Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Teddi Muhtadin

0



MENUNGGU

 

butir butir biji rumputanlah yang tahu

ketika titik-titik hujan pertama menyapanya

mereka segera bangkit dan tumbuh

menghijau

 

mereka berharap menjadi darah menjadi mata

mengembik menjadi kambing dan berjalan

di padang padang yang terbuka

 

tetapi kemarau mengekal tahta

“tak ada janji pada hujan!”

katanya


 




TENTANG API

 

karena dekat adalah bara

kenangan kenangan bambu

berangkat memasuki hutan kembali

 

tapi kita tahu

tak ada hutan yang baka

api telah membakarnya

sejak nafsu yang pertama

 

maka dimusnahkannya pasar

orang orang lengah

orang orang yang kalah


 

 



MALAM

 

gelap membakar api

silalatu menunjukkan jalan jalan baru

 

di persimpangan

aku dengan langit kosong

arah dan pertimbangan

tapi engkaukah itu

samar sekali


 



 

MANGLAYANG

 

/a/

malam yang diusik oleh semacam inisiasi

melambat bulan melambat gerak cemara

yang bertasbih di ketinggian manglayang

 

/b/

di sini terasa lebih tenang menatap lembah

yang sekali waktu pernah berpijar

lembah kunang kunang

lembah yang anggun

 

/c/

yakni sebuah kota yang pulas sunyi

yang mesti kujumpai esok pagi

karena janji

 

1996


 

 



KETIKA MENJEGUK

 

kujenguk engkau dalam sakitmu

karena cuaca tak bisa dipercaya

berlarat larat engkau demam

tapi bangkit pula

 

ya

di sini aku semakin merasa dihubungkan

dengan talkin

dengan orang orang yang kehilangan

 

kujenguk engkau dalam sakitmu

karena beradab abad

aku merasa telah diundangnya

 

1997


 

 



KETIKA DI EMERGENCY

 

tapi kita tak boleh menjerit

atau mengenang marka jalan yang gelisah

oleh luka atau papa

 

yang mungkin adalah mencermati dengan takzim

bagaimana tangan mahahalus itu

menusukkan detak jarum waktu

ke jalinan rumit pembuluh

 

di ruang yang menyempit itu

lampu lampu runduk bagai usia yang

ditangguhkan

 

1998


 

 



KETIKA BANJIR MELANDA

 

setelah kita menutup pintu

kecemasan yang asing itu pun menyelinap

meja menjadi altar yang mengingkari kemesraan

ruangan adalah bayang bayang

 

rasanya kita paham

bahwa di luar hujan

air melanggar ruang ruang yang paling muskil

lumpur melumat padi

sawah adalah harapan yang lantas tenggelam

 

pukul sepuluh malam itu atau sebelas

ada jeritan yang melesat

mungkin dari dada kita

mungkin dari orang orang yang sengaja diutus

 

kita pun paham

ketika tiba tiba lampu padam

kita mestinya tidak lagi di sini

 

1998


 

 



DALAM KELAMBU

 

seekor nyamuk tersesat dalam kelambu

tak menemukan napas yang tenteram

semuanya bisu seperti martil dan kapak

sehabis pertengkaran

 

bercak darah, kaki kaki yang lemas

kehormatan yang usai direnggut

mustahil dikembalikan

 

malam itu seharusnya damai

kota bernapas lega seperti pengantin yang

berahi

tapi perempuan itu tergeletak sendiri

 

2000


 

 



PATUHA

 

gunung tua mantel gelap

helai kabut pada rambutmu

 

sebentar

mata jernih itu pun tengadah

menyihirku menjadi pohonan kerdil

di tepi kawahmu

 

dan seperti tercekam

kau tersedu lalu pingsan

 

apakah semuanya

karena puisi?

 

kawah tua hasrat purba

samar samar

rintik hujan

 

2000


 

 



KAWAH PUTIH

 

mestinya ada legenda di sini

misalnya tentang perempuan malang

yang terpendam di dasar telaga

atau laki laki yang marah dan menyumpah

lalu beku di dinding batu

 

keduanya tak ada

hanya tuan belanda itu saja yang tercatat

yang kagum dan gembira lalu surut

ke utara

 

selanjutnya orang orang lupa

juga para pelancong itu

 

di lembah ini pohon pohon menjadi kecil

udara penuh sulfur

hujan kabut dan suhu

terus merendah

 

2000






Tentang Penulis

 


TÉDDI MUHTADIN, lahir di Bandung, 9 Februari 1967. Pendidikan : SDN Sukamanah, Rancaekek (1974-1980), SMPN Rancaekek (1980-1983), SMAN Rancaekek (1983-1986), S-1 Program Studi Sastra Sunda, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Unpad (1986-1991), S-2 Ilmu Sastra UGM (2002-2007), dan S-3 Kajian Budaya FIB Unpad (2010-2015). Pernah mengajar di SMA YAS (Yayasan Atikan Sunda) Bandung (1994-1999), Unpas (1996-1999), SMA Muhammadiyah 5 Rancaekek (2000-2002), dan FIB Unpad (sebagai dosen luar biasa [1993-1999] dan dosen tetap sejak [1999]). Pernah menjadi Ketua Prodi Sastra Sunda Unpad (2009-2014), kepala Pusat Studi Budaya Sunda (PSBS) FIB Unpad (2017-2021), dan kini sekretaris Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda (PDP-BS) Unpad. Di luar kampus pernah menjadi redaktur Koran Sunda (2005-2007) dan bersama kawan-kawan pernah menerbitkan Jurnal Budaya Sunda Rawayan (1996), Dangiang (2002), dan Jurnal Pengetahuan Lokal Lopian (2021). Aktif menulis sejak menjadi mahasiswa. Karya berupa sajak, drama, dan esai dimuat dalam media massa berbahasa Sunda dan Indonesia, a.l. Manglé, Galura, Kudjang, Koran Sunda, Bandung Pos, Galamedia, Tribun Jabar, Pikiran Rakyat, dan Media Indonesia. Karya-karya yang telah terbit berupa buku a.l. Silalatu (kumpulan sajak Indonesia, ditulis bersama Enes Sobari, 1996), Ning (kumpulan sajak Sunda, 2004), Fungsi Sosial Kritik Sastra Ajip Rosidi (2020), Lain (Ukur) Éta (kumpulan esai tentang sastra Sunda, 2020).Menjadi editor, a.l. Kritik Sastra Sunda (2020) dan Polemik Sajak Sundadina Majalah Warga 1952-1957 (2021). Sering ikut serta dalam penjurian penulisan dan pembacaan karya sastra. Sejak tahun 2010 sampai sekarang menjadi juri tetap Hadiah Sastra Rancagé untuk sastra Sunda.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top