PIGURA SEMESTA
Ia
belum selesai ketika langit jingga berucap: au revoir
Kain satin
Membalut langit
Pada pipih waktu
Dan
aku mencuri doa
Para pendosa
Yang memar oleh malam
Ketika bertugur
Ada
yang tak lekas, cintaku
Ada yang membasah pada pelupuk matamu.
2019
MEMUJA TEPI
Ketika
tepi itu fatamorgana
Ingin aku dengan riang menyongsongnya
Tersebab rindu akan indah pada layar prisma.
Ketika
tepi itu oase tak berpintu
Ingin aku dengan murung meninggalkan dan berlalu
Tersebab rasa sepi adalah rahim jemu
Tepi, kita tahu,adalah suaka tak berbatas
Ruang
di mana raung dengan mudah ditebas
Dan kepompong sangtuari yang kedap bebas.
2019
KAU TIKAM
JANTUNG WAKTU
Kau
tikam jantung waktu dengan semenamena
Kau rajam rindu hingga ke denyut nadinya
Sebelum kemudian detik berhamburan dari mulut jam
Memekikkan irama gegar kematian
Kau
robek kelam pada angka penanggalan
Kau siksa rabu dalam sepi penantian
Sekon berjajar pada mistar itu kini berangkat sekarat
Tergamit oleh takdir lewat tangantangan malaikat
2019
JEJAK-JEJAK
MENUJU SUBUH
Membaca
jejakjejak sebelum terjebak
Aku sampai pada seutas jalan bernama subuh
Udara dan halimun mengabut
Oleh ayatayat yang samar serta jauh
Sayapsayap
malaikat itu
kembali berkemas
Meninggalkan bumi yang cemas
:
Mu
Kugapai lewat sujud yang retak pada sempadan rindu
Airmata berserak di pelataran
selaksa jejak.
2019
MELANKOLIA KOTA
Kepada
siapakah engkau mengeluh?
Lenguhanmu pun tak bakal jadi larik-larik puisi
Tersebab dalam imaji rimba beton
para robot dingin itupun
Berseliweran di jalanan kota
Kepada
siapakah engkau menanam doa?
Madah suci pun tak sampai ke langit
Tersebab lelehan cakrawala
Menyumbat nadi cinta yang tercelup melankolia
2021
AIRMATAHARI
Jangan
kirimi aku uap embun
Karena aku bukan alamat ranah yang rimbun
Jangan
kirimi aku ombak laut
Tersebab aku rindu pantai tak bertaut
Jangan
kirimi aku majas tak bertangkai
Tersebab aku bait sajak tak berbingkai
Jangan
kirimi aku airmatahari
Karena engkaulah doa yang tercuri
Amin.
2021
LIRIK PARANOIA
Mungkin
sebuah sungai bening
Mengaliri sebentang oase kering
Dalam kemasan sepetak fatamorgana
Dan terbubuh pada partitur melankolia
Tapi,
adakah yang lebih nyeri dari lirik ellegi
Ketika doa terlepas dari bingkainya
Lalu dengan amarah pergi membelah-belah matahari
Menjeritkan lantang sebagian bait paranoia?
2021
BAIT- BAIT
PURNAMA
Langit
perca menggurat bait-bait purnama
Sejenak senja lalu jeda dan tertunda. Rembulan menetas dari cangkangnya
Biasnya kautangkap di riak kolam
Namun
tak ada Narcisus di sana. Berkaca pada sekujur fatamorgana
Hanya gegar pancaroba dan kulit pandemi yang mengelupas sisik-sisiknya
Engkau menunjuk ular namun aku melihat kabut
Barangkali
penantian pada margin ini
Adalah mistar waktu dengan skala yang satu demi satu tanggal
Dengan lolong kesakitan dari bawah sadar yang kian dangkal
2020
HIMNE AGUSTUS
Menggumamkan
sunyi agustus nyala nadiku mendadak lampus
Tulang dan darah yang pernah bersenyawa
layu di altar kudus
Pada
titinada terbubuh himne luka
Dan ketika itu, kita tahu,nenek moyang menyanyikan
lagu kebangsaan airmata.
2020
RANGGAS KEMARAU
Hanya
hurufhuruf puisi tanpa spasi
Terbubuh di langit kemarau ini kali
Fontosintesis menjemput ajal
Juga binar cahaya matahari tak kekal
Hanya
ranting rapuh menembang lagu megatruh
Dan bumi tertunduk sekaligus trenyuh
Tarian kanakkanak satu demi satu luruh
Kian layu serupa kehilangan ruh.
2020
Heru Mugiarso,
lahir di Purwodadi Grobogan, 2 Juni 1961.Dia menulis puisi sejak masih duduk di
bangku SMP. Karya-karyanya berupa puisi
(hingga kini sudah mencapai ribuan), esai, cerpen, artikel, di muat di media
lokal dan nasional. Antologi puisi tunggalnya yang telah terbit : Tilas Waktu (2011) dan Lelaki Pemanggul Puisi (2017). Novelnya bertajuk Menjemput
Fatamorgana terbit tahun 2018. Bukunya
yang lain adalah : Wacana Sastra Paragraf
Budaya (2019), dan Lirik-lirik
Purnama Sang Maestro ( 2020).
Penghargaan
yang telah diperolehnya adalah Komunitas
Sastra Indonesia Award 2003 sebagai Penyair
Terbaik. Namanya tercantum dalam buku Apa
dan Siapa Penyair Indonesia (2017), tercatat pula sebagai Sastrawan Jawa
Tengah dalam Buku Sastrawan # 2
(Inventarisasi Data Kesenian Jawa tengah ) oleh Taman Budaya Jawa Tengah
(2020).
Dia
dipercaya menjadi juri Sayembara Antologi Puisi Prasidatama Balai Bahasa
Provinsi Jateng (2019), dan narasumber bedah buku puisi penyair Jawa tengah
oleh Balai Bahasa Jawa Tengah. Dia juga mengajar kelas eskul puisi pada Sekolah
Dasar Gratis Kuncup Melati Semarang; sebagai
narasumber acara sastra program Bianglala Sastra Semarang TV; pembina Komunitas
Lentera Sastra mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Universitas Negeri
Semarang.
Heru
Mugiarso bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Semarang. Alamat rumahnya di
Jl. Bukit Kelapa Sawit IV/30-31 Perum Bukit Kencana Jaya Tembalang Semarang 50271;
email heruemge@gmail.com; WA
081325745254.
Kain satin
Membalut langit
Pada pipih waktu
Para pendosa
Yang memar oleh malam
Ketika bertugur
Ada yang membasah pada pelupuk matamu.
Ingin aku dengan riang menyongsongnya
Tersebab rindu akan indah pada layar prisma.
Ingin aku dengan murung meninggalkan dan berlalu
Tersebab rasa sepi adalah rahim jemu
Tepi, kita tahu,adalah suaka tak berbatas
Dan kepompong sangtuari yang kedap bebas.
Kau rajam rindu hingga ke denyut nadinya
Sebelum kemudian detik berhamburan dari mulut jam
Memekikkan irama gegar kematian
Kau siksa rabu dalam sepi penantian
Sekon berjajar pada mistar itu kini berangkat sekarat
Tergamit oleh takdir lewat tangantangan malaikat
Aku sampai pada seutas jalan bernama subuh
Udara dan halimun mengabut
Oleh ayatayat yang samar serta jauh
kembali berkemas
Meninggalkan bumi yang cemas
Kugapai lewat sujud yang retak pada sempadan rindu
Airmata berserak di pelataran
selaksa jejak.
Lenguhanmu pun tak bakal jadi larik-larik puisi
Tersebab dalam imaji rimba beton
para robot dingin itupun
Berseliweran di jalanan kota
Madah suci pun tak sampai ke langit
Tersebab lelehan cakrawala
Menyumbat nadi cinta yang tercelup melankolia
Karena aku bukan alamat ranah yang rimbun
Tersebab aku rindu pantai tak bertaut
Tersebab aku bait sajak tak berbingkai
Karena engkaulah doa yang tercuri
Mengaliri sebentang oase kering
Dalam kemasan sepetak fatamorgana
Dan terbubuh pada partitur melankolia
Ketika doa terlepas dari bingkainya
Lalu dengan amarah pergi membelah-belah matahari
Menjeritkan lantang sebagian bait paranoia?
Sejenak senja lalu jeda dan tertunda. Rembulan menetas dari cangkangnya
Biasnya kautangkap di riak kolam
Hanya gegar pancaroba dan kulit pandemi yang mengelupas sisik-sisiknya
Engkau menunjuk ular namun aku melihat kabut
Adalah mistar waktu dengan skala yang satu demi satu tanggal
Dengan lolong kesakitan dari bawah sadar yang kian dangkal
Tulang dan darah yang pernah bersenyawa
layu di altar kudus
Dan ketika itu, kita tahu,nenek moyang menyanyikan
lagu kebangsaan airmata.
Terbubuh di langit kemarau ini kali
Fontosintesis menjemput ajal
Juga binar cahaya matahari tak kekal
Dan bumi tertunduk sekaligus trenyuh
Tarian kanakkanak satu demi satu luruh
Kian layu serupa kehilangan ruh.