Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Heru Kurniawan

0

 


Estetika Perpuisian

Abdul Wachid B.S. dalam Tafsir Hermeneutika 

(Bagian  2, Habis)

 

Heru Kurniawan

 

Karakteristik Estetika Perpuisian Abdul Wachid B.S.

Abdul Wachid B.S. adalah penyair yang oleh Korrie Layun Rampan ditahbiskan sebagai penyair Angkatan 2000. Adapun buku puisi karya Abdul Wachid B.S. yang telah diterbitkan dan diedarkan secara nasional ialah Rumah Cahaya (1995), Ijinkan Aku Mencintaimu (2002), Tunjammu Kekasih (2003), dan Beribu Rindu Kekasihku (2004). Bahkan, buku puisi Rumah Cahaya dan buku puisi Ijinkan Aku Mencintaimu keduanya mengalami cetak ulang ke-2 di tahun 2004.

Secara menyeluruh, perpuisian Abdul Wachid B.S. men­citrakan puisi yang mempersoalkan hubungan transendensi, di mana dalam sebagian besar sajaknya memosisikan aku-lirik sebagai hamba yang sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang dikodratkan untuk selalu mengingat, merindukan, dan mencintai Yang Maha Indah (Allah). Suasana yang dibangun dalam puisinya ialah suasana religius yang berpangkal pada realitas dan cinta. Tema sentralnya banyak mengangkat tema cinta-transendensi, di mana kegelisahan spiritual sangat mengental. Perpuisian Abdul Wachid B.S., banyak menyuarakan peletakan ke-Diri-an manusia untuk selalu bersandar bahkan mungkin menyatukan dirinya dengan Yang Maha Hidup.

Kesadaran transendensi sebagai tema sentral dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. yang terdapat dalam buku Rumah Cahaya, Ijinkan Aku Mencintaimu, Tunjammu Kekasih, dan Beribu Rindu Kekasihku memiliki karakteristik estetika yang berbeda satu dengan lainnya. Adapun karakteristik estetika dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. memiliki dua corak, sebagai berikut.

Corak pertama, karakteristik estetika sajak Abdul Wachid B.S. memperlihatkan kesan pemberdayaan aku lirik yang melakukan hubungan transendensi sebagai wujud kegalauan hamba terhadap realitas. Dalam hal ini, aku-lirik mencitrakan manusia yang meman­dang hubungan transendensi karena adanya benturan dari realitas, baik benturan dalam bentuk kesadaran ataupun pengalaman. Kesadaran akan ketakmampuan memersepsi realitas atau kekalahan terhadap realitas membuat aku-lirik akhirnya sadar akan pentingnya hubungan transendensi. Karakteristik estetika sajak semacam ini banyak terdapat di dalam buku puisi Rumah Cahaya, sebagian di dalam buku Ijinkan Aku Mencintaimu dan Tunjammu Kekasih.

Corak kedua, karakteristik estetika sajak Abdul Wachid B.S. me­mosisikan aku lirik sebagai manifestasi hamba yang merindukan penyatuan dengan Yang Maha Tunggal. Pada karakteristik estetika ini, sajak Abdul Wachid B.S. banyak menyuarakan keinginan aku-lirik yang selalu memburu cinta, yang membuatnya sangat obsesif ingin bercinta (menyatu) dengan kekasihnya (Tuhan). Perburuan-perburuan cinta inilah yang pada gilirannya membuat sajak Abdul Wachid B.S. terkesan profan dan hedonistik. Karakteristik estetika semacam ini banyak terdapat dalam sajak yang terangkum buku puisi Beribu Rindu Kekasihku.

 Kajian ini membahas nilai estetika sajak Abdul Wachid B.S, yang terdapat dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku (selanjutnya disebut BRK); dalam buku puisi ini sajak Abdul Wachid B.S. banyak berbicara tentang cinta transendensi yang disimbolikkan secara cinta profan. Karenanya, sajak Abdul Wachid B.S. yang terdapat dalam Beribu Rindu Kekasihku ini mempunyai perbedaan estetika dari perpuisian sebelumnya yang terdapat dalam buku Rumah Cahaya (RC), Ijinkan Aku Mencintaimu (IAM), dan Tunjammu Kekasih (TK).

 

Identifikasi Simbol “kau” dan “aku”

Dalam kata pengantar buku Beribu Rindu Kekasihku, seorang Doktor alumnus Hamburg University yang berkebangsaan Jerman, Katrin Bandel, mengatakan bahwa salah satu corak khas yang menarik perhatian dalam sajak Abdul Wachid B.S. adalah penggunaan istilah “kau aku”.1  Kata “kau aku” banyak terdapat dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku. Kata “kau aku” dalam perspektif herme­neutika dapat ditafsirkan sebagai simbol, dan simbol “aku” ini merujuk pada “aku” sebagai aku lirik, dan “kau” sebagai objek yang dituju “aku” lirik yaitu “kau” kekasih. Dengan demikian, sebagian besar sajak Abdul Wachid B.S., merepresentasikan simbol “kau aku” sekaligus merupakan bentuk sajak yang mengungkapkan segenap pengalaman yang mengendap pada “aku” lirik.

Ungkapan yang direfleksikan “aku” dalam sajak Abdul Wachid B.S. sangat kentara dengan ungkapan perasaan kecemasan, ke­gelisahan, kecintaan, dan kerinduan “aku” kepada kekasihnya “kau”, seperti terdapat dalam sajak berikut ini.

Beribu Rindu Kekasihku 2

dari cakrawala yang

tak sepenuh kumengerti

aku, hayati : se-jati

cahaya wajahmu membayang

 

malam semesta sama suara

menyebut-nyebut namamu juga

kebisingan siang di mana aku

antara mengenal dan gagu

 

seperti mataair di tengah jazirah

menunggu-nunggu datang orang istirah

matamu mataair seluruh gelisah

menerka-nerka aku takjub menjarah

 

demi cintamu yang bijaksana

bertanya lagikah surga neraka

 

beribu

rindu

kekasihku

 

seperti panorama maha sempurna

matamu cakrawala

yang datang dan pergi

yang pergi dan kembali

merengkuh seluruh aku

2003

Sajak di atas mencitrakan kerinduan dalam percintaan “aku” lirik dengan “kau” kekasih. “Kau” kekasih mencitrakan “se-jati”, yaitu “kau” yang transendental, dan “aku” yang “hayati” hidup yaitu manusia yang hidup dalam kehidupan nyata. Ada perbedaan mutlak antara “kau” dan “aku”, dan perbedaan itu bersifat esensi, sama dengan perbedaan hamba dan Tuhannya, atau perbedaan antara surga dan realita “/Tapi kau adalah kau/Dan aku adalah aku/Kau aku bersepakat dalam kita/ Hingga tak berjarak surga-realita/” (sajak “Rumah Gunung”, BRK).

Hampir sebagian besar sajak Abdul Wachid B.S. mencitrakan hal yang sama, “aku” lirik menempati dirinya sebagai hamba, dan “kau” kekasih menempati dirinya sebagai Tuhan. Karena itu, suasana cinta, kegelisahan, dan kerinduan dalam sajak Abdul Wachid B.S. ber­pangkal pada hal-hal yang bersifat transendental.

Lebih merenik, cinta dalam estetika sajak Abdul Wachid B.S. terasa benar menyuarakan pemujaan “aku” sebagai hamba kepada Yang Maha sebagai representasi atas cinta yang tujuan utamanya adalah penyatuan, tersebab “merengkuh seluruh aku” sehingga “/Kau aku bersepakat dalam kita/ Hingga tak berjarak surga-realita//”. Di sinilah sajak Abdul Wachid B.S. mengungkapkan kerinduan yang demikian kuat seperti dalam bait sajak ini:

.....

selalu saja diammu

memanggil-manggilku dengan isyarat

menerka-nerka aku dalam lugu

hingga rindu menengadah sekarat

.....

(sajak “Hingga Bergetah Ruh Ini”, BRK)

 

Kerinduan inilah yang menyebabkan “aku” lirik ingin sekali bersatu dengan “kau” kekasihnya (Tuhan). Kerinduan seperti ini dicitrakan pada sajak Abdul Wachid B.S. dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku, kerinduan ingin bertemunya seorang hamba dengan Tuhannya. Kerinduan dalam sajak Abdul Wachid B.S. sedemikian menaklukkan karena kenyataannya “aku” dan “kau” adalah dua realitas yang berbeda. “Kau” sebagai kekasih yang serba Maha berdiri dalam Realitas Imani, sedangkan “aku” adalah realitas empiris yang tidak bisa menjangkau Realitas “Kau” (Tuhan) sehingga kerinduan “aku” lirik dalam banyak sajak Abdul Wachid B.S. melahirkan “kesakitan”. Tetapi, kesakitan yang disebabkan oleh rasa cinta itu dipersepsi dan diposisikan oleh “aku” lirik sebagai sesuatu yang indah: “/selalu saja cintamu/ menajamkan duri-duri sunyi/ menusuk-nusuk seluruhku/ hingga bergetah ruh ini// hingga ber­getah ruh ini/ kekasih/ kesakitan tersebabmu ini/ nikmat sekali/”

Dimensi lain dari citraan “kau” dalam sajak Abdul Wachid B.S. adalah merepresentasikan “kekasih” yang bersifat feminin. “Kau” identik dengan “perempuan” yang dipuja. Karenanya, dapat ditafsir­kan bahwa pemberdayaan “kau” sebagai kekasih yang “perempuan” memberikan pemaknaan bahwa sajak Abdul Wachid B.S. berisi tentang kisah percintaan profan. Tetapi, di balik percintaan profan itu dapat ditemukan percintaan yang Ilahiah, hal ini terjadi di saat “aku” lirik melakukan percintaan dengan “kau” perempuan, maka “aku” lirik membangun kesadaran bahwa “kau” yang dicintai adalah manifestasi dari tajalli Tuhan. Hal ini tersiratkan dalam sajak berikut ini.3

ML

/1/

Mengapa sengaja memuja

Agar karam Cinta

Mengapa mesti birahi

Untuk sampai Inti

 

Perempuanku, dunia megah

Tercermin pada wajah

Lekuk-liku bayang tubuh

Semakin memukau ruh

 

Lelaki ini asyik

Heran pada tarian-tarian

Apa yang di balik

Satin kain transparan?

 

Segenap indra lena

Saat-saat lelaki mengikut

Atau mengangkut mesra

Hingga gerak takberingsut

 

Yang takpernah merasai

Megah molek wanita

Bagaimana bisa maknai

Pertemuan yang takterbahasa

 

Perempuanku, sekalipun cinta

Kau bukan tujuan

Tapi adamu perantara

Pertemuan demi pertemuan

 

Ada yang dilambangkan

Dari puncak kenikmatan

Ada yang disembunyi

Dari tampaknya birahi

 

Lelaki takpunya bahasa

Takjub pada kehadiran

Dalam penyatuan cinta

Segala pakaian ditanggalkan

 

/2/

Mengapa sengaja memuja

Agar karam Cinta

Mengapa mesti birahi

Untuk sampai Inti

 

Perempuanku, jika aku

Buih mengarungi lautmu

Gelisah nasibku dipukau

Tanpa tepian keluasanmu

 

Kau dan aku

Senyawa sekalipun beda

Disatukan pelukan beribu

Dalam gelombang, Cahaya!

 

Maka aku takada

Kau saja Ada

Buih juga takada

Perempuan : Mahasempurna

 

2004

 

Sajak tersebut merepresentasikan percintaan “aku” lirik dengan kekasihnya (“kau” yang perempuan) sehingga percintaan tampaknya profan. Tetapi, “perempuan” tersebut dikatakannya sebagai yang “Mahasempuna”, dan karena itu dapat dipastikan bahwa “perem­puan” tersebut berkedudukan sebagai citra-simbolik dari manifestasi Tuhan, pasalnya “//Maka, aku takada/Kau saja Ada/Buih juga takada/ Perempuan: Mahasempurna.”

Mencitra-simbolikkan eksistensi Tuhan dalam sajak melalui “sesuatu yang bersifat feminin” atau melalui penyebutan kata “perempuan”, memang banyak diberdayakan dalam puisi yang bernapaskan sufistik (bahkan sufisme!), dan estetika serupa itu diberdayakan secara maksimal dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku karya Abdul Wachid B.S. ini.

Dari penafsiran ini, sajak Abdul Wachid B.S mengetengahkan sinyalemen ironisitas paradoksal. Di satu sisi perpuisiannya meng­hembuskan risalah Cinta yang transendental, namun di segi lain jika dilihat dari perlambangannya terkesan bahwa Cinta yang transendental itu tidak meng-Ada, dan justru yang tampak adalah percintaan profan. Karenanya, sajak Abdul Wachid B.S. seperti sedang “dalam permainan petak-umpet”, yaitu sengaja menyem­bunyikan hakikat percintaan agung melalui kemasan perlambangan profan dan bahkan terkesan hedonistik. Oleh sebab itu, memaknai perpuisian Abdul Wachid B.S. tanpa bekal pemahaman filosofis religiositas yang memadai, maka pembaca akan terjebak kepada pemaknaan cinta profan belaka, percintaan lelaki-perempuan. Walaupun penafsiran cinta profan demikian juga tidak dapat disalahkan, namun pencapaian makna melalui perlambangan yang hakiki yang dapat mencerahkan Hati jika demikian tidak akan diperoleh oleh pembaca.

Memang, pengemasan tema cinta agung dalam citra-simbolik profan bahkan hedonis banyak terdapat dalam puisi Abdul Wachid B.S. Di dalam sajak “ML itu pun menggambarkan percintaan lelaki dengan kekasihnya: “... //Perempuanku, dunia megah/ Tercermin pada wajah/ Lekuk-liku bayang tubuh/ Semakin memukau ruh// Lelaki ini asyik/ Heran pada tarian-tarian/ Apa yang dibalik/ Satin kain transparan?// Segenap indra lena/ Saat-saat lelaki mengikut/ Atau mengangkut mesra/ Hingga gerak takberingsut//... “ Namun, jika pembaca lebih dalam menafsiri ungkapan selanjutnya, tentu akan sampai kepada makna hakiki sajak tersebut : “... //Perempuanku, sekalipun cinta/ Kau bukan tujuan/ Tapi adamu perantara/ Per­temuan demi pertemuan//... //Lelaki tak punya bahasa/ Takjub pada kehadiran/ Dalam penyatuan cinta/ Segala pakaian ditanggal­kan//...” Wanita sebagai subjek sekaligus objek percintaan tidaklah melulu percintaan yang fisik, melainkan sebagai perlambangan untuk menjagakan percintaan dengan Yang Mahasempurna (Tuhan).

Pemahaman citra Tuhan yang feminin dalam sastra ini sesungguhnya berangkat dari tradisi perpuisian sufisme yang menggambarkan pengalaman mistiknya. Dalam terminologi ini, Tuhan sebagai Realitas Transendental dimaknai melalui pencitraan yang indah, dan yang indah itu dimaknakan kaitannnya dengan sifat feminin Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Karenanya, dalam tradisi sastra sufi, Tuhan sebagai Yang Maha Kekasih dihadir­kan melalui citraan-citraan feminin itu. Dalam sebuah artikelnya, Abdul Wachid B.S. pun pernah menuliskan fenomena ini sebagai berikut.

Mencitrakan Allah yang feminin (dalam sajak) sebagai objek afinitas cintanya disebabkan oleh sifat-sifat Allah yang mencurah kepada penempuh jalan mistik yang berupaya keras mendekatinya agar menjadi kekasih-Nya. Di antara sifat-sifat Allah itu yang melembaga dalam nama-nama-Nya dapat diidentifikasi bahwa Allah lebih mengenal diri-Nya sebagai yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, daripada Yang Maha Murka. Sifat pengasih dan Penyayang adalah konsep yang menjurus kepada citra yang feminin.

Dengan pemahaman itu tidak berarti Tuhan selalu mencitrakan diri-Nya melalui sifat Pengasih dan Penyayang-Nya (feminin) saja, melainkan bersifat timbal-balik. Tatkala hamba sebagai makhluk-Nya yang berupaya menjalankan seluruh aturan yang bersumbu dari al-Qur’an dan al-Hadis, melalui jalan sufi sehingga memiliki tujuan utama dari pencariannya, yakni demi mengenal Allah dengan cara yang sebenarnya, maka dalam keadaan demikian pelaku sufi bertindak secara maskulin untuk mencari cinta Allah, sedangkan Allah “diposisikan” secara feminin. Begitu halnya saat Allah mencurahkan kasih-sayang-Nya, Allah bertindak secara feminin; sebaliknya tatkala hu­bungan itu dalam konteks pembalasan Allah disebabkan kemungkaran manusia, maka Allah bertindak maskulin. Namun demikian, menurut al-Hadis terkenal mengenai singgasana Allah (al-Arsy) tertulis “Sesungguhnya kasih-sayang-Ku melampaui kemurkaan-Ku”. Di dalam al-Qur’an Allah lebih sering diulang Nama-Nama-Nya yang menunjukkan sifat kasih-sayang Allah seperti al-Rahman (Maha Pengasih), al-Rahim (Maha Penyayang), al-Gaffar (Maha Pengampun), dibandingkan dengan penyebutan nama-nama lain. Bahkan, di setiap surah dalam al-Qur’an (kecuali satu surah saja) selalu diawali dengan penye­butan nama Allah Yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Yang Maha Penyayang (al-Rahim), dan bukan nama-nama Allah yang menunjukkan kekuasaan-Nya. Al-Qur’an juga menyatakan bahwa al-Rahim merupakan hakikat Allah, “Serulah Allah atau serulah al-Rahman” (Terj. QS., 17: 110).4

Dari konsep tersebutlah pencitraan cinta Tuhan disimbolkan oleh Abdul Wachid B.S. dengan “sesuatu” yang bersifat feminin. Karenanya, memahami estetika perpuisian Abdul Wachid B.S. melalui perspektif realitas empirik mengesankan estetika cinta profan. Tetapi, di balik penggambaran percintaan yang terkesan profan itu, ternyata ada dimensi cinta yang transendental, yang memberi pencerahan hati kepada pembacanya.

 

Identifikasi Simbol Profan HP dan SMS

Simbol lain yang banyak terdapat dalam sajak Abdul Wachid B.S. dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku adalah “HP” dan “SMS”. Keprofanan dari simbol HP (Hand Phone) dan SMS (Short Message Service) ini karena keduanya merupakan alat komunikasi praktis sebagai hasil peradaban modern. Penggunaan simbol HP dan SMS ini banyak terdapat dalam bagian pertama buku puisi ini, SMS Harap-harap Cemas. Dalam bagian ini, hampir seluruh sajak Abdul Wachid B.S. meng­gunakan simbol SMS sebagai judulnya, mulai dari “SMS Biru”, “SMS Putih”, “SMS Semu Merah”, “SMS Pucat Kapas”, “SMS Sahaya”, “SMS Tak Hingga”, “SMS Pagi”, “SMS Tak Terkirim”, “SMS Harap-harap Cemas”, “SMS Firdausi”, “SMS Sarie untuk Steve”, “SMS Steve untuk Sarie”, dan “SMS Rindu”.

SMS ini dapat ditafsirkan sebagai media HP yang digunakan untuk mengirim pesan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Seseorang melakukan SMS dapat dipastikan ada keterpisahan jarak. Memang, sajak Abdul Wachid B.S. yang menggunakan simbol SMS seluruhnya berbicara tentang keterpisahan di antara sepasang kekasih. Dalam hal ini ungkapan Katrin Bandel benar bahwa sebagaian besar sajak yang terdapat dalam bagian SMS Harap-harap Cemas ini bertemakan keterpisahan secara fisik: sang “aku” lirik berjauhan dengan kekasihnya, dan segala cinta, kerinduan, dan kecemasannya diungkapkannya lewat SMS.5 Akan tetapi, yang luput dari pemaknaan Katrin Bandel bahwa kerterpisahan “aku” lirik itu disebabkan oleh dimensi ruang-waktu yang berbeda dengan “kau”, maka SMS menjadi semacam doa yang terus-menerus dikirimkan, sebagaimana diungkapkan penggalan sajak di bawah ini:

Bila Hpmu kau matikan melulu

Lama-lama padam pula hatimu

Kau aku tersekat ruang waktu

Lantaran itu sms kukirim selalu

…..

(sajak “SMS Tak Terkirim”, BRK)

 

SMS dalam konteks ini menjadi lambang bagi doa yang secara terus-menerus dikirim melalui “HP jiwa” dari aku-lirik kepada kekasihnya yang “...tersekat ruang waktu”.

Dalam sajak-sajak dengan judul SMS, seluruhnya menyiratkan keterpisahan cinta yang tak mungkin bisa disatukan. Keterpisahan serupa itu hanya bisa terjadi jika Yang Dicintai dan yang mencintai “hidup” di dua dimensi yang berbeda, jelaslah yang demikian ialah antara manusia dan Tuhan. Keterpisahan dimensi inilah yang menjadikan aku-lirik dalam situasi ke-”gila”-an (jadzab) yang sangat, rindu pertemuan sekalipun sesungguhnya aku-lirik juga mengetahui bahwa pertemuan di dalam satu dimensi ruang-waktu hanyalah mustahil: “...//Kekasih/ Telah kau suguhi aku/ Tarian surga di hadapan/ Hingga aku hilang akal/ Jiwa ragaku menolak sekian pakaian/ Kecuali gila pertemuan” (sajak “SMS Pagi”).

Melalui pencitraan profan serupa itu, perpuisian Abdul Wachid B.S. mempresentasikan cinta yang transendental, diharu-biru oleh kerinduan kepada Yang Maha Indah. Karena perburuan Cinta tersebut ada keterpisahan dimensi ruang-waktu antara hamba dan Tuhannya, maka perburuan Cinta berakhir kepada puncak kemaha­rinduan sang Hamba. Tetapi, kemaharinduan itu mampu tertembus melalui “sms-sms” doa seorang hamba kepada Tuhan, dengan cara membaca terus-menerus terhadap “tanda-tanda” yang dikirimkan Yang Maha Kekasih melalui sinyal-sinyal ayat-Nya yang terbentang pada diri manusia dan alam semesta. Hal itu sebab Tuhan lebih dekat dari urat-leher manusia sehingga sebagaimana diungkapkan Nabi Muhammad SAW bahwa “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

 

Penutup

Dengan begitu, penggunaan simbol profan seperti halnya penggunaan idiomatik “HP” dan “SMS”, dan semacamnya, dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak mengubah arah konsep Cinta Transendentalnya.

Dengan demikian, keseluruhan perpuisian Abdul Wachid B.S. berbicara tentang cinta yang transendental melalui karakteristik estetika: pertama, cinta transendental yang berpangkal kepada kesadaran terhadap realitas, dan karakteristik estetika ini dapat ditelaah dalam buku puisi Rumah Cahaya (1995), Ijinkan Aku Mencintaimu (2002), dan Tunjammu Kekasih (2003). Kedua, cinta transendental yang berpangkal kepada Cinta sekaligus Rindu kepada Yang Maha Indah (Allah), dan karakteristik estetika inilah yang dominan kita temui di dalam buku puisi Beribu Rindu Kekasihku (2004).

 

Daftar Bacaan

1Abdul Wachid B.S., Beribu Rindu Kekasihku (Yogyakarta: Amor Book, 2004), hal. vii. Ulasan ini ditulis oleh Katrin Bandel, Ph.D. wanita berkebangsaan Jerman yang aktif meneliti sastra Indonesia.

2Ibid., hal. 64-65.

3 Ibid., hal. 88-90.

4 Abdul Wachid B.S. “Citraan Cinta Erotik di antara Estetika dan Etika Cinta Ilahiah dalam Puisi Sufi-Penyair”, koran Minggu Pagi, Minggu ke-I-III, Juni 2004, hal 8. Di dalam artikel panjang ini, tentang pencitraan-pencitraan erotik dan feminin dalam puisi sufi, Abdul Wachid B.S. mengungkapkan argumentasinya mengapa dalam sastra sufi sering mencitrakan Tuhan dengan sesuatu yang feminin.

5 Katrin Bandel, “Kangen Tak Terbilang Abdul Wachid B.S.”, dalam Beribu Rindu Kekasihku, hal. viii.

 



Biodata Penulis  

Heru Kurniawan, lahir di Brebes, 22 Maret 1982. Dia merupakan pengajar di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Menulis banyak buku mengenai parenting, bacaan anak, pendidikan dan pengembangan kreativitas. Dia adalah founder Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK). Dengan RKWK yang dikelola telah mendapatkan penghargaan dari Bupati Batang 2016, Kemdikbud RI 2017, Integritas Taman Baca KPK 2017, dan Gramedia Reading Community 2018.

 


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top