Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Cerpen Haniyah

0


 

Kepada sebuah golok dan kaos oblong setengah usang, Mak Rohmah menggantungkan hidupnya. Ada pada selainnya—pada belarak-belarak yang berguguran dari pohon- pohon kelapa di belakang rumahnya. Pohon-pohon kelapa itu milik Pak Mamat— saudagar kelapa yang baik nan dermawan. Saking dermawannya, selalu mempersilakan Mak Rohmah untuk mengambil belarak-belarak yang berguguran itu, terserah mau diapakan. Terkadang saat panen, Mak Rohmah kebagian satu atau dua biji kelapa muda atau tua.

Oleh Mak Rohmah, belarak-belarak itu bakal disulapnya jadi sapu lidi untuk dijajakan saban hari ke kampung-kampung. Harga satuannya tiga ribu rupiah. Kalau beli dua jadi lima ribu rupiah. Memang seperti itu. Tidak banyak yang diharapkan dari berjualan di kampung. Tidak ada perhitungan soal laba-rugi karena yang terpenting dagangannya laku, barang satu.

Tiap habis salat subuh, wanita paruh baya itu sudah mulai bekerja di pintu belakang rumahnya—memisahkan bagian daun kering dari lidinya—sambil menyenandungkan salawat Nariyah atau salawat Jibril. Hari ini ia harus menjual setidaknya lima buah sapu lidi agar tungkunya berasap. Dengan begitu, tetangganya bisa berhenti merendahkan Ipan, anaknya yang lama tidak pulang dari tanah rantau.

Di rumah yang lebih mirip gubuk ini, ia selalu merasa kesepian. Suaminya wafat setahun sebelum anaknya memutuskan pergi merantau. Dulu suaminya itu pelaut, selalu ikut berlayar dengan kapal-kapal besar milik para saudagar dari negeri seberang. Sedangkan anak satu-satunya itu tidak pernah pulang sejak pergi merantau. Para tetangga sering menggibahkannya karena mirip dengan tokoh si Malin Kundang—anak durhaka yang ketika sudah sukses tidak mau mengakui ibu kandungnya.

“Si Ipan ini pasti generasi penerus Malin Kundang.” “Ipan Kundang? HAHAHA!”

Kalimat-kalimat seperti itu yang paling sering didengar Mak Rohmah tiap melintas sedang menjajakan sapu-sapunya. Sampai terbahak-bahak mereka. Tidak bisakah mereka diam jika tidak membeli?

Namanya Khairul Irfan!

Sakit sekali hati Mak Rohmah karena orang-orang seenaknya membubuhkan nama belakang anaknya dengan nama belakang tokoh durhaka dalam cerita rakyat itu. Mak Rohmah percaya anaknya tidak mungkin seperti itu. Dalam tiap salatnya, Mak Rohmah pernah mendengar Ipan berdoa untuk dirinya sendiri, agar di masa depan tidak menjadi anak yang durhaka.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, sampai tahun ke tujuh, Mak Rohmah tak pernah berhenti berdoa, tidak pernah berhenti menunggu kepulangan anak laki-lakinya itu. Ia yakin—kelak pada suatu pagi, siang, sore atau malam—anaknya itu pasti akan kembali pulang bersama dengan teman seperantauannya yang sama-sama tak pernah pulang.

Baru dapat seikat sapu lidi, seseorang datang mengetuk pintu depan rumahnya yang hanya tripleks biasa itu.

“Ipan?!” seru Mak Rohmah dengan mata berbinar-binar. Goloknya diletakkan sebentar, seraya bangkit berpegangan pada bingkai pintu dan dengan langkah tergopoh- gopoh mengahampiri pintu depan rumahnya. Kaos oblong yang menjadi alas pahanya tersampir di pundak. Kaos oblong terakhir yang dikenakan anaknya sebelum pergi tujuh tahun lalu.

“Anakku pulang… anakku pulang….” Ia bersenandung gembira. Hatinya berdenyut ngilu karena bahagia yang tak tertahan, tak dapat disembunyikan. Ia selalu optimis bahwa itu anaknya yang pulang tiap pintu rumahnya diketuk.

“O-oh, Marni?” sapanya pada  gadis yang berdiri di depan pintu rumahnya. Senyumnya luntur perlahan-lahan.

Gadis bernama Marni itu mengangguk. Tangannya yang kuning langsat mengulurkan sepotong kertas. “Ada sembako di rumah Pak RT, Mak. Ini kuponnya. Ditunggu hari ini sampai bakda isya.”

“Oh, ya… t-terima kasih, Mar.” 

Tidak apa tidak pagi ini. Ada besok pagi, besok paginya lagi, sekalipun harus menunggu sehari sebelum kiamat terjadi. Lalu, mereka akan mati bersama.

“Kang Ipan belum pulang, Mak?” tanya gadis itu selalu. Tiap berkunjung sekadar memberikan sepotong bolu kukus, selalu tidak tinggal menanyakan anak laki- lakinya itu. Satu-satunya orang yang selain dirinya—yang menunggu kepulangan Ipan. Mereka bersahabat sejak kecil, sangat dekat. Mereka mungkin akan lebih dari sekadar sahabat jika Ipan masih di sini.

Mak Rohmah menggeleng. Tersenyum getir. “Belum.”

“Tidak apa, Mak. Pasti suatu hari nanti Kang Ipan pulang.” Mak Rohmah tersenyum.

“Pulanglah cepat, sebelum ada yang melaporkanmu datang ke sini pada bapakmu,” suruh Mak Rohmah.

“Menyebalkannya orang-orang itu! Padahal Marni ingin membantu Mak buat sapu,” rajuknya.

“Pulanglah!” paksa Mak Rohmah gemas. “Iya, aku pulang ya, Mak.” Wanita itu mengangguk. “Terima kasih kuponnya.”

 “Iya, nanti disampaikan pada Kang Amir yang sudah menitipkan kuponnya,”  balas Marni. Mak Rohmah tersenyum. 

“Terima kasih lagi, ya?” 

“Sama-sama, Mak,” balas gadis itu tersenyum pula.

Sepeninggal gadis ayu itu, Mak Rohmah kembali menemui belarak-belarak dan goloknya di pintu belakang. Pukul 7 semua harus sudah siap, baik sapu lidinya, juga mentalnya, karena sepanjang berkeliling untuk menjajakan sapu-sapunya nanti akan ada banyak para pembenci dirinya juga anak laki-lakinya.

***

 

Mak Rohmah meletakkan dagangan sapu lidinya di pelataran rumah Pak RT yang cukup ramai. Ibu-ibu yang sudah mendapatkan sembako tidak langsung bergegas pulang karena masih banyak urusan—mengurusi urusan orang lain. Tentu juga mengurusi hidup Mak Rohmah karena dari sejak kedatangannya, mereka mulai berbisik-bisik.

“Ada Ibu si Malin.” Mereka tidak berniat berbisik-bisik, tapi berniat menambah rasa sakit di hatinya. Mulut mereka sudah seperti naga yang mengeluarkan api. Yang kemarin masih lebam, sekarang sudah ditambahkan saja lebam baru di hatinya.

“Terima kasih, Bu RT,” ucap Mak Rohmah setelah mendapatkan bungkusan sembako bagiannya.

“Sama-sama, Mak.”

 

Namun syukurlah, setidaknya hari ini tungkunya berasap bukan karena mulut- mulut panas mereka. Beras, minyak, satu buah ikan kalengan, gula, dua butir telur, dan tiga buah mi instan goreng dan kuah. Yang mi goreng merek ini kesukaan Ipan.

Ya Raab, makan apa anakku di perantauan? lirihnya sembari berjalan pulang. Hari sudah berangkat sore. Hanya dua dari enam sapunya saja yang sudah laku. Ia mengantongi lima ribu rupiah hari ini. Selain mengantongi selembar uang lima ribu rupiah, ia juga banyak mengantongi kalimat-kalimat jahat orang-orang di tempat pembagian sembako tadi.

“Siapa tahu di perantauan dia makan enak, sedangkan ibunya nyaris makan batu kalau tidak ada sembako ini!”

“Ah, masa iya, Bu Wati?!”

“Ya, siapa yang tahu. Sudah berapa kali puasa berapa kali lebaran tidak pulang!”

“Iya juga! Waktu itu si Febri baru masuk SMP, sampai sekarang sudah kuliah semester 2 belum pulang juga. Bisa dibayangkan betapa makmurnya dia di perantauan sana.”

“Benar! Kawannya, si Anwar, walaupun tidak pulang-pulang tapi selalu kirim uang untuk orang tuanya.”

Selalu ada ketidakadilan hanya karena soal uang. Hanya anaknya yang direndahkan di sini dengan asumsi mereka yang belum pasti benar. Demi Allah, Mak Rohmah hanya ingin anaknya pulang. Tidak masalah sekalipun tidak selembar uang terselip di saku celananya.

***

 

Waktu dua sampai tiga tahun masih terasa kurang untukku. Maksudku untuk kita. Tujuh tahun! Tujuh tahun berlalu dengan begitu lambat, tapi tetap masih kurang. Bertahun- tahun harus merasa sakit karena rindu pada kampung kelahiran. Namun rasa sakit itu tidak sendirian, beriringan dengan rasa sakit karena rasa bersalah kepada kawanku yang kini bertempat tinggal di tepi-tepi jalan besar yang ada di kota ini.

Sejak tahun pertama di perantauan ini, semua sudah berjalan tidak baik-baik saja. Kota ini sangat keras, lagi jahat untuk anak-anak rantau—khususnya untukku dan kawanku.

Di tahun ke tujuh, bajunya masih tersusun rapi di lemari pakaian bagian paling atas. Aku selalu mengganti kampernya jika sudah habis. Barangkali dia pulang ke kontrakan, dan butuh untuk segera berganti pakaian karena sudah lama tidak ganti.

Sekarang aku menangis lagi. Beginilah aku saat libur bekerja. Menangis, di saat rekan-rekan kerjaku pergi berlibur sehari dua hari di penginapan sekadar bakar-bakaran ayam atau sosis. Memikirkan kampung kelahiran—Ibu, Ayah, dan adikku, juga Mak Rohmah—yang entah bagaimana kabarnya setelah tujuh tahun kepergiaan kami.

Di sini kami masih hidup. Tapi, kami berpisah saat belum genap setahun di sini. Keadaan begitu jahat memisahkan kami dengan cara seperti ini. Dengan cara yang tidak senonoh dan mungkin tidak berterima jika keluarga kami di kampung halaman sana tahu apa yang sudah terjadi.

Apakah aku harus menambah setahun lagi? Atau dua tahun? Tiga? Empat? Lima? Pertanyaan yang itu-itu saja tiap tahunnya. Namun di satu sisi aku khawatir. Apakah aku tidak akan keburu mengikuti jejaknya jika terus-terusan begini? Beberapa waktu belakang ini, aku mulai merasa diriku stres. Bisa tidak tidur dalam beberapa hari dan mulai mendapat surat peringatan dari atasan karena lalai saat bekerja.

Aku menyudahi sesi overthinking ini dengan hal yang lebih bermanfaat. Setelah menyambar jaket, aku bergegas membuka lemari pakaian untuk mengemas satu buah celana dalam, celana pendek selutut, satu kaos lengan pendek, dan sebuah topi barangkali dia ingin sedikit bergaya. Selain itu, aku mengemas beberapa persediaan makanan yang masih tersisa: dua roti bantal coklat srikaya, sebotol air, sekaleng kopi, sebungkus keripik kentang, dan sebungkus lagi keripik udang. Semuanya jadi satu dalam totebag yang kugantungkan di setang motor. Aku selalu melakukan ini karena percaya—tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini saat Sang Maha Pencipta sudah berkehendak.

Sejujurnya, aku sama sekali tidak keberatan jika harus mengikuti jejak kawanku di jalanan. Mungkin itu akan bisa membuat rasa bersalahku hilang dengan hilangnya seluruh ingatan dan akalku. Aku tidak perlu lagi melihat wajah kecewa keluargaku dan Mak Rohmah, jika suatu saat aku pulang dan menjelaskan semuanya. Tidak perlu merangkai apa-apa untuk menjelaskan panjang lebar. Kami berdua bisa berbagi jalanan. Bergaul dengan yang sesama kami tanpa perlu memikirkan apapun soal dunia yang sejak awal lebih mirip neraka.

Aku mengendari motorku yang masih kreditan ini menyusuri jalan raya. Ah, lagi-lagi aku merasa bersalah. Bisa-bisanya sudah bisa mengkredit motor sedangkan kawanku jalan kaki sepanjang hari—semoga tidak sepanjang hidupnya—apalagi aku tidak bisa memboncengnya.

Kubawa motorku pelan. Bukan karena takut akan turun mesin. Aku harus jeli. Terakhir kali aku melihatnya di dekat-dekat halte daerah sini, sedang rebahan sambil bertelanjang dada seperti sedang di sauna.

Aku masih terus mengendarai motorku dengan pelan, melewati halte yang kosong. Tapi, kemudian aku berhenti karena melihat sosoknya melalui kaca spion sedang duduk di bagian belakang halte. Ia terlihat sedang menggaruk-garuk rambutnya yang gimbal, lalu mencium tangannya sendiri yang bekas menggaruk kepalanya tadi.

“Sudah makan belum?” tanyaku saat sudah berada di sampingnya. Dia menatapku tak suka, lalu membuang muka. Dia kembali pada dunianya yang tidak bisa kuselami.

Kuambil beberapa makanan dari totebag, menyodorkan ke depan wajahnya. Berharap dia mau menyambutnya. Sudah beberapa hari ini dia tidak mau menerima makanan yang kubawa, bahkan menepisnya sambil marah-marah.

“Makan!” paksaku karena dia belum juga mau menerima, malah menatapku. Dia menggeleng berkali-kali, ketakutan. Aku merutuki diriku karena sudah menaikkan nada bicara.

“Jangan! Pergi orang jahat!”

 

“Orang jahat mana yang memberimu makan?! Ini aku, Pan! Kawanmu! Ayo pulang. Aku tahu kau masih bisa sembuh!”

“PERGI KAU BAJINGAN!!!” Dengan kakinya dia menendangku, membuatku terhuyung ke belakang. Rasanya aku ingin mati saja daripada melihatnya hidup dengan keadaan seperti ini.

***

 

Saking kejamnya perantauan, sampai menghajar mental kawanku. Tahun pertama di sini, kami bekerja di sebuah tempat produksi makanan yang ternyata ilegal, di mana tempat produksi makanan itu berdiri sendiri tanpa izin produksi karena menggunakan bahan-bahan baku berbahaya. Kami diperas tenaganya. Tidak diperbolehkan pulang, tidak digaji, dan hanya diberi makan sekali. Kami dikurung di dalam sebuah ruangan mirip losmen dengan duapuluh orang pekerja lainnya. Setiap harinya, kami tidak hanya disiksa fisiknya untuk terus bekerja, tetapi juga mendapat kekerasan seksual, terutamanya Ipan. Dia mendapat perlakuan yang paling buruk hingga mentalnya jatuh.

Dia mengamuk, menangis, dan tertawa yang membuat tempat pekerjaan itu ricuh dan kami semua berakhir dibebaskan. Kami dibebaskan namun diperintah untuk tutup mulut. Sedangkan Ipan sudah tak tertolong, lepas ke jalanan begitu saja.

Meskipun beberapa kali kulaporkan ke rumah sakit jiwa, dia tetap bisa kabur setelah beberapa minggu ditangkap. Kembali lagi ke jalanan. Dia tidak mau disembuhkan karena yang ada dalam pikiraannya tiap kali pihak rumah sakit jiwa membawanya, ia merasa kembali tertangkap oleh oknum-oknum jahat di tempat pekerjaan kami dulu. Akal sehatnya terlanjur hilang.

Baiklah, satu kali lagi aku berusaha. Aku melihatnya sudah mulai memakan satu buah roti bantal yang kuletakkan di rerumputan bersama bawaanku yang lainnya. Ini untuk yang kesekian kalinya aku menghubungi pihak rumah sakit jiwa kota ini, lalu mengirim lokasi terkini agar mereka segera datang untuk menangkap Ipan. Mereka pasti sudah lelah karena menerima laporan dari orang yang sama.

Aku hanya akan pulang ke kampung jika bersamanya. Ini upaya tanggungjawab sekaligus rasa terima kasihku karena dia sudah banyak berbuat baik kepadaku. Dia banyak membelaku di tempat pekerjaan neraka itu, mengorbankan dirinya sendiri sampai menjadi seperti ini.

“Ibu, tolong aku….” “Ibu, aku rindu….”

Begitu racauannya saat sedang merasa tenang sebelum gaduh kembali dengan jeritan dan pekikannya begitu pihak rumah sakit jiwa tiba di tempat ini. Membawanya secara paksa lagi meskipun ia terus menjerit dan meronta-ronta.

“Orang jahat!” makinya kepadaku yang terakhir kudengar. ARGHHH, LEPASKAN BAJINGAN!!!”

Huft, kau harus sembuh, kawan. Kita harus pulang, sebelum semua orang menggelarkan kita si Malin Kundang.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top