Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Jusuf AN

0

Kota yang Merindukan Pagi


Mungkin sejak ribuan tahun lampau kota kami tidak lagi mengenal pagi. Entahlah, kami tak tahu persis. Saat kami tanyakan hal itu pada bapak-ibu dan kakek-nenek kami, tak kami temukan jawaban pasti. Semua orang yang masih hidup mengaku sejak lahir belum pernah menikmati pagi di kota ini.

Kami tahu, di kota-kota lain, pagi selalu muncul lengkap dengan kicauan burung-burung dan matahari yang terbit di ujung timur. Matahari itu akan terus menaiki tangga langit, tiba di puncak, dan perlahan lengser ke barat, memasuki sebuah pintu, menutup pintu itu dari dalam, sehingga bumi jadi gelap.

Sangat berbeda dengan yang terjadi di kota kami. Tahu-tahu matahari sudah di puncak langit, tersaput awan tebal yang bukan mendung, menjadikan bumi meremang, dan keremangan itu kian lama mengental; sempurnalah malam.

Sejak kapan kota kami tak mengenal pagi? Misterius. Tapi tak penting benar untuk mengungkapnya. Terpenting sekarang, bagaimana cara agar kota kami kembali mendapatkan pagi. Pagi, yang menurut dugaan kami, telah dirampok oleh para srigala.

Srigala, bagaimana mungkin?

Dengarkan ini! Kota kami di kelilingi puluhan bukit kapur yang tandus serta sebuah gunung tinggi kekar angkuh di sebelah timur. Gunung Srigala, demikian kami menyebutnya. Nama itu lahir karena gunung itu dihuni oleh ratusan srigala. Setiap hari selalu terdengar aum srigala dari gunung itu. Aum srigala yang bisa kapan saja muncul, saling bersahutan, bising dan sangat menambah ketidaknyamanan hari-hari kami.

Tak seorang pun warga ada yang berhasil menaklukkan puncak gunung Srigala. Entah berapa ratus orang—disebabkan karena kemarahan dan sebagian ingin disebut pahlawan—telah mencoba untuk melawan srigala-srigala yang mendiami puncak gunung itu. Tetapi begitulah, tak seorang pun dari mereka ada yang berhasil, sebagian besar justru hilang, baik nama maupun jasadnya.

Tak hanya itu, setiap kali ada orang atau sekelompok orang yang nekad menaiki gunung Srigala, maka kurang dari dua puluh empat jam kemudian, ratusan srigala akan turun dan mengamuk ke kota. Memasuki rumah-rumah dan memporak-porandakan isinya dan tak segan-segan membinasakan orang-orang yang berusaha melawan.

Kami bukan penakut! Kami telah melawan amukan para srigala itu, meski kekuatan mereka tak tertandingi. Betapa tidak? Mereka adalah makhluk-makhluk aneh yang kuat dan jahat. Tubuh-tubuh mereka seperti dilindungi baju baja, tidak mempan oleh tombak, panah, dan parang. Akibatnya, semakin kami berusaha melawan, maka semakin banyak korban berjatuhan.

Sampai kemudian diadakanlah sebuah pertemuan yang sangat rahasia. Pertemuan yang diikuti oleh sekelompok pemuda dan sesepuh kota, diadakan di bawah tanah yang rahasia. “Manusia lebih unggul dari makhluk apa pun,” kata sesepuh kota yang memimpin pertemuan. “Srigala-srigala itu harus kita tumpas. Mereka telah merampas apa-apa yang kita miliki. Dan saya yakin, mereka juga telah merampas pagi yang semestinya dimiliki oleh kota ini.”

Pagi? Srigala-srigala itu telah merampas pagi yang menjadi hak kami, penghuni bumi? Orang-orang yang mengikuti pertemuan saling pandang.

“Kalian tahu,” lanjut sesepuh itu. “Matahari selalu terbit dari timur. Semestinya kita bisa melihatnya menggelimangkan cahaya, menyembul dari gunung itu setiap hari. Tapi, begitulah, srigala-srigala itu telah merampoknya. Bukankah srigala lebih menyukai bulan dan membenci matahari? Sangat mungkin mereka telah ramai-ramai menangkap matahari itu ketika melintas di pucuk gunung, dan dengan kekuatan sihir mereka berhasil menangkapnya, lalu mereka mengundang ribuan gulungan awan dari berbagai penjuru dan setelah awan itu berkumpul di langit,  barulah mereka  lepaskan matahari.”

Keesokan harinya, sesepuh kota yang berkoar-koar itu ditemukan mati mengenaskan di kolong ranjangnya. Tubuhnya tinggal tulang belulang. Tak ada keluarga yang menangisinya, karena semua keluarganya telah juga bernasib sama. Apa yang sudah disampaikan sesepuh kota di pertemuan rahasia itu dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut, diterbangkan angin, memasuki rumah-rumah, lalu singgah di dada semua orang dan tidak mau keluar lagi.

Lalu sekelompok pemuda yang sudah sangat malu dengan kota-kota lain karena sering diejek sebagai pengecut mengawali sebuah aksi. Mereka berkumpul di alun-alun kota, meneriakkan yel-yel, sebelum kemudian bergerak menuju gunung Srigala.

Tak diduga, sekelompok pemuda yang berani dan tangguh tersebut berhasil menyeret seekor srigala hidup-hidup. Seekor srigala bertubuh gemuk dengan bulu yang bukan abu-abu, melainkan kuning keemasan. Bulunya itu, ah, sangat berbeda dengan srigaga-srigala lain yang pernah kami lihat. Bulu srigala itu lebih menyerupai pakaian yang dilapisi emas berkilauan. Barangkali srigala itu adalah pemimpin kawanan srigala. Entahlah. Kami tak peduli.

Kami mengarak srigala itu keliling kota dan mengikatnya dengan rantai baja di tiang besi di tengah alun-alun. Tetapi yang terjadi kemudian seratusan srigala mendadak datang menyerbu kota, mengepung kami yang berkumpul di alun-alun. Mereka berdiri tegap, mengaum berahutan. Mata mereka merah menyala, taring-taring mereka yang runcing berkilatan.

Tubuh kami gemetar, gentar. Jumlah kami memang lebih banyak dari srigala-srigala itu, tetapi kami sadar kekuatan kami tak sebanding dengan mereka. Namun, sekelompok pemuda yang telah berhasil menangkap seekor srigala itu yakin sanggup mengalahkan mereka.

“Lawan!” mereka mengacungkan tangan terkepal.

“Lawan! Lawan! Lawan!”

Wajah merah yang menyala-nyala dan teriakan-teriakan yang keras sanggup mendesirkan setiap dada. Keberanian kami yang sempat lumpuh mendadak tegap. Lalu seolah muncul suara dari alam bawah sadar kami: untuk sebuah perubahan, memang dibutuhkan keberanian berlipat.

Melihat keberanian yang terpancar di mata kami, juga teriakan-teriakan kami yang lantangkan, seratusan srigala itu saling pandang sejenak, lalu mundur selangkah. Yang kami inginkan mereka pergi agar tidak terjadi pertumpahan darah. Tetapi itu tidak terjadi. Ketika kami maju setelah terlebih dulu merapatkan barisan, mereka justru terlihat geram.

Pertumpahan darah tak bisa dicegah. Kami melawan dengan senjata seadanya dan keberanian yang menyala-nyala. Korban-korban dari kalangan kami berjatuhan satu-satu. Banyak orang mendadak kesurupan, keluar taringnya, mengaum bak srigala. Orang-orang yang membuat suasana kian tidak menentu. Mereka membakar rumah-rumah, menjarah toko dan swalayan, memperkosa gadis-gadis. Kian lama kian banyak yang kesurupan, dan kekisruhan dengan cepat merambat. Sementara kami, sedikit orang yang masih bisa mengendalikan pikiran, gigih bertarung melawan kawanan srigala. Demi pagi yang telah mereka rampas, kami siap jika harus kehilangan nyawa.

Dan etah kenapa, tiba-tiba kawanan srigala itu berhenti menyerang kami ketika seokor srigala berbulu kuning keemasan yang kami ikat di tengah alun-alun itu melolong panjang.

“Kami tahu daripada apa yang kalian mau,” ujar Srigala berbulu keemasan, mengagetkan. Ternyata srigala itu bisa bicara seperti manusia. “Bahwa daripada pagi kalian memang telah saya yang sembunyikan. Daripada itu saya minta maaf.”

“Enak saja minta maaf, emangnya kami apaan?” lantang seseorang.

“Bunuh!” sahut yang lain.

“Sembelih!”

Baru kami hendak bergerak maju kawanan srigala telah terlebih dulu meloncat, membuat benteng pertahanan mengelilingi srigala berwarna kuning keemasan. Mereka hanya berdiri diam, tak menyerang. Bahkan ketika kami mendesak maju dan memukuli kepala mereka. Mereka cuma sesekali menghindar, tak membuat perlawanan sama sekali. Mungkin mereka telah menyerah. Lidah mereka memang masih menjulur-julur, sebagian meneteskan darah, tetapi mata mareka tak lagi nanar. Kami pun mendadak tersadar bahwa sebenarnya srigala bukanlah makhluk yang buas, tetapi mereka selalu menempatkan keluarga di atas segalanya. Mereka pastilah ingin melindungi srigala berbulu kuning itu dari amukan kami. Karena tak ingin jatuh lebih banyak korban, maka kami lepaskan rantai yang mengikat raja srigala, dan seketika itu juga kawanan srigala berhampuran pergi meninggalkan alun-alun.

Sejak kejadian itu, kehidupan di kota kami tidak banyak berubah. Orang-orang memang bisa keluar rumah tanpa takut diserang srigala. Tetapi matahari pagi yang kami rindukan tak kunjung muncul. Kami juga tidak takut-takut lagi mendaki gunung Srigala, meskipun untuk mencapai puncaknya tidaklah gampang, karena di punggung gunung itu, ada sekawanan srigala sigap menjaga. Hanya orang-orang tertentu saja yang diijinkan melewati gerbangnya, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang dulu berhasil menangkap srigala berbulu kekemasan itu.

“Kami sedang berupaya mengembalikan matahari di kota ini,” terang salah seorang ketika ia kembali dari puncak gunung. Hanya itu, hanya kalimat itu saja yang selalu dan terus menerus kami dengar dari mulut orang-orang yang menjadi wakil kami untuk berjuang mengembalikan pagi kota kami. “Srigala berbulu kuning keemasan itu memang telah mati digerogoti usia, tetapi kalian tentu paham, matahari yang ia sembunyikan bertahun-tahun lamanya, butuh waktu untuk membujuknya mau bersinar di kota ini.”  

Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, kami menunggu, kota kami tak kunjung disapa matahari.

***

       Dengarkan suara hati kami yang merindukan pagi. Pagi dengan matahari yang menyebar ke sudut-sudut kampung, menumbus ke gubuk-gubuk pinggir kali. Kami menunggu, seperti tahun-tahun yang telah lalu, kami masih menunggu, terus menunggu, mungkin sampai sesuatu yang lain yang juga kami tunggu datang menjemput kami lebih dulu. 




TENTANG PENULIS


Jusuf AN (M. Yusuf Amin Nugroho) lahir di Wonosobo, 2 Mei 1984. Penulis pernah belajar bersama kawan-kawan Komunitas Rumah Poetika dan Sanggar Jepit Jogjakarta, telah menerbitkan lima novel, yaitu Jehenna (2010), Burung-Burung Cahaya (2011) dan Mimpi Rasul: Bibir yang Ingin Dicium Rasulullah Saw (2011), dan Pedang Rasul (2012), Kailasa (2016).

Kumpulan cerpennya berjudul: Gadis Kecil yang Mencintai Nisan (2012), mendapat penghargaan Sastra untuk Pendidik dari Pusat Bahasa (2013). Kumpulan puisi tunggalnya berjudul Sebelum Kupu-kupu (2009) mendapat penghargaan dari Pusat Perbukuan Nasional. Kumpulan cerpen Ibu yang Selalu Berdandan Sebelum Tidur diterbitkan Penerbit Basabasi (2017) Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai tersebar di berbagai media daerah dan pusat, antara lain Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Femina, Majalah Anggun, Majalah Ummi, Majalah Sabili, Suara Merdeka, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, dll.

Cerpennya tergabung dalam antologi bersama, Robingah Cintailah Aku (2007), Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen TSI II,2009), Tiga Butir Peluru (2010), Perayaan Kematian: Liu Tse (2011).

Puisinya dimuat dalam antologi:

Kisah-Kisah Dari Tanah di Bawah Pelangi

(2008) dan Antologi Pendhopo #5 (2008), dll. Selain aktif menulis, penulis kini menjadi staff pengajar di Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Sains Al-

Qur’an (UNSIQ) Wonosobo. Email: yusufamin@unsiq.ac.id. Beberapa tulisannya dapat dilihat di http://dindingsastra.blogspot.com

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top