Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Rokhmat Gioramadhita

0


 WARISAN

Aku tidak pernah mengharap apa pun dari kedua orang tuaku, bahkan setelah dia meninggal. Terlepas dari mereka saja, sudah membuatku sedikit menghirup udara lebih dalam. Membiarkan mereka berlompatan riang di dalam sana. Dan itu terjadi Lima tahun lalu, tepatnya saat aku dikuasai kemarahan. Sebenarnya hanya perkara kecil saja, namun karena terlalu sering, membuat ruang di dadaku menyesak dan meledak.
“Dengarkan perkataan ibumu, Nduk. Jangan melakukan hal sesuai keinginanmu saja.” Bapak yang tengah duduk di kursi bambu dekat pintu masuk mengingatkanku. Sementara ibu duduk terdiam di dipan berseberangan dengan bapak. Aku ingat betul, ibu mengenakan kebaya brukat berwarna kuning kunyit, dipadukan kain batik bercorak cokelat tua. Rambut putihnya menggelung di belakang, untaian-untaian anak rambut membuat wajah wanita tua itu tampak semakin berantakan. Ia hanya sesekali menyisir rambutnya dengan tangan ke pangkal gelung, namun hanya bertahan beberapa saat saja.
Waktu masih sangat pagi, bahkan suara adzan di masjid belum berkumandang. Ayam-ayam jantan sudah sibuk berkokok sejak tadi. Membuat gaduh seisi kampung. Sayangnya penghuni kampung tidak terlalu terpancing dengan kegaduhan itu. Melipat badan di bawah selimut jauh membuat mereka tertarik.
“Kita sudah membicarakan ini berpuluh-puluh kali, Pak,”aku berusaha mengingatkan, takut kalau ingatan tua mereka lupa.
“Dan kami sudah berpuluh-puluh kali mengatakan tidak, Nduk.” Aih, mereka tidak lupa. Mereka hanya teguh dengan pendiriannya.
Aku tidak melihat sepenuhnya melihat wajah ibu, ia sibuk tertunduk dengan anak-anak rambut menyembunyikan wajahnya. Namun aku tahu, wanita tua itu tidak baik-baik saja. Ia sedang menangis.
“Usiaku sudah lebih dari 20 tahun, sudah saatnya aku memilih jalanku.” “Tapi tidak dengan menentang orang tuamu!”
“Aku tidak menentang, Bapak. Aku hanya ingin membebaskan langkahku.”
Untuk sesaat pagi dikuasai keheningan, derik suara sunyi menggelembung di atap-atap rumah kami yang terbuat dari bambu.
“Kalau aku tetap di sini, bagaimana dengan Welas? Dia berhak mendapatkan penghidupan lebih baik.” Aku menurunkan ketinggian suaraku.
“Adikmu akan baik-baik saja, tanpa kamu harus pergi.”
“Mungkin akan terlihat baik-baik saja, tapi bapak dan ibu tidak tahu sesungguhnya isi hati Welas.”
“Sudahlah, Bu, Pak. Tekatku sudah bulat. Semua akan baik-baik saja.”
Aku pergi meninggalkan air mata di pipi ibu. Meski tak melihatnya, aku tahu aku juga meninggalkan air mata di hati bapak.

***

Entah angin apa yang membuat seorang berseragam oranye datang ke kontrakanku. Kala itu waktu masih belum sore, bahkan matahari baru saja mencondong ke arah barat. Bayang-bayang pepohonan masih belum terlalu jauh meninggalkan pangkal. Aku sedang tidak di rumah, hanya istri dan anakku. Mereka tengah sibuk membungkus makanan ringan di ruang sempit yang kami jadikan ruangan serba guna. Biasa digunakan untuk menerima tamu, untuk beristirahat, untuk bersantai, bahkan untuk melakukan semua hal. Tiba-tiba seorang laki-laki dengan seragam oranye mengetuk pintu, istri dan anakku beralih dari pekerjaannya.
“Rumah bapak Nur?”
Mendengar namaku disebut, istriku langsung bangkit. Ia meletakkan plastik berisi makanan yang baru setengah. Sembari mengelapkan tangan dirok, ia membenarkan tebakan si tukang pos.

“Ada paket.” “Paket?”

“Dari ibu Welas.”

Ah, benar saja. Siapa yang tahu rumah ini selain Welas. Lima tahun mengasing, hanya Welas yang tahu tentang persembunyianku. Selebihnya tidak ada yang berniat mengirimkan paket untuk tukang jajanan keliling sepertiku.

Istriku sempat memicingkan mata, ia tidak pernah tahu bila aku sempat mengenal perempuan. Bernama Welas pula. Maka ketika akup ulang, dia menghadangku dengan wajah masam. Kedua tangannya menyilang di dada.
Aku tidak pernah melihat istriku seperti demikian, kalau pun aku pulang hanya membawa senyuman hampa. Dia selalu membalasnya dengan senyuman hangat. Melengkapi kekurangan yang tak bisa kupenuhi.

“Siapa Welas?”

Niat hati ingin menggoda untuk kembali menemukan senyum istriku. Namun mendengar nama wanita itu disebut, membuat aku diam. Udara sore ini tidak terlalu bagus, tidak cerah, pun tidak turun hujan. Awan-awan gelap saling bekejaran di langit sana. Ini sangat mendukung suasana hati istriku yang tidak baik.

“Pasti abang mau bertanya, dari mana aku tahu nama perempuan itu?"

Aku diam. Sangat kaget. Namun kagetku sangat berlawanan dengan kagetnya istriku.

“Aku bisa melihat kecemasan di matamu, Bang.”

“Dan engkau tidak tahu makna kecemasan itu,”Istriku menarik napas dalam, menggeser tempatnya menuju ke kamar dengan membawa luka di matanya. Ah, itu sangat berlebihan.

“Ada surat di atas meja dari Welas.”

Suara pintu kamar tertutup, meninggalkan embusan angin perlahan. Tidak ada pilihan lain, aku meraih surat itu dan bergegas membukanya. Tidak banyak kalimat yang Welas tuliskan. Hanya mengatakan perihal kematian ibu, jujur ini membuatku merasa ngilu. Aku tidak peduli dengan sikap istriku kini. Mataku memanas membaca kalimat kematian.

Baris berikutnya hanya berbasa-basi sedikit, lalu menyinggung perihal warisan. Aku tidak terlalu tertarik, air mataku keburu membuat sesak dada ini.

Meski tak sepenuhnya kubaca, aku sempat melihat bila warisan yang kuterima adalah rumah beserta isinya. Sementara tanah dan harta lain jatuh ke tangan Welas.

***

Di surat yang dikirimkan Welas, ia mengatakan agar aku segera melihat rumah tersebut. Itu pesan ibu sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Namun aku bukan manusia kuat, membutuhkan waktu berhari-hari untuk menata hati hingga akhirnya memutuskan pergi ke rumah meninggalkan ibu. Istriku berkali-kali mengelus punggungku, memberikan semangat atas kehancuran hati ini. Dan sekarang, aku sudah berdiri di sini. Menatap rumah yang keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu. Cat alami kayu masih melekat, persis seperti dulu saat aku masih berlarian kesana-kemari di halaman rumah ini.

Pohon rambutan di sisi kanan halaman masih berdiri kokoh, di bawahnya menghampar daun-daun dan ranting kering. Rumput liar menjulur ke atas, hendak meraih ranting di atas sana. Kakiku melangkah perlahan, ditemani istri dan anakku menuju ke pintu masuk. Welas sempat menyelipkan satu-satunya kunci rumah itu di surat yang dikirimnya.

Istriku sempat ingin membukakan pintu untukku, namun aku menolaknya. Aku ingin membuka sendiri rumah ini.

Tidak ada yang tersisa, hanya bangunan rumah dan sebuah lemari kecil. Di atas lemari itu terlipat rapi kain batik bermotif warna cokelat. Aku ingat betul, itu kain batik ibu. Aku mendekatinya, mengangkat dan menciumnya. Aroma ibu masih melekat di sana, seperti ada sedikit bau anyir, getir, dan sedikit hambar. Namun lebih mendominasi aroma wewangian sirih. Sesuai kebiasaanya. Aku semakin dalam menikmati aroma-aroma tersebut, hingga seseorang muncul dari pintu samping rumah. Sangat aku kenal. Bapak.

“Nduk, bawakan kain batik itu. Bapak lupa menambahkan sesuatu,” kalimat bapak menyapaku. Aku berlari riang seperti usia masih dibawah lima tahun.

“Batiknya bagus, Pak. Sangat bagus.” Ucapku girang.

“Ini nanti akan kita hadiahkan kepada ibumu. Hari ini adalah ulang tahunnya. Pasti dia sangat senang mendapat hadiah kain batik yang kita buat berdua.” Tangan bapak tidak berubah, masih lincah sekali pun panas malam meleleh di ujung canthing mengenai tangannya.

Ini adalah batik yang pertama kali dibuat oleh bapak. Ia menjadi saksi betapa cintanya bapak kepada ibu. Berkat batik itu, keluarga kami pun mempunyai penghasilan baru. Sebagai pengrajin batik.

Siapa sangka kain batik hadiah untuk ibu banyak yang menyukai. Itu karena ibu selalu mengenakannya di berbagai kesempatan. Baik pengajian, arisan, atau sekadar kumpul- kumpul dengan teman sebayanya. Banyak mata tertarik, hingga pesanan satu persatu datang. Bahkan beberapa tahun berikutnya bapak menjadi pengrajin batik paling tersohor, banyak orang dari luar desa meminta dibuatkan batik oleh bapak. Motifnya semakin beragam, dan semakin mendatangkan banyak orang.

Sayang perkembangan zaman menghancurkan semuanya. Aku masih berusia belasan saat modern mulai datang. Bukan karena batik bapak tidak diminati lagi, namun lebih pada sikap serakah manusia. Diberi sedikit sangat kurang, diberi banyak pun masih kurang. Bapak tergiur investasi saham. Si penawar saham menjanjikan untung besar. Siapa yang tidak tertarik dengan untung besar. Terlebih bapak berpikiran jauh ke depan. Aku dan adikku membutuhkan biaya besar kedepannya. Ini adalah tabungan jangka panjang. Bodohnya bapak, ia tidak menyisakan sedikit uangnya di tabungan. Semua diinvestasikan. Dan kini semuanya berharap kepada keberhasilan investasi tersebut.

Sayangnya Tuhan maha adil. Dia selalu menguatkan hambanya dengan cobaan. Itu yang datang pada keluarga kami. Investasi yang diikuti bapak rupanya tidak beres, ada banyak permainan. Puncaknya adalah saat sudah mendapatkan banyak uang, si pemilik perusahaan justru menghilang bersama uang-uang kami. Bapak tidak bisa berbuat apa-apa, tidak banyak daya untuk mempertahankan uangnya kembali. Dan kami kembali jatuh miskin.

“Nduk, sudah jadi batiknya.”Bapak menyerahkan batik itu kepadaku. Sepertinya tidak ada perubahan berarti, hanya sebuah inisial “N” di pojok kain itu.

Aku menerimanya dengan riang.

“Berikan batik itu untuk ibu. Bilang ini hadiah darimu.”

“Kenapa bukan bapak saja yang memberikannya, bapak yang membuatnya.”

“Tidak apa-apa. Bapak wariskan ke kamu, tapi kamu berikan ke ibumu.” 

Aku melompat riang menerima kain batik dari bapak, lalu berlari mencari ibu. Ibu sedang duduk di beranda rumah, menyelesaikan pekerjaan rumahnya. “Ada apa, Nduk?” ibu berhenti sejenak dari pekerjaannya untuk melihatku. “Ada hadiah untuk ibu,”

Kuberikan kain batik itu. Ibu tertegun sesaat, ada binar di matanya. “Ini untuk ibu.”

Ibu menerima kain batik itu, diiringi air yang melinang dari matanya. Bukan kesedihan tapi haru.

“Ibu kok menangis? Ibu tidak suka?”

“Tidak. Ibu sangat suka. Ini sangat indah.” Ibu menenggelamkanku dalam pelukannya. “Terima kasih, Nduk.”

Ibu masih memelukku, namun sangat berbeda. Ini sebuah kesedihan. “Jangan pergi, Nduk. Hidup dan mati kita di rumah ini. Apa pun yang terjadi, asalkan selalu bersama, pasti akan baik-baik saja. Pergi tidak bisa dijadikan alasan untuk lari dari masalah.”

Aku melepaskan pelukan ibu, menatap matanya yang basah, yang selalu disembunyikannya di balik anak-anak rambut putih menjuntai. Kali ini aku bersimpuh di kaki ibu. Mencium aroma-aroma di kain batik bermotif cokelat yang dikenakan perempuan itu. Tidak berubah, aromanya masih sama. Yang membuatku bertahan di rumah ini sampai kapan pun.






Tentang Penulis


Rokhmat Gioramadhita, lahir di Purbalingga. Bekerja sebagai pengajar di Pangadegan, Purbalingga dan tergabung dalam komunitas FLP Banjarnegara. Beberapa tulisannya sudah diterbitkan baik menjadi buku maupun pada media massa. Kini bermukim di Desa Pesunggingan Kecamatan Pangadegan Purbalingga.


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top