Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi Wahyu Ceha

0




MATA KAMERA

: Ecep S Yasa

 

Dari Tasikmalaya nuju Kota Satria.

Dari Syech Abdul Muhyi nuju Syech Machdum Ali.

Berbekal kacamata, yang buram saat kecipratan

air hujan. Tapi

 

Mata telah jadi kamera tajam. Senantiasa

motret kedalaman jaman. Ngintip dari celah

sempit, perkara bolong dan growong. Tanpa lelah

 

Dari Cipedes melangkah menuju al-Hidayah.

Kemudian masuk taman Tarbiyah. Mencari apa?

Selembar ijasah? Sama sekali bukan itu saja. Tentunya

 

Mulut yang dibasahi doadoa suci, dari azimat

yang terus semedi. Sedari pagi menuju pagi.

Dalam sujud, dalam tahajud tanpa henti. Mendekap

 

Tangan yang dibasahi doadoa Kyai. Selepas

ngaji kitab yang makin kuning padi. Tiap malam

setiap hari. Jadi senapan yang siap letuskan tembakan. Melalui orasi, juga reportase investigasi. Hingga

 

Penjara adalah rumah singgah. Bagi kembara

santri jalanan. Untuk istirah dari pikiran yang lungkrah, juga jiwa yang lelah. Dulu saat jaman belum menjelma rupa, dalam lembaran layar kaca.


 

 

JANMA TAN KINIRA

; Tentang Misteri Nasib dan Nasab

 

Selamat pagi Priangan, aku datang dari Jawa pinggiran, sisi selatan. Menghirup pagimu

wangi Kamandaka.

 

Pada 2001, serupa kembaramu yang lalu, aku nyusuri kelok jalan kereta. Menyulam asa, selepas mabung dari kurung yang mengungkung

 

Pada tanahmu yang basah, aku berpijak. Sungaisungai, kawah putih, tangkuban prahu,

curug pengantin, hingga kesiur angin. Jadi cerita panjang yang aku sesap, menjadi harap.

 

Lalu aku, memanah masa depan. Anak panah melesat jauh. Hingga, anak panahku hilang, nyasar

entah ke mana. Sirna asa. Janma tan kinira.

 

Pada tanah Priangan, aku belajar menukar nasib, juga belajar mencari diri sendiri. Dari Cimahi, Padalarang, Batujajar, Lembang, hingga nyebrang melewati

Subang. Aku gagal.

 

Aku lalu kembali, menuju Pasir Luhur, menuju Tamansari, menuju Baseh, menuju Karang Anjing, menuju Kebocoran.  Aku kembali nyusuri tilas Kamandaka, sekedar menziarahi nasib, juga nasab yang masih misteri.

 


 

BERCERMIN

 

Memandangi diri sendiri di depan cermin, tubuh ramping kecil, kepala bertambah besar. Berisi kesombongan, keangkuhan, keserakahan, nafsunafsu amarah, egoisitas. Dipandangpandang dengan seksama depan cermin, kepala makin mengembang, makin membesar memenuhi ruangruang sempit dalam raga, seketika bisa meledak sebab makin kehimpit.

 

Memandangi diri sendiri di depan cermin, tubuh yang makin gering, tapi kepala bertambah besar. Dada yang makin menyempit. Tidak ada kepasrahan, kedermawanan tidak ada. Tidak ada lembahmanah, kesantunan tidak ada. Tidak ada keseimbangan diri, keselarasan jiwa tidak ada. Seperti bukan manusia, persis orangorangan sawah, hanya menakutkan sekawananan hewanhewan.

 

Memandangi diri sendiri di depan cermin. Cermin meledak, kacakacanya pecah berserak, masuk dalam dada, ngonceti segala yang ada di raga. Semua yang bersemayam dalam hati, dan semua yang terbenam dalam kepala, telah mengakar ke dalam hati, sulit dicabuti, susah untuk diresiki.

 


 

 

BIYUNG

 

Sambil lungguh, kemudian ndengkluk. Seakan kepalamu jatuh karena mikul berat beban

hidup. Aku sebatas nyawang, tak kuasa nahan mripat abang merambang.

 

Tak lama berselang, dengur keluar dari mulut: merdu lan magis. Orkestra alami

tembang suwerga. Aku ngitung keriput di bathuk. Limang garis lengkung simetris.

Pasuryan denyut dada, juga rikma yang serba putih mlati: alus, mewangi.

 

Dengur yang akur dengan susah lan payah, melebihi melodrama yang

tayang pada tivitivi suwasta. Dan hanya dalam pulas, engkau bisa nikmati

bungah lan begja. Pada mimpi yang digelar tanpa jeda.

 

Sementara, aku merasakan kehidupan yang dilalui terasa nggrinjal dan nyendal

 


 

 

NASIB PUISI

 

Seperti puisi yang diterbangkan ke Selatan, kemudian jatuh tenggelam di lautan. Nasibnya adalah misteri yang menguap menjadi angin. Lalu uapnya merambat menuju Utara. Sebab di sana ada rimbun cemara, yang begitu nerima. Seluruh cerita dalam remah kata –begitulah katanya-.

 

Sesampainya di Utara, uap hangat menjelma embun, menyirami huruf demi huruf. Sebelum setumpuk puisi mendekap pada pucuk daundaun. Tapi, di sini puisi malah mati. Membuncah kata yang rekah ditikam binar cahaya, dari Timur jauh. Sementara Barat begitu gaib untuk ditempuh. Dan puisi sungkur dengan sendirinya.

 

Lantas, kemana puisi harus melayang lagi, sementara arah nasibnya kerap gagal dan gigal.

 


 

BINGUNG

 

Corona mengepung kampung.

Napi dilepas kurung.

 

Siapa yang menanggung

mala?

 


 

FA’

Yang selalu kubaca

di tengah malam bersama kerinduan

dan karnaval embun yang menetesi jalanjalan

 

Kubaca engkau di tepi sepi pada sisi

paling dalam

dirimu serupa kupu dayoh

di sudut mata paling remang

Fa’

 

Pabila karenamu aku tak bisa tidur

apakah engkau tetap ada

sebagai mimpi yang mengalir

hingga aku bercerita tentang

butir-butir rasa

 

Atau kau

akan menjelma bayang-bayang

yang membuatku semakin rumit mendekap

Fa’

 

Pabila mimpi hanya milik setiap yang tidur

aku akan mundur tersungkur

dikelun perasaan hancur

 

Ujung malamku kian melarutkan namamu

menjelma sajak yang kutulis dengan tinta

air semata

Fa’

 


 

MUNAJAT RINDU PADA KAKBAH-MU

 

 

Padang yang tandus, anak kecil menangis haus. Sebagai ibu, dengan kasih yang tulus, berlari ke sana ke mari mencari solusi. Lalu air mata diganti mata air, yang keluar tanpa henti. Sungguh nyata terasa

 

Betapa taatnya Ibrahim pada yang Maha Rahim. Ujung pedang yang runcing, jatuh pada leher Ismail yang kecil. Namun kepasrahan dan ketaatan, mengalahkan ketakutan yang mencekam. Padahal

 

Ismail begitu mungil, jika sekedar diqurbankan. Bapak anak begitu kompak, menafsir mimpi yang dialami. Dengan penuh katresnan, bapak anak luapkan rasa syukur dengan tafakur. Lalu

 

Nikmat mana lagi yang hendak dipalingkan? Seperti tulang rusuk Adam dan Hawa yang disatukan, pada temu yang teramat syahdu? Ah, begitu indah Jabal Rahmah menyimpan cerita. Rasarasanya

 

Begitu nikmatnya menapaki jejak suci. Menziarahi makam Nabi-Nabi. Mendulang iangatan masa silam. Berlari-lari sebagaimana Siti Hajar melakukan Sa’i. Mengelilingi rumah Illahi yang diimpi-impi. Merintih lirih dalam doa yang dirapal setiap hari. Seperti munajat Syaikh Ahmad Qusyairi;

 

“Allahumma shalli ‘alaa sayyidina muhammadin shalatan tuballlighuna biha hajja baitikal haram, wa ziyarata habibika muhammadin ‘alaihi afdhalus shalati wassalam fi sihhatin wa ‘afiyah wa bulughil marami wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallim”

 


 

Tentang Penulis

 


Wahyu Ceha, lahir dan tinggal di Banyumas, sekaligus sebagai santri di Pesantrend Samawi. Tulisannya pernah dimuat media cetak. Buku antologi bersamanya antara lain Antologi Puisi Bulan Purnama Majapahit (2010), dan yang terbaru Tasbih Ndoro Habib (2020). Dia juga menekuni profesi sebagai pedagang Rica-Rica di Warung Lesehan Tegal Indah Putra Rajane Rica-Rica, Karangsalam, Kedungbanteng, Banyumas. Penyair ini bertempat tinggal di Sidabowa, Patikraja, Banyumas, bisa juga ditemui di Warungnya.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top