Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Muammar Qadafi Muhajir

1


CARA LAIN MEMINUM KOPI

 

Aku menghabiskan dan masih mencari

Di cangkir itu, ada sendang dan dasarnya

tetaplah misteri

Aku meminumnya seperti tenggelam

ke sendang, tertekan sebelum lepas

tanpa syarat atau luput sendirinya.

Apa yang kukenang adalah segala

yang kuhanyutkan ke sana.

 

Apa yang kuhanyutkan adalah

segala yang pantas kuhanyutkan kecuali racun

yang tiada penawarnya: kebingunganku sendiri.

Ketakutanku yang nanar terhadap apa.

Kau akan mendengar esok hari, seseorang

telah mati meneguk racunnya sendiri.

Akulah berita ketiadaan

yang menyemerbak ke seluruh kota.

Orang-orang tidak menemukan bukti

meski mereka telah habiskan setiap detik

yang melambat dan siapa pun tahu waktu tidak

biasa mengalah untukku atau untuk cinta.

 

Kadang kita harus percaya waktu berhenti

semata untuk kita saja atau kita terhenti semata

karena waktu saja. Dan aku sadar saat itulah

kesekian kalianya aku lagi-lagi mengalah.

Mereka menjadi tamak dan iri kepada

kesenyapan malam tapi bukan di sana

kutelentangkan kematianku.

 

Bila esok kau tidak sabar lagi.

Kau minum racunku dan

kau seduh hatiku: satu-satunya yang tersisa

dan masih bisa kau percaya.

Suntuk pencarianmu di situ.

Di hari kau menyaksikan sendiri

kesungguhanku yang tiada

berpura-pura

 

Kendari, 2 Januari 2022





 

ENREKANG: MALAM IALAH KOPI

~ tentang Om Asis ~

 

Paman mengenang hari-harinya

di setiap gelas arabika. Di sini, malam gugup

menyaksikan tubuhnya yang dipinjam

atau sebenarnya hilang dan terus dibicarakan

oleh orang-orang pasar Kalosi. Ada kalanya ia tidak

menjadi milik siapa-siapa. Ia terlantar dan berulang

bagaimana pun kunamai ia likatnya tetap saja.

Bulan dan bintang tetap menjadi tanda baca

yang lebih seperti pertanyaan daripada pernyataan.

 

Tapi kami bersyukur di Enrekang jalanan cukup

berlutut kepada para petani. Lalu perdu-perdu

dipanen dan biji arabika dihitung seperti anak

sekolah menghitung saksama

butir demi butir swipoa.

Kau tidak langsung melihat gelap di sana.

Ia malu dan terlanjur nyaman dikenang jadi misteri.

Layaknya hati yang berdalih pada percaya rasa,

biji kopi meminjamnya dari para ayah dan mereka

tidak membawa hitam itu pulang ke rumah.

Karena anak-anaknya selalu bisa tersenyum,

tiada tercela tanya kecuali tentang bagaimana

merah buah kopi sepenuh pandainya

menjadi ayah yang lain

bagi mereka yang meminjam malam:

kau, tahu para ayah telah belajar

menyembunyikan kesakitan itu,

mereka telah tamat

sejak merah telah berubah kelam

pada akhirnya, sebelum hati menawarkannya

agar tak menjadi racun lara.

"Kau tahu, aku tidak suka kopi saset.

Kopi ini lebih enak meskipun kau bilang ampasnya

lebih pahit dan ranggas daripada taman bunga di kota"

 

Paman selalu yakin jika kau masih

merasai pahit likat ampas sisa di malam-malam

gamang berarti masih ada tanah yang tersisa untuknya

entah itu untuk taman makamnya nanti atau untuk

menanam kopi di tanah lahir semata doa.

Nanti ia tahu malam tidak terlalu suka

dibicarakan hanya karena ia tidak lebih

gesit menyembunyikan berita seperti

koran tua memenjarakan cerpen

dan puisi masyhur dari kuda liar zaman.

Ah, kopi di sini cukup mengantarkan kami ke dipan

dan biarkan matahari menggelikan bagi kebun-kebun kami

yang senantiasa terlambat lelap dan bangun:

kabut seperti selimut rindu

yang lebih elus daripada randu

yang selalu mahal di pasar Kalosi.

Paman tidak suka kopi-kopi impor

berdatangan seperti musim gugur yang

dinantikan anak sekolah

"Aku ingin manusia hidup itu-itu saja.

Bisakah barista mengocok kopi bersama

ampasnya? Mereka telah teguk semuanya

lalu kehilangan jejaknya.

Sampaikan pada orang kota,

nak--aku membangun rumah

panggungku sendiri tetapi pasak-pasaknya

tidak segampang

aku pasakkan benih kopi

di tanah yang mandi dengan keringat kami

dan berselimut dengan risau hati kami.

 

Kendari, 26 Desember 2021

 

Catatan

Enrekang: Salah satu kabupaten penghasil kopi di Sulawesi Selatan.

Kalosi: Kalosi merupakan nama sebuah pasar di wilayah Kabupaten Enrekang.


 




KAONGKEONGKEA

 

Kita tidak cerita semata

mengenang tanah

yang bertasbih

dengan butir-butir kopi Kaongkeongkea

Mungkin sudah saat sudi kau menyeruput

pengakuan yang lain yang kau namai pasi

bagi telapak kaki Murhum.

Tapi aku tahu kubah gagah telah sempurna

di situ, di jalan setapak perdu dan rimba

bagi bilal yang membangunkan para petani

dari lelap yang gagu: Pelanduk

dari hutan Lambusango.

Kumandang yang teramat sekarang.

Tapi bila masih tersisa ampas lebih

seperti tanah gambut di cangkir

orang-orang Rongi. Masih ada rimba yang

belum kau rangkai seperti lukisan

yang anak-anak Buton haturkan jika

terhadirkan tanya

bagaimana ayahmu menyusun

bilah tangga bagi rumah baru mereka?

 

Sejak lama mereka lebih memilih menjaga

Hutan Kaombo daripada tanah.

Tapi mereka juga tidak mengizinkan biji-bijian

kopi menganyam akar baru di sana

Sedang para ayah mulai merasai nadi-nadi

mereka tersemat di anyaman itu

Hingga ia tak sekedar kau kenal hampa

pada kata bertahan dan dapur-dapur lapar

terhadap api atau amarah.

 

Besok atau nanti kanak-kanak menanti

kepastian apakah harus mereka

maknai ranggas atahu pertanda

kelahiran setiap mereka melihat

tidak ada lagi gambut

di cangkir ayahnya

 

Kendari, 21 Januari 2022

 

Catatan

Murhum: Sebutan untuk Sultan Keraton Buton.

Hutan Lambusango: Salah satu hutan konservasi di Buton.

Rongi: Nama sekumpulan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Pulau Buton.

Kaombo: Hutan adat di bawah kekuasaan MHA Rongi.


 




LAMBUSANGO

 

Di Lambusango rimba masih memilih

berzikir kepada Tuhan lewat helai-helai sayap

burung enggang setiap tiba pagi atau

petang sembahyang bagi hutan

adalah tidur tenang anak-anak enggang

tapi tanda sempurna pengakuan si jantan

sebagai ayah jauh lebih berterima

daripada ayah-ayah di tanah yang tandus.

Di sini rumah-rumah dan anak tangga

tidak pernah betul-betul ada

tapi pintu selalu terbuka bagi cinta

yang tidak bercermin kepada kekayaan harta

tanpa nama. Si jantan tahu ia tidak sendiri sejak

pintu terbuka dan kekasihnya mulai menghitung

helai-helai sayapnya sebagai satu-satunya

suci harta yang dimaharkan cinta.

Diingatnya syair senja sejak ia memilih

jalan yang beribu kali ditanggalkan

ayah di tanah yang tandus ia tebus

takdir yang lama tertidur di pangkuan Tuhan:

Bila nanti pupus satu-satu apa

yang tersisa tiada dua

kecuali kau dan aku

 

Kendari, 10 Januari 2022


 




LAMPU TAMAN

 

Aku belajar menjadi lampu taman

yang tidak pernah sempurna mengenal

cahaya tetapi mengerti kesendirian itu

datang pada saatnya. Aku belajar dari kesendirian

taman-taman indah oleh lampu

yang belum selesai menuntut

pengakuan. Jika sadar diriku

bahwa dunia dapat tiba-tiba menjelma rumah tua

yang ditinggalkan pemiliknya sebab ada saatnya

tiba bertubi sepi, aku barangkali

akan memilih untuk tidak

berumah lagi dan lebih banyak mengenal

orang-orang lain

yang dilainkan oleh waktu:

 

Aku mengenalnya suatu hari

tetapi waktu lebih naif menguburnya

di pantai sedang tiada batu nisan

sebagai satu-satunya

tanda ingatan kecuali puisi kecil

tergaritkan di sana lebih seperti

frasa rindu yang kadaluwarsa

daripada nama panjang

yang tidak sampai dipanggil

fasih oleh ingatan masa lalu

 

Menjadi lampu taman berarti menjadi

diriku sendiri. Tidak ada alasan hidup

yang terbersit dalamku kecuali aku.

Dan apabila aku tidak menjadi cukup berkarena

di sana cahaya lebur ke malam dan siang

saat hadir banyak orang justru menjadikan

kehadiranku

ialah luput sebuah arti.

 

Kendari, 23 Januari 2022


 




PEDOLE-DOLE

 

Di Buton, kelahiran bayi kecil berarti merahasiakan satu perahu

sebelum laut mengecup atau menelannya. Baris paling rapi

bukanlah hana laut kala senja, tapi kalimat doa Ibu

yang terkungkung di selipat carik kertas. Ibu tahu suatu hari

bayi kecil bakal menyingkapnya seorang diri, merangkainya

jadi perahu takdir. Ibu membasuhnya segelas minyak kelapa

sehelai daun pisang tempat dia berbaring agar putranya

tak terlambat merelakan segala payah nyala di atas kaki sendiri

Dia diguling-gulingkan di situ, dia gundah dan ibu kini hanya bisa

mengenalnya lewat tangis mungil yang gigil: atas pundak

siapa lagi hendak luruh lalu mengalir serupa menyapa kasih?

Di akhir cerita singkat ritus itu, sang Bhisa

memberi ibu sebutir telur: ”jangan bekali anakmu Indomie

karena telur bahkan tidak pernah menetaskan dirinya sendiri!”

 

Kendari, 8 Desember 2021


 




Tentang Penulis



MUAMMAR QADAFI MUHAJIR (MQM), lahir di Baubau, Sulawasi Tenggara, 10 Oktober 2001. Ia menulis puisi sejak usia sekolah menengah pertama. Semasa sekolah, ia aktif di Komunitas Fransi Sastra SMAN 4 Kendari. Pernah Juara I pada Sayembara Cipta Puisi kategori SMP/Sederajat Se-Sulawesi Tenggara yang diadakan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan Juni, 2015. Setelah itu tahun 2016, memperoleh Harapan I pada kegiatan yang sama di bulan Agustus, 2016 yang berkategori SMA/Sederajat. Ia juga Juara I Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional (peserta SMA dan Mahasiswa) yang dilaksanakan Laskar Sastra-UHO, Juara I Lomba Cipta Puisi KRAKATAU I Tingkat Nasional (Kategori SMA dan Mahasiswa) yang dilaksanakan FORKOMMI-UGM. Tahun 2017, menjadi peserta ARKI (Akademi Remaja Kreatif Indonesia) tahun 2017 dan naskahnya dibukukan Mizan Publishing House. Ammar, demikian sapaan akrabnya, juga Juara II pada Lomba Cipta Puisi Krakatau II Tingkat Nasional yang dilaksanakan oleh FORKOMMI-UGM, 2018. Terkini, ia Juara II pada Cipta Puisi, Festival Sastra FIB UGM yang dilaksanakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2018. Ia berkediaman di Jalan HEA Mokodompit, Lorong Salangga, Kota Kendari bersama kedua orang tua kandung. Sejak awal 2016, ia bergiat di Pustaka Kabanti Kendari. Di komunitas sekolah tersebut, ia aktif menulis puisi bersama temannya yang lain. Bulan Mei 2018, ia diundang pada Panggung Penyair Kabanti. Pada Juni 2019, buku antologi puisi tunggalnya, Kubah Sajadah Murhum diterbitkan oleh Pustaka Kabanti. Puisi-puisinya pernah dimuat di Harian Rakyat Sultra. Selain itu juga dimuat di antologi puisi Rosaceae, Jagat Raya di Tubuh Ibu, Penjahit Telinga, dan Kreator Masa Depan. Tahun 2019, menerima Penghargaan Taruna Sastra dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terkini, puisinya dimuat antologi puisi Jazirah 5 yang diluncurkan pada Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSGIB), Kepulauan Riau, 2020. Tahun 2020 ini, bersama tiga sastrawan lainnya diundang mewakili Sulawesi Tenggara pada Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) III yang dilaksanakan oleh Badan Pengambangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.

 

 

Tags

Post a Comment

1 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Join the conversation(1)
To Top