Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi H.M. Nasruddin Anshoriy Ch.

0

 

LEBARAN HAJI

 

Lebaran Haji tahun ini seperti cawan jatuh

Pecahan kaca berserak di bulan Juli

Menyembelih cinta dalam sisa nafasku

 

Jejak Talbiyah dan jerit takbir

Menderu dalam sunyi takdirku

Pengorbananku adalah keimananku 

 

Tak cukup hanya domba paling putih saja

Untuk kukorbankan di musim pandemi ini

Saat sanak-saudara satu persatu pergi

Ketika kawan-kawan seiring seperjalanan sudah mendahului

Keimananku dan pengorbananku

 

Tuhanku

KebesaranMu mendedah resah

Melukis keikhlasan di lorong sunyi kesabaranku

Sebab kelahiran dan kematian 

Ada di genggamanMu

 

Kuziarahi kapak Ibrahim di bulan haji ini

Sudahkan berhala ketakutan ini kutebas dengan pedang imanku? 

Sudahkah pedang tajam ini kuayunkan pada leher takaburku? 

 

Lebaran haji tahun ini menjadi labirin kerinduanku

Pandemi memendam lebam dalam dukaku

 

Tuhanku

Tanamkan Tauhid Nabi Ibrahim di sawah-ladang kalbuku

Takbir dan salam Nabi Ismail dalam helai nafasku

Iman dan ilmu Nabi Ishak yang mengakar di belukar nalarku

Agar Talbiyah Cinta yang kutakbirkan di rongga dada ini tepat waktu di pintu rumahMu 

 

Gus Nas Jogja, 19 Juli 2021




DOA DI PADANG ARAFAH

 

Tuhanku

Wukufku mewakafkan rindu

Terik Padang Arafah ini menyalakan suluh 

Membakar angkuh selingkuhku

 

Wajahku tengadah

Berharap cipratan cahaya

Dari api cintaMu

Matahari ketakwaan

Matahari kesabaran

Matahari hidayah

Serta sebelas matahari dalam mimpi Nabi Yusuf

Menjadi sinar talbiyah menembus ubun-ubunku

 

Padang Arafah ini telah menjadi kafan jiwa-ragaku

Semesta bertakbir mengubur takaburku

 

Hari ini kupuasakan puisiku

Menjadi tamu Sang Maha Rindu

Membuat syairku mendadak bisu

 

Di Padang Arafah 

Doa-doaku membeku seputih salju

Iman yang penghabisan

Pada Dzat yang melangitkan sukmaku

Pada Dzat yang membumikan sujudku

 

Inikah jawaban teka-teki di surga itu

Saat para malaikat bertanya

Bagaimana bisa manusia dipercaya menjadi penggembala

Menjadi khalifah di muka bumi

 

Manusia yang suka membuat kerusakan 

Menusia yang tega menumpahkan darah

Manusia yang terus jumawa dan mewariskan residu

 

Di Padang Arafah 

Tak ada ranting yang patah 

Tak ada darah yang tumpah 

Semesta mengucap talbiyah

Doa seluruh dunia meneroka cinta

Menyenarai kesembuhan manusia dan bumi yang kian cedera 

 

Tuhanku

Berjuta tangan Nabi Ibrahim mengayunkan pedang cintanya 

Menyembelih perih dan remuk redam nestapa jiwa 

 

Manusia yang berselimut hasud dan dengki

Manusia yang bermahkota taring serigala 

Sudah saatnya memecat maksiat dari nafsu syahwatnya

Lalu munajat dan membulatkan taubat memohon ampunanMu

 

Tuhanku

Kupuasakan nafasku di Hari Arafah ini 

Detak jantungku bersenandung

Tangis taubat meratap-ratap mencari ampunanMu

Merayakan banjir air mata mengharap ridlaMu

 

Tuhanku

Kukepal tawakkalku

Kudedah pasrahku

Kubulatkan iman dan cintaku

Semata hanya padaMu

Terimalah! 

 

Aamiin 

 

Gus Nas Jogja, 19 Juli 2021

9 Dzulhijjah 1442 Hijrah

 



MATAHARI ARAFAH

 

Matahari Arafah memancarkan rindu

Mendidihkan doa pada wukufku

 

Bertemu dua nabi di sini

Kutuangkan madu dalam secangkir susu

Perjamuan para perindu

Talbiyah cinta kuikrarkan dalam partitur doaku

 

Kucium tangan lembut Nabi Ibrahim 

Kukecup mesra jemari Nabi Ismail selembut sutera

Wukufku menjelma pesta penghuni surga

 

Matahari Arafah menafkahi jiwaku

Sinar keindahan bagi para pencari

Suluh cahaya bagi iman di dada

 

Bertikar ranting pelepah kurma

Bersajadah pasir beratap mega 

Kusujudkan wajahku dalam kilau Cahaya 

 

Tega atau tidak tega

Telah kupastikan dalam tekadku

Telah kuniatkan dengan iman merindu

Esok pagi akan kusembelih nafsu kebinatangan itu

 

Bukan kambing hitam yang akan kukorbankan

Tapi domba paling putih di kehidupanku

 

Labbaik Allahumma Labbaik

Labbaika La syarika Lak

Aku datang padaMu

Memenuhi panggilanMu

Terimalah! 

 

Gus Nas Jogja, 19 Juli 2021

 



DARI POJOK DEPOK

 

Dari pojok Depok kuintip Indonesia 

Suara sunyi menjamah hati

Aku melihat jutaan jaket kuning bergerak

Menyanyikan lagu Bagimu Negeri 

 

Apa yang telah kaubawa dari Salemba 

Selain nyala?

Api kemanusiaan dan kedaulatan 

Bagi Ibu Pertiwi!

 

Ijinkan aku merindukan wajahmu yang dulu

Kampus perjuangan untuk kesehatan dan vaksin

Opleiding van eleves voor de genees-en helkunde en vaccine

Kampus kebangsaan bagi kedaulatan 

Indonesia kini dan nanti

 

Veritas! Probitas! Lustitia!

Begitulah kredo yang lantang bergema di degub jantungku

Kebenaran! Kejujuran! Keadilan!

Itulah jalan terjal berliku 

dimana kita menuju

 

Dari pojok Depok kusaksikan Jakarta

Lalu-lalang para pialang

Kasak-kusuk para pemabuk

Tarian poco-poco para calo

 

Di kota yang dulu bernama Batavia itu

Konon katanya berkibar-kibar para makelar 

Comberan kotor para koruptor

Tempat transaksi siasat korupsi

Sekelam itukah langit metropolitan Indonesia?

 

Kusebut UI sebagai palang pintu 

Bagi kemerdekaan yang digadaikan pada kekuasaan

Bagi kecerdasan yang dipenjara oleh birokrasi

Bagi kejujuran yang dirantai oleh jabatan

 

Kulihat langit pekat di atas ubun-ubun Jakarta 

La Nina dan El Nino merayakan pesta

Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Menyalakan api di cakrawala 

 

Di pojok Depok kugantungkan bait-bait sajakku

Kucari lubang kunci untuk masa depan Ibu Pertiwi 

Akankah kutemukan sawah-ladang kemakmuran 

Tempat menanam padi dan kapas kesejahteraan itu?

 

Derai gerimis di Kebun Raya Bogor

Menyirami kemarau di rumah rindu

Pohon-pohon tua dan bunga teratai

Menyanyikan orkestra dalam bait puisiku

 

Dari pojok Depok kulihat Indonesia Raya

Jaket kuning yang tak boleh luntur 

Walau usia kian menua

Meski senja telah merona

 

Gus Nas Jogja, 17 Juli 2021




LUKISAN HUJAN

Kepada Gus Mus

 

Jika kegelapan itu milikku

Baiklah!

Dengan kuas cahaya 

Pada kanfas ratap doa

Akan kulukis hujan 

Dalam banjir bandang 

Dosa-dosaku

 

Telah lama aku _tersesat_

Di tebing terjal _makrifat_

Pada jalan lurus mendaki

Menuju Rindu Hakiki

Memetik Ridla Ilahi

 

Jika tetap tak ada peluk

Hingga usai sisa usiaku melapuk

Kuputuskan untuk menunduk

Agar cinta terkubur sejuk

Agar jiwa berkalang takluk

 

Melukis hujan adalah amsal sesalku

Agar kucuran rahmat

Telaga _shiratal mustaqiem_

Mencuci sengkarut masa laluku

Lidah cabang bergincu tak tahu malu

 

Semoga yang tersisa 

Hanya warni-warni surga

Yang tersia adalah nafsu 

Syahwat yang fana

 

Gus Nas Jogja, 17 Juni 2021

 



SECANGKIR KOPI MENJELANG PROKLAMASI

Kepada Tan Malaka

 

Berapa didih akan kau seduh pada kopi pahit di cangkir ini? 

Diseduh, diseduh, diseduh, mendidih!

Di joglo tua ini kita berdebat dari pagi ke pagi tiada henti. Untuk sebuah negeri. Tentang sepotong nurani. Soal janji kemerdekaan yang pantang dikhianati.

Terbentur. Terbentur. Tafakur.

Siapa yang begitu tega menjilat ludah sendiri? Siapa yang menghamburkan ribuan agitasi hanya untuk dikhianati oleh dirinya sendiri?

Anak-anak revolusi itu selalu didustai oleh propaganda dan mimpi

Bahkan demokrasi telah dikremus dan dikremasi oleh oligarki

Tembok tebal dan malam yang gelap telah menyemayamkan seluruh pertanyaanmu, Tuan Tan Malaka. Tanpa nisan. Entah batu atau rindu. Semua berakhir kelam dan kelu. 

Terbentur tapi tak hancur. Terbentur tapi bersyukur. Terbentuk tanpa mengutuk. Inilah caramu menziarahi kuburmu. 

Dari tanah Minang hingga tiba di bumi Jawa, berapa domba yang sanggup engkau gembala, Tuan Tan Malaka?

Antara Bung Karno dan Bung Hatta

Aku melihat bayanganmu menari

Madilog menggaris langit dan cakrawala

Menjadi kiri memang butuh nyali, jika ke kanan penuh pengkhianatan. Benarkah, Tuan?

Terbentur. Terbelah. Terbakar. Terkubur. 

Secangkir kopi telah kau hidangkan menjelang hari proklamasi. Sesudah itu sepi menyelimuti, tanpa nisan, tanpa mimpi.

Hanya kopi yang masih mendidih di cangkir sunyi. Selamat jalan, Tuan Tan Malaka! 

 

Gus Nas Jogja, menjelang Proklamasi 2021

 



AKULAH PENCURI KAIN KAFAN ITU

 

Saat Pandemi tak kunjung henti 

Dalam dingin cinta yang meratap dengan degil doa

Akulah pencuri kain kafan itu!

 

Ayat-ayat telah lama sekarat 

Doa demi doa seakan binasa

Kemanusiaan yang sudah sekarat dan menanti ajalnya

Hanya kain kafan kusam yang sanggup membungkus takaburku

 

Dunia yang rusak oleh tamak dan budi pekerti yang koyak-moyak tanpa makna

Kepada siapa kupersembahkan bunga rampai dosa-dosa ini?

Iman yang telah lasak oleh gelak-tawa pemuka agama?

 

Kucuri kain kafan usang para Nabi 

Sebab selimut dunia hanya penuh basa-basi

Tidur tanpa mimpi dan nyenyak yang terus dikhianati 

 

Inikah basa-basi budi pekerti yang penuh tata-tertib tapi miskin tata-krama ini? 

 

Dan agama ini, tarekat ini, cinta ini, sudah begitu lama kukafani 

Untuk kujadikan sayap menuju Jalan Kembali 

 

Gus Nas Jogja, 21 Juli 2021

 



Tentang Penulis



H.M. NASRUDDIN ANSHORIY CH. atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, W.S. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dan lainnya.

 

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

 

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI; menjadi konsultan manajemen; menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top