah menggelar sajadah di permukaan embun

saat surau di samping rumah pelitanya hampir redup

tafakur menyusuri dingin dalam hitungan waktu

sunyi lebur di gugusan yang maha luas

hanya pasrah kubiarkan menyelusup ke dada

 

Langkah di kesunyian seperti menjala rindu

selalu dikemas dalam tanda-tanda

bahkan pagi yang masih lamun sering bermadah:

Biarkan raga larut sampai lelah tapi tak punah

menyambung pangkal kehidupan yang amanah

 

Pagi masih ingin melangkah bersua beranda rumah

segelas kopi dan cermin berbayang penyeduhnya

waktu jualah yang akan mencatat pagi di ingatan

dan esok selalu akan memberi tanda lewat tafsir suara.

 

Parepare, 2021


 

RITUS BADIK

 

Percik cahaya berloncatan

asap semakin menebal, bahkan berkali-kali

loncatan api dari bilah-bilah besi

tanpa merasa cemas menghidupi udara

 

Entah dengan alasan apa

setelah dikeluarkan bilah besi dari api

deru percik api beradu dengan besi

menyusun kesakralan sebelum ditempa

 

Sebilah besi yang ditempa dengan jiwa

deras keringat menetes terbakar bara

meluluh sebagai bahasa sabda

pamor badiknya bergambar retakan kristal garam

 

Persis di bilahnya agak membungkuk

hulunya agak kecil meruncingkan pesan

agar bertuah dengan hulu kayu kemuning

warangkanya kayu cendana bertahta semesta.

 

Parepare, 2021


 

 

 

Tentang Penulis

 

Tri Astoto Kodarie, lahir di Jakarta, 29 Maret, besar di Purbalingga dan menetap di Parepare, Sulawesi Selatan. Buku puisi yang telah terbit: Nyanyian Ibunda (Artist, 1992) Sukma Yang Berlayar (KSA, 1995), Hujan Meminang Badai (Akar Indonesia Yogyakarta, 2007), Merajut Waktu Menuai Harapan (Frame Publishing Yogyakarta, 2008), Sekumpulan Pantun,: Aku, Kau dan Rembulan (De La Macca, Makassar 2015), Merangkai Kata Menjadi Api (Akar Indonesia Yogyakarta, 2017), Kitab Laut (YBUM Publishing Parepare, 2018), Tarian Pembawa Angin (YBUM Publishing Parepare, 2020) Tembang Nelayan Dini Hari (Satria Publisher Banyumas, 2021), Tak Ada Kabar Dari Kotamu (Satria Publisher Banyumas, 2021) serta puluhan antologi puisi bersama di berbagai kota. Kini penyair ini tinggal di Parepare, Sulawesi Selatan. Alamatnya di : Jalan Atletik No. 22 Parepare 91111, Sulawesi Selatan. HP. 08124240423. E-mail: astotosaja@yahoo.co.id.

         

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top