Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Bustan Basir Maras

0


SAU DZI* BALITUNG

 

bukit-bukit menari pasir, melumat kering udara kota

ke barat langkah menuju Muntok.

karam kapal berlabuh abad, jauh di pulau lampau.

 

sau dzi Balitung, kapal berlabuh, geladak menghela napas,

sauh dilemparkan kapal-kapal, Selat Bangka diam

selepas waktu menghela nafas kembali.

 

dermaga menjauh dari kapal, tangan ikan menengadah amin

lambung kapal mengejar busa riak air

teluk mencari Melayu ke hulu sungai.

gelembung air memapah rumah-rumah ke tepi.

puisi cinta berdendang serupa tangis para nelayan.

tangis mereka menjelma musim sungai Musi.

nasib mereka karam di hutan-hutan bakau malam.

 

di sini kolam waktu, kapal dan ikan berkejaran

kelopak musim hanyut dibawa gerimis

sesal kemudian tiada guna masa kan datang.

 

/Bangka, Agustus, 09/19.

 

*Sau Dzi: Bahasa Mandar berarti (ke/menuju)

Kisah Pembuangan Tokoh Mandar Ammana I Wewang ke Belitung.


 



BATANGHARI

 

melintas hari Batanghari, menukar letih

dengan kunang-kunang pucuk padi

lampu-lampu kota gemerlap membaca panjang jalan,

menunggu musafir di senja lintas sore dan malam bergegas menghambur

ruang malam terkapar lagi ke waktu.

 

laut bergelora, hulu mengantar ke muara,

bentang jembatan menyuapi mulut Batanghari  

garis lengkung langit melintas dikunyah serapuh bintang,

wajah bulan dijilati sungai, di dada Batanghari.

 

/Jambi-Jogja/Agustus /19.

 

 

 

  

MANUQ DEWATA*

 

diguyur jalan-jalan kota

rumpun Mongoloid tumpah di jalan-jalan,

berpeluh kios-kios dan toko besi, menjual angin dan mimpi

sipit mata orang-orang, berucap rumpun Melayu, ya di sini Melayu.

 

dinasti Ming menghamparkan mereka di permadani timah

lalu para buruh buangan dari Rotterdam menghambur datang

ini adalah negeri sendiri dimana kaki kokoh berdiri.

 

waktu menikung sejarah. Lengkung langit menjadi hitam.

ini tanah hamil tua, timah dan pedas lada

kita Melayu takkan hilang di tanah dan air sendiri.

 

dahulu, ini kota bukan milik kita. Lumut dan batu menjadi pertapa.

di cakrawala, kau dirikan mimpi-mimpi menjelma purnama dan merkuri kota

di setiap loteng dan lantainya, Manuq Dewata beterbangan, meneteskan saripati

dan kau tak lagi menadahkan nasibmu pada pedas lada dan beratnya timah,

kerja kerasmu membalikkan tanah, mengayak nasib tak tentu arah.

 

kini langit kotamu menjelma Manuq Dewata

langit membumbung angkasa. samudra menegadah.

tertatih langkahmu, terbanglah!

 

/Jogja, 009

 

*Manuq Dewata, bahasa Mandar, berarti Burung Walet.

 



 

PAGODA KEMARAU

 

di mulut sungai Musi

tiap detik menunggu waktu, pulau kecil namanya Kemarau.

tepian sungai menumbuhkan Pagoda mercusuar,

mejelma petapa sunyi dan dongeng tua ungu

seorang gadis bermata sipit telah karam di Sriwijaya.

 

kisah pulau tak kenal mati.

di sini lelaki perindu itu melarung cinta dan kesayangan

memahat diri di lekuk Musi, dalam mimpi

orang-rang mencarinya ke arus sepi di masa datang.

 

cukup pulau kecil itu saja

menjadi buku tua dan petuah moyang

berkecipak di muara, diam kapal berlabuh membuang penat

melempar sauh ke dada kita sesak.

 

/Musi-Palembang, 09/17.




 

PERJALANAN PETA 

 

pada perjalanan peta

gelisah selalu saja diamuk kata

senja merah berangkat jingga

aku pergi berlayar hanya berbekal rindu

berlabuh pada fajar pagi

aku tiba, di dermaga waktu

dari mana saja muasalnya.

 

kutempuh jauh jalan

didera segala rindu

di itu-itu juga aku namun tiba.

 

perjalanan pada peta

jarak kugariskan tempuh selalu

kuturut saja angin mata

ke sana rindu kuarahkan

kaku tetapi aku selalu saja

lagi berpaling aku tak dapat.

 

dapat sungguh tak lagi kasih.

hanya sebab kupalingkan wajahku

sejati satu hanya kaulah kekasih.

 

/Kaltim/05/15.




 

PADA TAK BERNAMA

 

kedatangan adalah isyarat kepulangan.

berlayar, tiba jua di tanahmu, tanah laut dan pantai melambai

begitu kata orang bermata biru mengejamu.

 

“Sitou Timou Tumou Tou” katamu.

manusia menjadi manusia sebab memanusikan manusia.

lirih bisikmu di telingaku. saat itu kuanggukkan kepalaku tanpa henti.

 

waktu merangkai senja. burung gereja menanti waktu di sini,

di sini keyakinan bukanlah berhalah. di sini manusia

adalah matahari di pucuk kamboja, kita adalah ranum rindu bumi purba.

 

pagi, kulafalkan segala yang dapat kau kenang.

menyusur kota tua, menemukan jejak para petualang

serta pelayaran mongoloid di antara deru kota,

dan orang-orang bergegas ke damai laut,

di sini kutulis sajak di batu-batu sebagai bekal pelayaran ke Bunaken.

 

kuingat pula segala resahku

kuperam sepanjang jalan saat ke Tomohon dan Tondano,

tergerus rindu segala rupa dan kubawa pulang

bersama kenangan gadis-gadis berjalan-jalan di teluk matamu,

memuja matahari, bulan dan bintang di keremangan.

 

di sini, tali temali kapal menyeret  kita ke tepi,

di antara desah ombak memukul-mukul pantai dan pelabuhan,

diantara canda tawa tamu yang renyah-merekah.

 

katakan padaku tentang didih darahmu yang sempurna melumat malam,

terjereat kesepian yang perih, hingga tuntas segala beku dan rindu di dada kiriku.

 

sampaikanlah aku lagi kemari, angin laut tenggara yang menggiringku luka parah,

memar bulan yang tak sudah-sudah, dekatkanlah, rekatkanlah,

agar sempurna malam yang tandas di batu-batu, dan senja dirimu tak usai,

diluruh malam-malam, diluruh sepi.

 

/0520




 

SAMASUNDU

:adil

 

gelap langit dalam tidurku, lelap cahaya ke kelam sunyi,

bintang-bintang berhamburan di jidatku, dan wajah kita jadi temaram.

 

di pagi hari, akar matahari menembus kolam yang tumbuh dari sungai jiwa,

dari akar-akar yang menghimpun kenangan dan sejarah panjang remah tanah Mandar.

 

sudahlah, lepaskan saja resah itu, menyelamlah ke danau rindu

yang tak nampak ranah tanah tepinya.

 

di pagi hari, ibu dan bocah menari meniru bayangan di tepi kolam,

bicara-bicara cinta matahari dan bulan, sementara akar pohonan

memnghujamkan rindu ke gigir kolam, temaram air adalah rindu maha Kekasih,

hingga rela dan direlakannya.

 

sebenatar lagi matahari pamit pulang ke senja,

bulan menghadang langkah angin, rindu menderu,

rindu menderu, menyerahlah.

 

/Samasundu, 1120.




 

GARO’GO’

:muriyusnar

 

sepuluh tahun lepas lagu itu masih terus berdentum dalam kamar,

ingatan mesin jahit ayah ibumu masih terus menambal hari dan malam kusam,

serta nasib yang kadang tak memihak diri.

 

tapi deru kereta kuda dan tiktok sepatunya telah dikunyah usia zaman,

tapak-tapak kuda yang dulu mengantarkan kita ke dermaga cita-cita,

saat bulan dan bintang belum memahami apa makna

setiap pertemuan kita di relung langit yang hampa.

 

kawan, hidup memang selalu sendiri, tapi Tuhan tak begitu,

rumput-rumput juga tumbuh hijau menghampar langit,

meski hidupnya tak jauh dari akar tempatnya berpijak.

 

maka cintamu yang menawarkan air laut itu,

adalah rindu purba pengembara sepertiku.

percayalah, matahari kan terbit lagi,

dan purnama kan hinggap di rambutmu yang perak.

 

/Majene, Agustus, 012.

 

 

 

 

LEKUK MENGUKIR JEPARA

 

kota tua malam-malam dan kita tiba

usai genap menghisap nafas bidadari

rumah-rumah terjaga, malam membelam

kamar gelap, menghentikan langkah jarak

mimpi rindu, adalah cinta di langit sakit.

 

mulutmu dingin, sebeku salju di savana

lampu jalan kota menelanku di taman-taman

seludah kunyah kata tak satupun bangkit dari langit-langitku

langkah menandaskan kita di jalan, mengendus aroma asing

kota ini telah mengimpor mimpi dan dusta.

 

di lekuk Jepara, kujilati ukir tubuhmu

tangis langit berguguran, panas terik kata mengalir deras

membakar jidatmu yang basah

rambutmu hitam jatuh ke lantai

dikirim pelancong ke negeri entah

menjelma malam jadi dua.


/Jepara, 810.

 

 

 

 

LEKUK KAMPUNG GADIS MUSIM

 

lekuk setapak adalah sajak sederhana abadi

sebab keabadian lahir dari kampung tua

di rindang pohon jati, di barisan pinus jiwa.

 

pulanglah gadis mungil dari kebun jagung menguning,

habiskan percintaan di gubug sepi.

di sana seorang gadis mungil bermata bulat menanti,

pipinya merah dirajam angin dingin, berjuntai di antara jati dan pinus.

 

aku teringat selalu gadis mungil itu. berdiri di depan pintu,

berhadapan dengan kolam senja. ia melentikkan jari jemari di bunga

dan di daun-daun, sambil menatap tajam pelagi yang menancapi kepalanya,

bidadari menggelantung di indah pelangi itu

dan mandi di ubun-ubun gadis kecil itu.

 

kuingat selalu ia berlalu di pagi hari mengitari taman.

pelangi mengejarnnya hingga ke halaman, lalu pulang ke ranjang

berselimut pelangi, dan malam jadi temaram

diamini kunang malam.

 

/Jakarta-Palu, 311.

 

 

 


Tentang Penulis


Bustan Basir Maras (di Jogja akrab disapa Daeng Bustan) penulis dan peneliti budaya, menyebabkan ia telah berjalan ke berbagai pelosok nusantara, bahkan ke beberapa negara tetangga. Lahir di Mekkatta, Majene, pelosok Sulawesi Barat (Sulbar). Sebelum pindah ke Yogyakarta, pendidikan SD hingga SLTP ia selesaikan di kampung halamannya. Sedangkan SLTA diselesaikannya di MA DDI Baruga-Majene, Sulbar. Sepanjang masa studi itu, aktif di berbagai komunitas sastra budaya, teater, gema pelajar, sahabat pena di Mimbar Karya Sulawesi Selatan (Sebelum Sulbar).

Tahun 1998 memilih tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Hadiningrat dan beberapa kota lain di Pulau Jawa. Menempuh pendidikan formal di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Oxford Course (Binaan Oxford University), juga aktif di sejumlah sanggar sastra dan pers mahasiswa, sekaligus sebagai Dewan Pertimbangan Forum Pers Mahasiswa Yogyakarta (FORESMAYO) 2001-2002.

Dunia puisi dan menulis ia tekuni sejak masih belia. Menjuarai penulisan dan pembacaan puisi sejak duduk di bangku SD-kuliah. Tahun 1997, juara satu lomba penulisan naskah Pola Hidup dan Kebudayaan: Miskin Perkotaan dan Pedesaan  tingkat Kab. Majene, lalu  juara dua tingkat Propinsi Sulawesi Selatan. Pertengahan tahun 2002 menjadi nominator penulisan puisi, (selekda BSMI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan pada tahun yang sama (2002), kembali juara dua dalam penulisan puisi-Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (Peksiminas) ke VI (enam). Buku puisi pertamnya Mata Air Mata Darah (2004) meraih penghargaan Rektor UIN Sunan Kalijaga dan penghargaan dua kali berturut-turut sebagai mahasiswa produktif menulis di berbagai media massa, lokal maupun nasional.

Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media nasional dan internasional. Membagi waktu mengisi sejumlah acara seminar sastra budaya, festival, melakukan riset Antropologi-Budaya dan kerja-kerja sosial budaya. Tahun 2010 merampungkan studinya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Pascasarjana-Antropologi, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, mendirikan beberapa komunitas di Yogyakarta dan di Mandar-Sulbar: seringkali memaksanya tinggal di dua kampung halaman ini bergantian. Membacakan puisinya di Menara Kuala Lumpur-Malaysia pada Pesta Penyair negara ASEAN, Tour Sastra di Batam dan Singapura, mengunjungi Songkla University dan melakukan riset singkat di Bangriang, Tanhamhom, Songhkla-Thailand.

Menerbitkan sejumlah buku, tunggal maupun bersama (Bunga Rampai).  Mata Air Mata Darah (Buku Puisi 2004), Damarcinna (Kumpulan Cerpen 2005), Negeri Anak Mandar (Buku Puisi 2006), Ziarah Tanah Mandar (Kumpulan Cerpen 2006, terbit kembali Special Edition: Ziarah Mandar 2010). Setidaknya ia telah menulis sembilan buku karya tunggal, terdiri dari buku puisi, esai dan karya penelitian budaya, dan dua puluh tiga bunga rampai, ditulis dengan berbagai kalangan pengggiat sastra budaya, kalangan kampus dan lainnya. Tahun 2018 mendapat Penghargaan Anugrah Kebudayaan Pemda (DPRD) Kab. Majene, Sulbar.

Di Yogyakarta ia tinggal di Jln. Wates KM. 10 Sedayu (Markas GOeBOeK Indonesia), jika sedang di Mandar-Sulbar, tinggal di Mekkatta-Malunda (Korumta). Dapat dikontak via email: bustanbasir12@gmail.com, FB & Youtube Chanel: Bustan Basir Maras, IG: bustanbasir.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top