Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Waliyunu Heriman

0


LIFUNG MEMATUNG LEMAS

 

Banjir besar kali ini memberinya harapan. Akan banyak kayu-kayu yang hanyut dari hulu sana. Kayu log (bulat) yang tak jabuk sehingga bisa ia gesek (gergaji) untuk dijadikaan kayu-kayu pondok (rumah); papan atau tiang-tiang.

Setelah menyimpan ikan hasil pukatan di muara anak sungai, Lifung tak langsung mengangkat mesin perahu ke pondok. Ia membiarkan mesin itu terpasang pada perahu,  yang sudah hampir 10 tahun ia pakai untuk berbagai keperluan.

Pada musim banjir Lifung akan menghabiskan hari di tepi sungai. Sungai Sesayap yang bermuara ke Laut Tarakan, ratusan mil dari kampung halamannya, Malinau. Setiap akhir dan awal tahun Sungai Sesayap akan kelimpahan air. Air dari ratusan anak sungai yang tersebar di hutan-hutan rimba di hulu sana. Sungai Sesayap menampung juga air dari Sungai Malinau dan Sungai Mentarang.

Dua hari ini hujan tak putus jatuh. Bahkan pada hari kedua hujan berlanjut pada malam hingga dini hari. Saat terjaga dini hari Lifung sudah membayangkan gelondongan kayu log meluncur dari hulu sana. Begitu menurut  pengalaman yang  sudah-sudah.

Lifung duduk di atas batang kayu, di belakang pondoknya, sambil mengisap tembakau seks (linting), sebagai pengganti kretek murahan di kala habis. Matanya terus tertuju ke arah sungai. Ke arah air yang tampak bergumpal-gumpal perkasa. Menghanyutkan segala yang tersapu; ranting-ranting, cabang, batang pohon jabuk, termasuk kayu-kayu log tebangan perusahaan.

Tidak semua kayu log yang Lifung dapatkan pada musim banjir adalah kayu log baru. Satu-dua yang ia dapatkan adalah kayu log bekas tambatan perahu  atau bekas tangkapan orang. Tapi ia tak peduli. Selagi masih bisa digesek akan ia ambil. Toh, tak akan ada orang yang memintanya lagi. Kecuali perahu, segala sesuatu yang hanyut ke sungai siapa pun bisa memungut dan memilikinya.

Kaki Lifung bergerak, setengah terperanjat, manakala matanya menangkap ujung batang kayu timbul tenggelam di tengah gelombang arus. Ujung batang kayu itu muncul sepanjang dan sebesar drum. Dari jarak 20 meter Lifung bisa memastikan kayu itu masih sangat baik. Ia segera meloncat turun menuju perahu seraya menyambar tambang sebesar jempol yang tergulung di samping duduknya.

Perlu beberapa kali Lifung menyelinder mesin perahu. Lifung menggerutu. Tapi apa mau dikata. Sudah biasa begitu sebagai resiko mesin setua perahunya. Mesin menyala setelah batang kayu hanyut puluhan meter ke hilir. Lifung langsung melajukan perahu. Menyibak air yang meluap-luap deras. Menyelinap di antara sampah-sampah batang pohon yang hanyut beriringan.

Lifung merapatkan perahu pada ujung batang kayu. Mematikan mesin dan menghanyutkan perahu dalam posisi berdempetan dengan batang kayu. Tangannya bergerak cepat meraih besi beton yang telah ditekuk melengkung  sejengkal. Menancapkan kedua ujung besi ke batang kayu dengan martil lalu mengikatkan tambang pada lengkungan besi yang sudah tertancap. Setelah tambang terikat Lifung kembali menghidupkan mesin dan melajukan perahu ke hilir menepi membawa ujung tambang.

Lifung sempat berpikir untuk menarik kayu itu ke dekat pondoknya. Tapi ia pikir mustahil dapat melakukannya saat  air sedang gila. Apalagi seorang diri dengan kondisi mesin yang tak seberapa kuat. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menyelamatkan kayu agar tak hanyut ke hilir.

Lifung menepi seraya memilih tepian dan pohon yang tepat untuk mengikatkan ujung tambang. Tak terlalu sulit. Pepohonan tumbuh di tepian sungai. Lifung melemparkan ujung tali pada cabang pohon (sebesar paha dewasa) yang menjorok ke tengah sungai, lalu menyambar kembali ujung tambang itu, dan dengan gerakan cepat mengikatkannya. Lifung menarik nafas lega. Sempat ia beradu otot  melawan beban kayu dan arus ketika ikatannya belum selesai sementara hanyut kayu itu sudah melampau panjang tambang yang tersisa.

Dari tempat mengikat Lifung menyaksikan ujung batang kayu itu tertahan. Lalu tambang mengencang dan cabang pohon berderak agak melengkung ke hilir. Semakin mengencang ketika beberapa sampah batang pepohonan menyangkut di ujung batang kayu miliknya itu. Lifung cemas kalau-kalau tambang itu putus atau terlepas.  

Sedikit demi sedikit batang kayu yang setengah terendam itu bergeser. Satu ujungnya mungkin tenggelam di dasar. Dorongan airlah yang kemudian mengangkat dan menggeser ujung kayu itu hingga setelah berjam-jam kemudian berubah posisi. Tambang pengikat tak lagi mengencang. Batang kayu itu pun bergeser ke tepi. Lifung tersenyum lega. Seteh air tenang ia akan bekerja menarik Meranti itu ke dekat pondoknya. Menggeseknya di sana menjadikan papan dan tiang-tiang.

Kayu-kayu itulah yang menghidupi Lifung dan anak-anaknya sekarang. Satu tahun sejak istrinya meninggal dunia setelah melahirkan bayi keempat. Dulu, sewaktu istrinya masih ada, Lifung bekerja di perusahaan kayu sebagai tukang kupas. Ia berhenti dari perusahaan kayu karena tak mungkin membiarkan anak sulungnya, perempuan 14 tahun, mengurus sendiri 3 adiknya. Ibunya sudah tua. Sementara mertuanya tinggal di Krayan. Sempat diminta untuk dibawa mertuanya ke Krayan. Tapi Lifung menolak sebab Krayan jauh. Kalau  kangen pada satu-satunya anak laki yang sangat diinginkan itu, ia harus naik pesawat.

“Biarlah ia di sini. Saya dan kakaknya yang merawat,”

“Terserahlah kalau itu mau kamu. Bagus kamu segera punya isteri lagi biar ada yang mengurus anak,”

Lifung ingin segera punya istri agar hidupnya tak terkancing di rumah. Tapi keinginan itu harus ia tahan. Menikahi perempuan tak mudah. Ia harus punya uang cukup untuk banyak hal. Untuk biaya nikah tak seberapa. Untuk memenuhi purut, permintaan pihak perempuanlah, yang merepotkan. Lifung harus punya uang berjuta-juta; belasan bahkan puluhan juta.

“Kamu cari saja orang Timur atau Jawa biar tak mahal. Kalau sama orang Lundayeh macam kita kamu harus siap uang besar,”

Usul temannya masuk akal. Sayang perempuan yang dimaksud temannya tak  ia dapatkan. Lifung memutuskan untuk bekerja menggesek. Mengumpulkan uang hasil penjualan kayu yang bisa ia dapatkan cuma-cuma seperti pada saat musim banjir. Kalau ada yang menyuruh, ya bergaji, menggesek kayu punya orang lain. Satu tahun ternyata Lifung belum juga mampu mengumpulkan uang yang dianggapnya cukup untuk meminang perempuan untuk menjadi istrinya.  

“Salau, tanya terus. Kapan kamu namong dia?” tukas Sigar teman seprofesinya. Sigar bertetangga dengan Sulau di Kampung Singai.

“Kamu lihat sendiri saya masih bekerja. Kumpul-kumpul uang. Habis banjir inilah banyak kayuku,”

“Cukupkah? Kalau nggak, carilah pinjaman,”

“Ke mana? Siapa percaya ngasih pinjaman sama orang miskin macam saya,”

“Siapa tahu ada yang bisa dimintai pinjam,”

“Kalau tak kasihan anak-anak mau saja saya pergi ngemusa[1] Sebulan mana tahu ada rejeki,”

“Ah, sekarang tak bisa kau mengandalkan itu. Gaharu lebih mudah lagi dicari di kebun orang. Di hutan sampai tembus Sarawak belum tentu kamu dapat,”

Salau membuat Lifung bersemangat memburu batang-batang kayu log yang diseret banjir. Mungkin dari tempat perusahaan-perusahaan kayu membalak pohon-pohon rimba. Pohon yang telah hidup ratusaan tahun lalu. Dari wajah Sungai Sesayap saat banjir macam sekarang, siapa pun dapat menerka apa yang terjadi di hulu sana. Sungai Malinau akan mengirim sampah kayu dan lumpur cokelat keruh yang berasal dari lahan tambang batu bara. Sungai Mentarang tak membawa lumpur seperti Sungai Malinau. Hanya mengirim sampah kayu dan kayu log itu. Di Sungai Sesayap air dan segala yang dibawanya bersatu padu.

Sewaktu masih bocah, saat tambang belum ada dan perusahaan kayu belum marak, air Sesayap jauh lebih beradab. Kalau pun banjir tak sebesar dan seburuk rupa macam sekarang. Tapi Sesayap selalu tabah menerima segala macam sampah, kotoran, bahkan racun dari perusahaan-perusahaan yang berkuasa di dalam rimba sana. Berkuasa untuk  menghabisi berbagai macam kehidupan. Bukit batu bara telah pindah entah ke mana. Begitu juga jutaan pohon telah lenyap dari habitatnya. Dibalak setiap hari bertahun-tahun oleh perusahaan yang tak pernah masyarakat tahu di mana kantornya.

Salau telah lama hidup sendiri.  Suaminya dulu pergi merantau ke Tawau, Malaysia, tak pernah kembali. Lima tahun sudah tak pernah ada kabar. Sidang adat memutuskan suaminya mati dan Salau resmi berstatus janda dengan 2 anak.

“Saya mau saja menikah tanpa minta apa-apa. Tapi kamu tahu sendiri kan saya punya keluarga. Merekalah yang pasti minta itu-ini. Saya hanya bisa membantu bicara dengan mereka agar tak minta berlebihan,” kata Salau.

Lifung bertekad untuk bekerja menggesek kayu tak henti-henti. Hanya dari kayulah ia mengandalkan bisa menafkahi anak-anak sekaligus mengumpulkan uang untuk keperluan pernikahannya nanti. Ia bersyukur karena sempat ikut  “banjir cup” tahun 2000 lalu sehingga punya hasil berupa chainsaw.

Beberapa tahun ia ikut banjir cup sama orang-orang Kampung Paking, Mentarang dan Semamu. Pekerjaan mengangkut kayu-kayu log yang diikat membentuk rakit raksasa. Rakit kayu log itu lalu dilarung dari lokasi pembalakan di hulu Sungai Mentarang ke log pond perusahaan di Muara  Simendurut, muara yang mempertemukan Sungai Simendurut dengan Sungai Sasayap di hilir Kota Malinau.

“Tahun depan ada Irau. Pemda pasti butuh kayu banyak. Kesempatan kita menggesek dari sekarang. Buat stok kayu banyak-banyak,”  kata Sigar sebelum musim hujan tiba.

Lifung mengiyakan. Selama musim banjir ia lebih sering menjaga Sungai Sesayap. Kadang-kadang ia menjaga banjir di muara Pulau Sapi, muara besar yang menjadi tempat pertemuan Sungai Mentarang dan Sungai Malinau, sekaligus hulu Sungai Sesayap. Kalau kebetulan punya bensin ia akan naik ke kampung yang berada di tepi kedua sungai tersebut.  Lifung tahu pemburu kayu itu bukan hanya ia sendiri. Pergi ke kampung hulu adalah cara supaya ia bisa duluan mendapatkan kayu hanyut.

Selama musim banjir kali ini ia sudah dapat 5 batang. Kayu-kayu log sebesar drum dan sepelukannya. Lifung lega. Dalam hitungannya kayu itu cukup memberinya modal untuk pergi ke orang tua Salau. Tinggal ia punya modal untuk beli bensin dan bekal selama menggesek saat musim kemarau atau saat curah hujan mulai berkurang.

“Berapa uang yang kamu perlukan?” tanya Teneng, bandar kayu pemilik somel di Kota Malinau.

“Buat bensin sama beras saja,”

“Ya berapa? Saya kasih tapi kayu jangan kamu larikan ke orang lain. Macam-macam kamu saya kasih masuk penjara!”

“Tapi harganya Koko samakan dengan yang lain!”

“Ah, mana bisa. Saya beli banyak. Berapa pun kamu jual saya beli. Kalau mau harga segitu ya kau jual sendiri. Jangan kamu minta modal ke sini,”

Lifung tak berdaya. Kebutuhanlah yang membuat ia sangat tergantung pada lelaki setengah tua, bos para penggesek kayu. Meskipun ia membeli dengan selisih harga yang lumayan besar dibandingkan dengan harga pasaran. Kalau sudah terima modal dari Teneng, Lifung begitu juga Sigar dan yang lainnya, tak bisa main-main pada Teneng. Sebab semua bahan untuk membangun pondok akan lari dulu ke somel Teneng. Malinau kecil saja bagi Teneng yang punya puluhan anak buah di berbagai tempat.

Pulang dari Teneng perahu Lifung penuh muatan. Karung-karung beras, gula pasir, garam, minyak goreng dan tetek bengek kebutuhan dapur anak sulungnya.  Tak ketinggalan 3 jerigen bensin isi 10 liter. Seharusnya ia bisa membeli 4 atau bahkan 5 jerigen. Tapi di pangkalan murah,  bensin subsidi sedang kosong. Yang ada tinggal non subsidi.

“Kamu datang terlambat. Kemarin datang. Sehari habis. Mungkin bulan depan baru ada. Kalau mau kamu titip uang dulu baru aman. Kalau tidak tak akan pernah kamu kebagian,” tukas si penjual bensin.

Entah benar atau tidak bensin subsidi  itu habis. Bisa jadi permainan nakal penjual belaka. Orang macam Lifung tak pernah tahu. Lagi pula beli dengan harga mahal pun sudah biasa. Yang penting ada. Yang penting besok chainsaw-nya bekerja. Kayu-kayu log terbelah dan satu demi satu papan-tiang tersusun.

Raungan chainsaw tak memberi celah suara lain masuk ke telinga Lifung. Begitu juga matanya nyaris tak punya kesempatan untuk melihat arah lain. Manakala bekerja Lifung akan mengerahkan seluruh konsentrasinya pada  rantai chainsaw yang bekerja membelah kayu. Kelengangan sesaat saja saat ia membenahi posisi gesekan. Setelah itu chainsaw kembali meraung. Dari pagi sampai tengah hari lalu disambung sampai matahari terbenam.

Leh, berapa kubik kamu dapat. Hari-hari chainsaw mu meraung terus? Jangan kayu terus kamu urus. Lolo-mu juga urus. Punyalah isteri,” tukas Tabun. Cengengesan menatap Lifung yang masih tersengal mengatur nafas.

“Kamu dari mana? Bilang kerja proyek?” sahut Lifung. Menatap  bekas anak buah Teneng itu.

“Lama sudah itu. Punya bos. Sekarang saya bisnis baru,”

“Tidak lagi bisnis kayu,”

“Itu masih. Mana bisa saya lepas. Cita-cita saya bikin KO Teneng. Kamu lihatlah,”

Laki-laki 35 tahun campuran Timur-Lundayeh itu tertawa. Lifung tersenyum saja melihat tingkah Tabun. Harusnya Tabun sudah jadi bos dengan usaha kayu yang seumur hidup ditekuni. Hasilnya cukup besar karena ia pernah punya 5 anak buah penggesek. Sayang ia tergiur bisnis minuman dari Malaysia. Untungnya besar. Tapi dua kali ia berurusan dengan polisi. Uangnya terkuras habis. Truknya dijual untuk menyelamatkan diri dari penjara.

“Saya butuh kayu. Berapa banyak kamu punya saya siap beli,”

“Wah, mana bisa. Kayu ini punya Teneng,”

“Kamu tidak usah takut. Saya tidak menjual untuk orang sini. Kamu mau minta harga berapa? Tak usah khawatir. Semua yang ada saya beli dengan harga normal. Bukan saya yang beli. Ada bos saya di Sekatak. Kalau kamu tak percaya sama-sama kita jalan ke sana,”

Lifung terdiam. Kalau tawaran itu diterima ia dapat lebih Rp300 ribu perkubik. Itu harga di tempat. Kalau diantar bisa dapat lagi dari selisih ongkos mobil. Lumayan. Ia punya puluhan kubik.

“Jangan mau kamu dibodohi terus sama Cina itu. Tidak juga kamu bakal mati tanpa dia,”

Lifung menghela nafas. Ia sepakat pada omongan Tabun.

“Polisi?”

“Tak usah khawatir. Mereka teman semua. Cuma kita hati-hati saja. Jangan sampai bertemu mereka,”

“Yakin lolos? Belum lama Burui ketangkap,”

“Itu karena dia menggesek kayu di lokasi perusahaan,”

“Bukannya dari hutan orang?”

“Saya lebih tahu. Pokoknya aman,” Tabun meyakinkan. Lifung sepakat. Berangkat bersama Tabun menjual kayu ke Sekatak dengan harga dan keuntungan yang sudah disepakati berdua.

Setengah dump truk papan sukses mereka jual ke Sekatak. Dibeli orang perusahaan kayu kertas yang sedang membangun kantor dan camp di area persemaian. Harganya sesuai dengan harga yang dikatakan Tabun ke Lifung. Orang perusahaan masih membutuhkan banyak, papan dan tiang-tiang. Ia menyuruh Tabun dan Lifung datang lagi membawa papan.

“Kita singgah di Rongkang,”

Tabun melirik ke Lifung yang mulai terkantuk-kantuk, kelelahan. Pulang pada rit kedua tak terlalu larut. Perkiraan lewat tengah malam sampai Rongkang. Lifung inginnya langsung pulang. Tapi ia tak bisa mengatur Tabun yang sejak rit pertama sudah berkeinginan singgah di Rongkang.

Lampu warna-warni di depan “Pondok Asmara” Rongkang masih gemerlap. Dua orang pria gemuk berkulit gelap duduk main kartu di depan. Tabun menyetop mobil di halaman. Pada malam-malam pasca gajian,  halaman “Pondok Asmara” selalu penuh motor dan mobil. Orang-orang perusahaanlah, sawit, kayu juga tambang, yang meramaikan rumah karaoke dan bordil itu.

“Masuklah sudah. Stok masih banyak. Yang baru ada,” sambut lelaki bercelana tentara.

Tabun dan Lifung masuk. Disambut seorang perempuan setengah tua, gemuk, berok mini dengan tank top merah muda. Empat perempuan menghampiri. Dua di antaranya masih muda. Mengenakan pakaian serba mini dan ketat. Darah Lifung memanas perlahan seiring dorongan alkohol yang diminumnya gelas demi gelas. Tabun masuk kamar setengah jam kemudian, meninggalkan Lifung yang mati-matian menahan diri dari godaan tiga perempuan.

Lifung sudah merancang, paling lambat sebelum Natal ia sudah menikahi Salau. Bahkan kalau dengan hasil 20 kubik papan cukup, ia memutuskan untuk menikahi Salau lebih cepat, bulan depan, sebelum tengah tahun. Ia tak tega melihat anak sulungnya kepayahan mengurus si kecil. Ia ingin melihat anak-anaknya dapat leluasa menikmati masa kecil seperti anak-anak lain, tanpa dibebani urusan orang tua. Anak yang sulung terpaksa putus sekolah. Dua adiknya sekolah tak karuan karena harus ikut sibuk membantu kakaknya.

Truk yang dikemudikan Tabun melaju sedang membawa beban penuh papan. Hari sudah petang ketika truk keluar dari jalan kampung, masuk jalan provinsi  yang menghubungkan kampung mereka dengan Kota Malinau. Ujung jalan provinsi ini adalah simpang 4 jalan nasional. Pada simpang 4 itulah mereka harus berhari-hati sebab kerap kali jadi tempat polisi dan satpol PP berjaga.

Truk Tabun kali ini berisi papan milik Lifung, Sigar dan dua temannya. Tabun menyetop truknya pada belokan terakhir sebelum simpang 4. Lifung  faham kenapa Tabun menyetop mobil. Ia turun lalu pergi untuk melihat situasi di sana. Memastikan tidak ada penjaga atau patroli.

Para penjual kayu belakangan harus ekstra hati-hati. Polisi kerap berjaga dan berpatroli di jalan raya. Menyetop kendaraan pengangkut kayu untuk memeriksa dokumen legalitas kayu. Tanpa dokumen, kayu-kayu itu dianggap ilegal. Sopir dan pemiliknya akan ditahan dan disidang. Lifung dan Tabun sudah mendengar beberapa orang meringkuk di tahanan. Mendengar juga cerita, orang lolos dari tahanan dengan uang tebusan yang bikin melarat.

“Aman,” tukas Lifung, sebelum naik. Tabun menghidupkan mesin. Truk kembali berjalan. Tabun melajukan truk dengan kecepatan maksimal agar lolos dengan aman dari simpang 4 itu. Tabun agak tegang. Begitu juga Lifung meskipun ia sudah melihat lokasi tersebut aman.

Lewat simpang 4 jalan besar membumung di hadapan mereka. Butuh 2 jam dalam keadaan muatan penuh untuk sampai tujuan. Perjalanan aman sebab hanya melalui hutan dan beberapa kampung kecil. Tabun meraih rokok dan menyulutnya. Diikuti Lifung.

“Kalau lancar begini cepat kaya kita,” tukas Tabun setelah menggerakan porseneling.

“Saya ingin segera kawin saja,”

“Kapan kamu temui orang tua Salau?”

“Pulang inilah,”

“Cukup saja kan uangmu?”

“Secukup-cukupnyalah,”

“Kalau masih kurang gesek lagi lah banyak-banyak. Mumpung ada kesempatan,”

Log-ku sudah habis,”

“Kalau mau kamu bisa menggesek di lahanku. Sudah kuurus kemarin. Tinggal nyuruh anak buahku masuk,” suruh Tabun. “Pulang kita singgah lagi di Rongkang. Saya penasaran oleh yang satunya. Kamu cobalah. Kapan lagi. Sebelum kamu beristeri,” sambung Tabun. Lifung tak menyahut. Membersit niat itu malam ini.

Belum 1 KM melewati simpang 4 ketika dari arah belakang spion truk menangkap sebuah mobil muncul dari belokan. Mobil dengan lampu merah dan biru di atas, berkerlipan. Tabun terkejut.

“Brengsek!” makinya, sadar yang melaju di belakang adalah mobil polisi yang biasa di pakai patroli atau mengejar buronan. Firasatnya, mobil patroli itu memburunya.

“Siapa juga yang memata-matai kita,” desis Tabun. Geram sekaligus panik. Lifung pucat. Mobil patroli membawa 5 polisi di belakang dan 2 di depan. Polisi yang duduk di depan melambaikan tangan, menyuruh agar Tabun menepi dan meyetop truknya. Para polisi yang duduk di belakang membawa senapan mesin.

Tabun melirik setelah menepikan truk ke bahu jalan. Melirik ke arah Lifung yang makin pucat. Mobil patroli berhenti 5 meter dari kepala truk. Para polisi bergerak turun.

“Jahanam!” gumam Tabun.

Lifung mematung, lemas. Wajah Salau, sirna. ***







Tentang Penulis


Waliyunu Heriman, lahir di Majalengka. Perantau & pedagang di Borneo. Sedang merampungkan Novel  Balalin.    Email: waliyunu@gmail.com. Facebook Waliyunu Heriman.


[1] Merambah hutan mencari pohon Gaharu (Aquilaria malaccensis)

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top