Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Esai Muharysam Dwi Anantama

0

 

PENYAIR BANYUMAS BERBICARA HUJAN

Oleh : Muharysam Dwi Anantama
 
Hujan sangatlah sederhana. Mata kita telah mengenalnya dengan baik. Menatap rintiknya ketika membasahi punggung tanah yang kerontang. Menyaksikan perjumpaannya dengan daun dan dahan yang merindukan kehadirannya. Begitu pula telinga kita, telah hafal dengan gemuruhnya ketika mencumbui atap rumah, membentuk aliran menuju tanah yang rekah dan basah.

Kesederhanaan hujan dapat kita tilik dalam puisi karya Sapardi Djoko Damono, penyair yang gemar membicarakan hujan dalam puisinya. Apakah yang kita harapkan dari hujan?/mula-mula ia di/udara tinggi, ringan dan bebas; lalu/mengkristal dalam/dingin; kemudian melayang jatuh/ketika tercium bau/bumi. Puisi berjudul “Hujan dalam Komposisi” itu menggambarkan betapa hujan begitu sederhana.

Hanya berupa butiran air yang melayang jatuh mencumbu bumi. Bersetubuh dengan tanah. Tak ada yang spesial tampaknya. Hujan yang sederhana tak mutlak benar adanya. Kehadirannya tak pernah sendiri.

Hujan selalu menawarkan bermacam imaji. Bahkan bagi sebagian orang kedatangan hujan menggugah memori. Bukan hanya tubuh yang terbasahi, melainkan juga ingatan dan nurani.

Tak mengherankan jika para sastrawan rajin menghadirkan hujan sebagai objek inspirasi. Muhammad Musyaffa, misalnya, menghadirkan hujan melalui puisi “Perahu 2”. Simak penggalan puisi yang termaktub dalam antologi Historiografi (2013) itu: Agar jiwamu dan aku larut dalam arus/mengabadikan bulir hujan yang/di tangkap mata. Lewat puisi itu dia menjelaskan pada kita, ada banyak peristiwa turut dalam setiap butir hujan yang jatuh ke bumi. Bagi sebagian orang, hujan bisa tak ramah.

Kehadirannya bisa saja melahirkan amarah. Kita tengok dalam puisi Eri Setiawan dalam Historiografi (2013): lalu biarlah aku petik rinai-rinainya/sampai hujan sunyi tuk sampaikan luka. Eri Setiawan dalam puisi “Pesan Hujan” itu menghadirkan makna lain dari hujan. Percumbuan hujan dan tanah mungkin saja mengantarkan gelisah.

Setiap percik mengekalkan resah. Kita bisa merasai dalam puisi gubahan Badrudin Emce, “Siklus Hujan”: Hujan. Hujan terus hatiku, membasahi/ senyummu./Sendu. Sendu hujanmu, mengguyur hatiku.

Rintik hujan menjelma luka bagi orangorang yang memeram lara. Setiap orang akan menandai hujan dari berbagai sisi. Begitu pula penyair. Dalam diri penyair, hujan bisa menjelma apa saja. Penyair memasak ikhwal hujan dengan segenap rasa. Menyuguhkan pada pembaca dengan sudut berbeda.

Bahkan hujan dapat menjelma liyan. Itulah yang bisa kita dapati dalam puisi Teguh Trianton berikut: hujan adalah kau, yang menghilir di serat-serat nafas,/menggenang di ingatan yang hijau. Bisa pula kita lihat melalui puisi Ayu Estika (dalam Historiografi, 2013), “Di Tepi Rawa Selepas Hujan”: di tepi rawa selepas hujan/engkau adalah sosok yang menjelma/di antara rintik yang menetes.

Hujan yang Paradoksal


Hujan turun bisa karena apa saja. Ada sesuatu yang menggerakkan. Mungkin hujan lahir dari mulut Pak Tani yang basah oleh doa. Suryanto mengabadikan hal itu dalam puisi “Hujan”. Getar cemas kau kirim pada langit/menjelma rintik hujan (Magelang Ekspres, 5 Mei 2018).

Petani selalu butuh hujan. Hujan adalah hadiah terindah. Buah dari tangan yang selalu tengadah, mengharap berkah. Petani menggantungkan hidup dari hujan. Hujanlah yang memandikan lahan yang kerontang. Tampaknya bukan hanya petani yang rindu hujan. Semesta pun selalu rindu.

Ada rindu pohon pada hujan di langit, ada rindu hujan pada pohon di bumi. Barangkali itulah muasal Hendrik Efriadi menciptakan puisi “Hujan-hujanan” dalam antologi Epilog Kota-Kota (2016). Hujan, kali ini kedatanganmu di pucuk rinduku/ Mata hujan, seumpama kekhawatiran. Ada rindu dalam rintik hujan. Rindu yang tak sampai antara hujan dan pohon. Sebab, ada kemarau panjang yang menghalang. Hujan tak pernah kalah pada kemarau. Rindu yang makin menggelora akan sampai pada puncak. Kita sering mengalami hujan pada musim kemarau.

Dalam puisi Dharmadi, “Dalam Kemarau”, kita dapati gambaran hujan tetap mencoba menuntaskan rindu pada semesta: demi hujan langit setia menjerat awan yang/digiring angin sambil mengingat bumi. Begitu giat hujan menuntaskan rindu pada semesta.

Wanto Tirta pun mengabadikan usaha hujan dalam menuntaskan rindu. Dalam puisi “Kutitipkan Hujan” bisa kita dapati gambaran itu: ketika wajahmu kering/kutitipkan hujan pada angin/menyeka belaian sejuk di tiap lekuk.

Segala cara dicoba demi menuntaskan rindu. Namun tampaknya pertemuan hujan dan semesta tidak tuntas pada bulan-bulan yang dipeluk kemarau. Wanto Tirta dalam puisi “Perjanjian dengan Kekasih” menulis: Bagai sandiwara hujan/di musim kemarau/ buatan manusia/hanya sepintas menyiram kesejukan/setelah itu kembali panas.

 

Tentang Penulis



Muharsyam Dwi Anantama, Alumnus Program Magister Pendidikan Bahasa Indonesia UNS Surakarta. Pengajar bahasa Indonesia di SMA Islam Andalusia Kebasen, Banyumas. Tinggal di Desa Lebeng, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas.
 
 
 
 
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top