Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Dr. Sigit Mangun Wardoyo, S. Pd., M. Pd.

0



MERENANGI MAKNA DALAM PERPUISIAN 

YANG BERWARNA

: Apresiasi perpuisian Efen Nurfiana

 

Puisi merupakan ekpresi. Hadir di tengah-tengah pembaca dengan bermediumkan bahasa. Kata menjadi bagian penting dalam menyampaikan makna puisi sehinga menjadikan puisi tersebut mewujud dalam kedalamnnya. Membaca sajak-sajak Efen Nurfiana kita seolah diajak tamasya ke dalam berbagai “kehidupan dunia”. Kehidupan“perempuan”, kehidupan “keakuan”, kehidupan “religi”, kehidupan “cinta” dan kehidupan-kehidupan lain dalam potret penyair. Penggambaran “kehidupan” yang dihadirkan penyair dalam kumpulan sajak ini akan membawa pembaca merasakan suasana yang berbeda-beda, inilah yang menyebabkan perpuisian Efen menjadi berwarna sesuai dengan apa yang disajikan dalam setiap puisinya.

Kadang kita disuguhkan pada gambaran perempuan yang penuh dengan kisahnnya seperti dalam sajak “Perempuan Gabuk”. Sajak ini menghadirkan suasana penggambaran terhadap sosok perempuan yang sarat dengan segala dilemanya. Hingga dalam menghayati masalah tersebut perempuan berada dalam dunia yang kosong (Gabuk), tak mengenali diri dalam kesepiannya /kulihat kau dikitari kesepian-kesepian/ kau kehilangan diri/.

 

PEREMPUAN GABUK

 

Kulihat kau dikitari kesepian-kesepian

Malam-malam kau terjaga, saat pagi

Kau kehilangan diri

 

Ini adalah kisah perempuan gabuk

Hidup tak ubahnya waktu sembunyi

Kau datang kepada diriku

Sebagai diriku

Yang tak tahu diri

 

Saat sebagian bertelungkup di rumah-rumah

Di depan kaca kau menjadi diriku

Kau curi param dari dalam diriku

Kau balur kesakitan-kesakitan dalam dirimu

Dan aku jadi kaku

Kembali aku menjadi dungu

 

Oh perempuan gabuk, perempuan gabuk

Dahulu pernah ada beberapa orang

Berjinjit ke arahku

Namun yang mereka cari bukan diriku

Tetapi dirimu

Padahal kita sama-sama tahu

Tak ada yang mampu mengubahku menjadi dirimu

Kecuali,

Aku kembali menjadi diriku

 

Oh perempuan gabuk, perempuan gabuk

Akhirnya kali ini kau yang datang sendiri

Mencari-cari aku

Sementara lampu neon di pelataranmu ini

Tak mampu mengikutiku

Ke dalam sepi

 

Perempuan gabuk, oh perempuan gabuk

Sepi-sepi itu kemudian berputar-putar mengitari

Dirimu yang serupa aku

 

Purwokerto, 21 februari 2018

 

Selain sisi kehidupan perempuan dengan segala problematikannya, Kehidupan sosial juga dipaparkan oleh penyair dalam sajak “Parade Pasar”. Dalam puisi ini penyair mencoba memotret kehidupan dengan diksi tentang suasana pasar. Sebagai suatu tempat di mana bertemunya antara penjual pembeli, berinteraksi dengan berbagai kebutuhannya mereka masing-masing dalam mengarungi kehidupan ini /Kulihat para ibu menukar sayur-mayur/ Dengan bangku sekolah milik anaknya. Betapa kondisi potret sosial begitu tergambar dalam sajak ini, betapa orang-orang bertahan dengan berbagai usahanya untuk bertahan hidup. /kemudian aku berjalan di atas carut marut/upah pekerja/di antara berjajar kaum muda yang /siap menyimak nasib yang sama/

 

PARADE PASAR

 

Kemudian kuintip dari gigir ibu

Orang-orang datang dari ranjang

Dan para pedagang yang begitu tengadah

mengais rupiah

 

Sesaat sepenggalah matahari naik

Kulihat para ibu menukar sayur-mayur

Dengan bangku sekolah milik anaknya

 

Kemudian aku menepi di antara

Lelaki tua dan beberapa tempat duka

Lelaki paruh baya memeluk buku pelajaran

Sambil asik bercerita

 

Tentang bayaran sekolah yang nunggak

terus merambahi mata-telinga

malam-malam ia seperti tidur di atas miang

 

lepas dari segala raut muka

tangan-tangan terbungkus lumus

aku duduk nguncup, berderak-derak ketakutan

menutuk ladang nasib, menyeret tubuhku

ke dalam tajam batu

 

hujan membecak tanah, para bakul tetap memikul

aku termandam, memandangi gadis cilik

ia nampak menyenyumi penunggang kuda

meski susu sarapan paginya digondol pergi

 

kemudian aku berjalan di atas carut marut

upah pekerja

di antara berjajar kaum muda yang

siap menyimak nasib yang sama

 

Purwokerto, 11 Desember 2017

 

Bukan sekedar masalah kehidupan sosial disuguhkan dalam perpuisian efen, kita juga diajak merenangi ke dalam dunia religi yang tergambar dalam sajak “Sajadah”. Betapa diksi begitu lekat dengan pesan yang ingin disajikan oleh penyair, seperti diksi sajadah, hari pengampunan. Diksi sajadah adalah merujuk pada suatu pirati yang disediakan sebagai tempat untuk melakukan komunikasi antara  manusia sebagai makhluk ciptaan dengan  Sang penciptanya. Harapannya dalam kondisi tersebut manusia mampu menemukan jalan untuk kembali menjadi sesuatu yang telah digariskan. Tidak ada kata terlambat untuk menemukan kembali jalan pulang ke arah keilahian, /Meskipun pada barisan paling belakang/Suara-suara tampak meminta kau kembali/.

SAJADAH

 

Gelar sajadah panjang ini pada  hari pengampunan

Agar kau dikarunia banyak pintu

Seperti yang pernah kau katakan, kita tak perlu

Kunci untuk masuk kapan saja

Meskipun pada barisan paling belakang

Suara-suara tampak meminta kau kembali

 

Purwokerto, 9 Juni 2016

Selain tema dan pesan-pesan puisi dengan suasana yang telah dipaparkan di atas, masih terdapat  warna yang lain yang disodorkan kepada kita yakni suasana romantis tentang kisah cinta wajarnya manusia dalam kehidupan ini. Rasa kasih dan cinta tampak jelas tergambar seperti dalam sajak “musim semi itu”. Puisi yang mengisahkan suka dukanya menjalin suatu ikatan asmara yang dijalani oleh wanita dengan pasangannya /Sementara air mata yang kau kirimkan/Meminta harum kembangku/Lantaran kecewa yang mengendap dalam hatimu. Sebagai penebusan noda yang tempo hari kulukiskan pada kertasmu. Kisah cinta yang dituliskan pada sejarah kehidupan dijalani dengan derai air mata karena adanya rasa kecewa yang membalur di hati.

 

MUSIM SENYUM ITU

 

Semua salahku memang, tak pernah percaya bahwa senyum

Adalah musim

Jika tidak demikian pastilah kau izikan kupungut lagi

Cinta yang gugur dari setangkai mawar

Sementara air mata yang kau kirimkan

Meminta harum kembangku

Lantaran kecewa yang mengendap dalam hatimu

Sebagai penebusan noda yang tempo hari kulukiskan pada kertasmu

Telah usai semua memang, namun petang ini

kurindukan segelas kopi hangat

Yang biasa datang dari tanganmu

Tentangmu yang hilang bersama badai air mata

tempo lalu

 

Purwokerto, 17 Desember 2015

 

Inilah kekuatan perpuisian dengan berbagai warna yang dihadirkan oleh Efen. Namun sisi lain, keberagaman warna puisi yang dihadirkan oleh penyair, akan membuat pembaca merasakan lompatan-lompatan dunia rasa. Pembaca harus mampu membolak-balikkan rasanya untuk dapat mengikuti dan menikmati puisi tersebut. Tentu saja keadaan ini akan menjadikan pembaca begitu sulit mengondisikan perasaanya secara total atau secara penuh di dalam penghayatannya.

Wajar adanya ketika rasa yang awalnya tercipta dalam diri pembaca karena membaca satu puisi, tiba-tiba harus beralih lagi kepada suasana yang berbeda. Semua ini tentunya dibutuhkan suatu penghayatan ekstra agar pembaca mampu menangkap pesan, dan menikmati suasana yang dibangun oleh penyair.

 

Benang merah yang dapat ditarik untuk membingkai perpuisian saudara Efen adalah “keberwarnaan rasa” ini dapat kita temukan dari diksi-diksi yang tersaji di dalam setiap bait-bait sajaknya. Seperti pilihan kata  “Badai air mata”, “Sajadah”, “Perempun Gabuk” dan lain sebagainya. Oleh karena itu cakrawala atau horison pengetahuan pembaca dituntut untuk mampu menyelami setiap kata yang dihadirkan oleh penyair.

 

 

 

 

BIODATA

Dr. Sigit Mangun Wardoyo, S. Pd., M. Pd., adalah Dosen di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

 

 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top