PENYAIR BANYUMAS BERBICARA HUJAN
Oleh : Muharysam Dwi Anantama
Hanya berupa butiran air yang melayang jatuh mencumbu bumi. Bersetubuh dengan tanah. Tak ada yang spesial tampaknya. Hujan yang sederhana tak mutlak benar adanya. Kehadirannya tak pernah sendiri.
Hujan selalu menawarkan bermacam imaji. Bahkan bagi sebagian orang kedatangan hujan menggugah memori. Bukan hanya tubuh yang terbasahi, melainkan juga ingatan dan nurani.
Tak mengherankan jika para sastrawan rajin menghadirkan hujan sebagai objek inspirasi. Muhammad Musyaffa, misalnya, menghadirkan hujan melalui puisi “Perahu 2”. Simak penggalan puisi yang termaktub dalam antologi Historiografi (2013) itu: Agar jiwamu dan aku larut dalam arus/mengabadikan bulir hujan yang/di tangkap mata. Lewat puisi itu dia menjelaskan pada kita, ada banyak peristiwa turut dalam setiap butir hujan yang jatuh ke bumi. Bagi sebagian orang, hujan bisa tak ramah.
Setiap percik mengekalkan resah. Kita bisa merasai dalam puisi gubahan Badrudin Emce, “Siklus Hujan”: Hujan. Hujan terus hatiku, membasahi/ senyummu./Sendu. Sendu hujanmu, mengguyur hatiku.
Rintik hujan menjelma luka bagi orangorang yang memeram lara. Setiap orang akan menandai hujan dari berbagai sisi. Begitu pula penyair. Dalam diri penyair, hujan bisa menjelma apa saja. Penyair memasak ikhwal hujan dengan segenap rasa. Menyuguhkan pada pembaca dengan sudut berbeda.
Hujan yang Paradoksal
Petani selalu butuh hujan. Hujan adalah hadiah terindah. Buah dari tangan yang selalu tengadah, mengharap berkah. Petani menggantungkan hidup dari hujan. Hujanlah yang memandikan lahan yang kerontang. Tampaknya bukan hanya petani yang rindu hujan. Semesta pun selalu rindu.
Ada rindu pohon pada hujan di langit, ada rindu hujan pada pohon di bumi. Barangkali itulah muasal Hendrik Efriadi menciptakan puisi “Hujan-hujanan” dalam antologi Epilog Kota-Kota (2016). Hujan, kali ini kedatanganmu di pucuk rinduku/ Mata hujan, seumpama kekhawatiran. Ada rindu dalam rintik hujan. Rindu yang tak sampai antara hujan dan pohon. Sebab, ada kemarau panjang yang menghalang. Hujan tak pernah kalah pada kemarau. Rindu yang makin menggelora akan sampai pada puncak. Kita sering mengalami hujan pada musim kemarau.
Dalam puisi Dharmadi, “Dalam Kemarau”, kita dapati gambaran hujan tetap mencoba menuntaskan rindu pada semesta: demi hujan langit setia menjerat awan yang/digiring angin sambil mengingat bumi. Begitu giat hujan menuntaskan rindu pada semesta.
Wanto Tirta pun mengabadikan usaha hujan dalam menuntaskan rindu. Dalam puisi “Kutitipkan Hujan” bisa kita dapati gambaran itu: ketika wajahmu kering/kutitipkan hujan pada angin/menyeka belaian sejuk di tiap lekuk.
Segala cara dicoba demi menuntaskan rindu. Namun tampaknya pertemuan hujan dan semesta tidak tuntas pada bulan-bulan yang dipeluk kemarau. Wanto Tirta dalam puisi “Perjanjian dengan Kekasih” menulis: Bagai sandiwara hujan/di musim kemarau/ buatan manusia/hanya sepintas menyiram kesejukan/setelah itu kembali panas.